Asa Rudal Nasional, Mungkinkah Terwujud?
loading...
A
A
A
ATMACA, rudal made in Turki, akhirnya otewe menjadi bagian tulung punggung persenjataan matra laut. Walaupun Kementerian Pertahanan RI belum mengumumkan secara resmi perihal pembelian rudal tersebut, kabar ini sudah santer diberitakan beberapa media asing, termasuk Janes, dengan mengutip pihak terkait transaksi alutsista tersebut.
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Adalah PT Republik Defesindo yang disebut mendapat otoritas membeli 45 unit rudal buatan Rocketsan bersama Aselsan serta produsen mesin turbin Kale Arge yang akan digunakan TNI Angkatan Laut. Kasak-kusuk bahkan menyebut Atmaca yang akan diakuisisi mencapai ratusan unit. Bila pembelian itu benar, maka Indonesia menjadi pengguna asing pertama produk rudal jelajah anti-kapal produksi negeri Otoman ini.
Atmaca (Hawk) adalah peluru kendali anti-kapal pertama yang dikembangkan secara domestik oleh negeri yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan, dengan misi untuk mengurangi ketergantungan Angkatan Laut Turki pada AGM-84 Harpoon. Rudal inilah yang akan disematkan pada beberapa jenis kapal yang kini tengah dimodernisasi PT PAL dan sejumlah galangan kapal nasional.
Seperti pernah dipaparkan PT PAL kepada Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto , jenis kapal dimaksud antara lain Parchim class, Fatahillah class, dan FPB-57 class. Dengan daya jelajah hingga 220 kilometer, keberadaan Atmaca tentu akan melambungkan daya gentar kapal perang TNI AL dalam mengamankan wilayah Laut Indonesia.
Sejatinya, yang patut digarisbawahi dalam transaksi Atmaca dengan Turki bukanlah pada peningkatan kapabilitas kapal perang TNI AL. Di balik pembelian tersebut ternyata juga menyangkut skema transfer of technology (ToT). Kabar baik ini diungkapkan langsung Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali tentang kemungkinan Turki bekerja sama dengan Indonesia untuk bersama-sama membuat peluru kendali (rudal) jelajah anti-kapal di dalam negeri.
Menurut KSAL, melalui transaksi rudal yang disebut selevel Harpoon dan Exocet tersebut, Turki bersedia membuat kerja sama membangun rudal nasional. Namun mantan komandan kapal selam Nanggala-402 itu mengakui rencana tersebut masih membutuhkan pembicaraan lebih lanjut.
Indonesia bisa membuat rudal nasional telah lama menjadi mimpi. Realitasnya, asa tersebut masih sulit menjadi kenyataan. Saat Indonesia mengakuisisi rudal C705 sempat santer diberitakan akan diikuti dengan ToT. Tapi wacana tersebut menguap begitu saja. Kabar teranyar, Indonesia tengah melakukan reverse engineering rudal buatan China itu.
Mengapa begitu sulit Indonesia bisa mendapatkan teknologi rudal. Jawaban tentu karena rudal merupakan teknologi rumit, dan dirahasiakan. Rudal juga merupakan alutsista strategis, hingga tidak semua negara mau berbagi ilmu. Kalaupun ada yang bersedia, biasanya harus diikuti dengan transaksi dengan jumlah besar.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Munculnya kabar ToT dari Turki pun memancing pertanyaan apa benar negeri itu mau berbagi ilmu atau teknologi dengan Indonesia untuk mewujudkan rudal nasional? Di sisi lain, apakah secara kapasitas SDM Indonesia sudah saatnya dan mampu melangkah menuju penguasaan teknologi rudal?
Turki Pilihan Tepat
“Kami tidak hanya menjual produk tetapi juga mengembangkan proyek bersama jangka panjang. Kami senang ilmu dan pengalaman kami di industri ini dapat dimanfaatkan oleh teman-teman dari negara lain,” kata Erdogan, dalam pameran IDEF 2023.
Pernyataan yang disampaikan pemimpin Turki tersebut secara jelas menegaskan negeri tersebut membuka lebar kepada negara lain untuk membangun kemitraan mengembangkan industri pertahanan. Apalagi dengan Indonesia, negara sahabat yang sama-sama negeri berpenduduk mayoritas muslim, peluang bekerja sama terbuka lebih lebar.
Secara formal, Indonesia-Turki telah menandatangani MoU kerja sama industri pertahanan melalui Menhan Prabowo Subianto bersama Menhan Turki Hulusi Akar, sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu. Kedua negara sepakat membentuk dewan kerja sama strategis tingkat tinggi. Sebelumnya, Indonesia-Turki sejak 2012 juga telah menjalin kemitraan strategis.
Pintu kemitraan Indonesia-Turki sudah tidak lagi di atas kertas. Melalui perusahaan pertahanan BUMN maupun swasta, keduanya sudah melangkah untuk bekerja bersama membuat sejumlah alutsista, seperti Tank Harimau dan Tank amfibhi Zaha; membangun combat management system (CMS) berbagai jenis kapal perang jenis KCR 90, OPV hingga Fregat Merah Putih; dan lainnya.
baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru
Di sisi lain, Turki merupakan negara yang pantas untuk Indonesia menimba ilmu dan mendapatkan bantuan kompetensi teknologi alutsista. Hal ini terkait kapasitas industri pertahanan Turki yang sudah bersaing dengan negara-negara besar. Berdasar data Denfense News yang dirilis 2022, dari 100 perusahaan pertahanan terkemuka dunia, tujuh di antaranya berasal dari Turki.
Bahkan, ASELSAN masuk dalam 50 besar. Perusahaan yang berdiri pada 1975 itu mengembangkan produk mulai dari sistem komunikasi, radar, dan berbagai sistem pertahanan. Produksinya telah digunakan 65 negara di dunia. Selain Aselsan, Turki juga memiliki perusahaan alutsista top global player seperti TAI, BMC, Roketsan, STM Defense Technologies & Engineering Ltd, FNSS, dan Havelsan.
Hampir semua teknologi militer sudah mampu dikembangkan dan diproduksi Turki, dengan kualitas yang tidak kalah dengan negara-negara pemain utama alutsista dunia seperti Amerika Serikat, Prancis, Rusia maupun China. Indikasinya bisa terlihat pada kian banyaknya negara yang mengandalkan alutsista made in Turki untuk memperkuat otot militernya.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), negeri tersebut menyumbang 1% dari total ekspor global. Raihan ini mengindikasikan Turki mampu menyiapkan SDM tangguh, melewati dinamika perekonomian, mengurangi ketergantungan pada pemasok asing, dan mengatasi perselisihan politik regional. Prestasi inilah yang harus Indonesia pelajari dari Turki.
Tinggal Selangkah
Jika ditelusuri, Indonesia sebenarnya tinggal selangkah memiliki kemampuan membuat rudal nasional. Pasalnya, sejumlah perusahaan BUMN dan swasta yang bergerak di bidang industri pertahanan telah mampu membuat bahan peledak atau propelan, amunisi, peledak, bom, hingga roket.
baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
Penguasaan teknologi roket bisa disebut sebagai backbone pembuatan rudal. Untuk roket, Indonesia telah berhasil membuat RHan-122B, yang digarap Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006. Setelah melewati tahapan penuh kesabaran --mulai dari desain konseptual, desain awal, pembuatan purwarupa (prototype), serta serangkaian pengujian statis dan dinamis sejak 2009--, Rhan-122B telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan roket GRAD RM 70 milik Marinir TNI-AL.
Hebatnya, dalam proses pengembangan R-HAN-122B, hingga pertengahan 2023 lalu LAPAN yang kemudian bergabung ke BRIN berhasil membuat tujuh paten yang diraih selama learning process. Roket pun sudah memulai pembahasan kontrak lisensi dengan industri pertahanan.
Selain sudah menguasai teknologi roket, beberapa pihak telah berinisiatif mengembangkan rudal sendiri. Rudal dimaksud antara lain rudal Merapi yang dikembangkan Pusat Riset Cirnov Universitas Ahmad Dahlan dengan Dislitbang TNI AD, dengan melihatkan PT Dahana dan BRIN. Riset yang dilakukan sejak 2018 sudah menapak tahap uji coba yang digelar di Area Weapon Range di Pandanwangi Lumajang pada akhir 2021 lalu.
Kala itu rudal Merapi sudah melewati tahapan evaluasi uji performansi roket pendorong, struktur aerodinamik sirip belakang (fin-tail), sirip depan (canard), penjejak (seeker) yang menggunakan teknologi inframerah, peluncur tabung, dan lain-lain. Bahkan saat itu juga dilakukan uji propelan dengan teknologi smokeless (tanpa asap) yang dibuat oleh PT Dahana.
Hasil uji coba memuaskan. Rudal kaliber 70 mm itu mampu melesat di atas kecepatan 650 kilometer per jam atau melampaui kecepatan suara. Dengan demikian rudal mampu untuk merontokkan pesawat baik pesawat tempur, helikopter militer, serta sasaran udara lainnya seperti drone.
Ada juga rudal Petir V-101. Rudal buatan PT Sari Bahari itu disebut mampu melesat dengan kecepatan 260 km per jam, tak mudah terbaca radar, memiliki kemampuan antisipasi frekuensi yang berubah. Dengan kemampuan ini membuat Rudal Petir V-101 tak kalah canggih dari berbagai rudal lainnya.
baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista
Berbagai fakta yang ada menunjukkan bahwa fondasi mewujudkan asa rudal nasional sudah tersedia. SDM Indonesia juga sudah memiliki kapasitas cukup untuk berkembang dan menjawab tantangan baru. Pertanyaan yang kemudian yang harus dijawab, apakah jika Indonesia secara swamandiri, termasuk dengan melakukan reverse engineering rudal C705, mengembangkan rudal nasional akan mampu menghasilkan rudal menggetarkan sekelas Atmaca atau Exocet MM40 Block 3 yang kini menjadi andalan TNI AL?
Pertanyaan lain, jika tanpa bantuan Turki atau negara sahabat lain, butuh waktu berapa lama lagi Indonesia akan mampu membuat rudal nasional sendiri dengan kualitas bisa diandalkan? Sementara di sisi lain, perkembangan geopolitik dan geomiliter di berbagai kawasan dunia sangat liar, hingga menuntut semua negara mengonsolidasikan kekuatan militernya.
Tak kalah urgent-nya adalah pentingnya Indonesia mengakselerasi visi kemandirian alutsista, termasuk rudal nasional di dalamnya. Kemandirian bukan strategis untuk memutus ketergantungan dan memastikan keamanan persediaan alutsista dalam situasi dibutuhkan, tapi juga meningkatkan bargaining of positiondalam diplomasi militer dan deterrent effect menghadapi ancaman dari negara atau aliansi manapun.
Sebagai ilustrasi dampak negara yang memiliki kemandirian alutsista yang kokoh, lihatlah bagaimana seperti Turki dan Iran selalu berani bicara lantang untuk menyampaikan kepentingannya, dan tidak ada negara manapun yang mengusik atau mengancamnya.
baca juga: Tanggapi Soal Alutsista Bekas, Wamenhan: Hanya Mengisi Kekosongan
Keterbukaan kesediaan Turki memberikan ToT dan membantu Indonesia merupakan jembatan emas mewujudkan asa membangun rudal nasional. Melalui kerja sama dengan Turki, Indonesia bisa mendapat atau menguasai puzzle teknologi rudal yang selama ini belum dikuasai.
Apabila harapan ini terwujud, Indonesia bukan sebatas mampu mengubah R-HAN menjadi rudal jelajah anti-kapal, tapi juga akan membuat berbagai varian rudal lain untuk memperkuat matra darat, laut dan udara. Karena itulah, kabar baik dari Turki harus dikejar dan dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh. (*)
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Adalah PT Republik Defesindo yang disebut mendapat otoritas membeli 45 unit rudal buatan Rocketsan bersama Aselsan serta produsen mesin turbin Kale Arge yang akan digunakan TNI Angkatan Laut. Kasak-kusuk bahkan menyebut Atmaca yang akan diakuisisi mencapai ratusan unit. Bila pembelian itu benar, maka Indonesia menjadi pengguna asing pertama produk rudal jelajah anti-kapal produksi negeri Otoman ini.
Atmaca (Hawk) adalah peluru kendali anti-kapal pertama yang dikembangkan secara domestik oleh negeri yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan, dengan misi untuk mengurangi ketergantungan Angkatan Laut Turki pada AGM-84 Harpoon. Rudal inilah yang akan disematkan pada beberapa jenis kapal yang kini tengah dimodernisasi PT PAL dan sejumlah galangan kapal nasional.
Seperti pernah dipaparkan PT PAL kepada Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto , jenis kapal dimaksud antara lain Parchim class, Fatahillah class, dan FPB-57 class. Dengan daya jelajah hingga 220 kilometer, keberadaan Atmaca tentu akan melambungkan daya gentar kapal perang TNI AL dalam mengamankan wilayah Laut Indonesia.
Sejatinya, yang patut digarisbawahi dalam transaksi Atmaca dengan Turki bukanlah pada peningkatan kapabilitas kapal perang TNI AL. Di balik pembelian tersebut ternyata juga menyangkut skema transfer of technology (ToT). Kabar baik ini diungkapkan langsung Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali tentang kemungkinan Turki bekerja sama dengan Indonesia untuk bersama-sama membuat peluru kendali (rudal) jelajah anti-kapal di dalam negeri.
Menurut KSAL, melalui transaksi rudal yang disebut selevel Harpoon dan Exocet tersebut, Turki bersedia membuat kerja sama membangun rudal nasional. Namun mantan komandan kapal selam Nanggala-402 itu mengakui rencana tersebut masih membutuhkan pembicaraan lebih lanjut.
Indonesia bisa membuat rudal nasional telah lama menjadi mimpi. Realitasnya, asa tersebut masih sulit menjadi kenyataan. Saat Indonesia mengakuisisi rudal C705 sempat santer diberitakan akan diikuti dengan ToT. Tapi wacana tersebut menguap begitu saja. Kabar teranyar, Indonesia tengah melakukan reverse engineering rudal buatan China itu.
Mengapa begitu sulit Indonesia bisa mendapatkan teknologi rudal. Jawaban tentu karena rudal merupakan teknologi rumit, dan dirahasiakan. Rudal juga merupakan alutsista strategis, hingga tidak semua negara mau berbagi ilmu. Kalaupun ada yang bersedia, biasanya harus diikuti dengan transaksi dengan jumlah besar.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Munculnya kabar ToT dari Turki pun memancing pertanyaan apa benar negeri itu mau berbagi ilmu atau teknologi dengan Indonesia untuk mewujudkan rudal nasional? Di sisi lain, apakah secara kapasitas SDM Indonesia sudah saatnya dan mampu melangkah menuju penguasaan teknologi rudal?
Turki Pilihan Tepat
“Kami tidak hanya menjual produk tetapi juga mengembangkan proyek bersama jangka panjang. Kami senang ilmu dan pengalaman kami di industri ini dapat dimanfaatkan oleh teman-teman dari negara lain,” kata Erdogan, dalam pameran IDEF 2023.
Pernyataan yang disampaikan pemimpin Turki tersebut secara jelas menegaskan negeri tersebut membuka lebar kepada negara lain untuk membangun kemitraan mengembangkan industri pertahanan. Apalagi dengan Indonesia, negara sahabat yang sama-sama negeri berpenduduk mayoritas muslim, peluang bekerja sama terbuka lebih lebar.
Secara formal, Indonesia-Turki telah menandatangani MoU kerja sama industri pertahanan melalui Menhan Prabowo Subianto bersama Menhan Turki Hulusi Akar, sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu. Kedua negara sepakat membentuk dewan kerja sama strategis tingkat tinggi. Sebelumnya, Indonesia-Turki sejak 2012 juga telah menjalin kemitraan strategis.
Pintu kemitraan Indonesia-Turki sudah tidak lagi di atas kertas. Melalui perusahaan pertahanan BUMN maupun swasta, keduanya sudah melangkah untuk bekerja bersama membuat sejumlah alutsista, seperti Tank Harimau dan Tank amfibhi Zaha; membangun combat management system (CMS) berbagai jenis kapal perang jenis KCR 90, OPV hingga Fregat Merah Putih; dan lainnya.
baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru
Di sisi lain, Turki merupakan negara yang pantas untuk Indonesia menimba ilmu dan mendapatkan bantuan kompetensi teknologi alutsista. Hal ini terkait kapasitas industri pertahanan Turki yang sudah bersaing dengan negara-negara besar. Berdasar data Denfense News yang dirilis 2022, dari 100 perusahaan pertahanan terkemuka dunia, tujuh di antaranya berasal dari Turki.
Bahkan, ASELSAN masuk dalam 50 besar. Perusahaan yang berdiri pada 1975 itu mengembangkan produk mulai dari sistem komunikasi, radar, dan berbagai sistem pertahanan. Produksinya telah digunakan 65 negara di dunia. Selain Aselsan, Turki juga memiliki perusahaan alutsista top global player seperti TAI, BMC, Roketsan, STM Defense Technologies & Engineering Ltd, FNSS, dan Havelsan.
Hampir semua teknologi militer sudah mampu dikembangkan dan diproduksi Turki, dengan kualitas yang tidak kalah dengan negara-negara pemain utama alutsista dunia seperti Amerika Serikat, Prancis, Rusia maupun China. Indikasinya bisa terlihat pada kian banyaknya negara yang mengandalkan alutsista made in Turki untuk memperkuat otot militernya.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), negeri tersebut menyumbang 1% dari total ekspor global. Raihan ini mengindikasikan Turki mampu menyiapkan SDM tangguh, melewati dinamika perekonomian, mengurangi ketergantungan pada pemasok asing, dan mengatasi perselisihan politik regional. Prestasi inilah yang harus Indonesia pelajari dari Turki.
Tinggal Selangkah
Jika ditelusuri, Indonesia sebenarnya tinggal selangkah memiliki kemampuan membuat rudal nasional. Pasalnya, sejumlah perusahaan BUMN dan swasta yang bergerak di bidang industri pertahanan telah mampu membuat bahan peledak atau propelan, amunisi, peledak, bom, hingga roket.
baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
Penguasaan teknologi roket bisa disebut sebagai backbone pembuatan rudal. Untuk roket, Indonesia telah berhasil membuat RHan-122B, yang digarap Pusat Teknologi Roket LAPAN bersama Konsorsium Roket Nasional sejak 2006. Setelah melewati tahapan penuh kesabaran --mulai dari desain konseptual, desain awal, pembuatan purwarupa (prototype), serta serangkaian pengujian statis dan dinamis sejak 2009--, Rhan-122B telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan roket GRAD RM 70 milik Marinir TNI-AL.
Hebatnya, dalam proses pengembangan R-HAN-122B, hingga pertengahan 2023 lalu LAPAN yang kemudian bergabung ke BRIN berhasil membuat tujuh paten yang diraih selama learning process. Roket pun sudah memulai pembahasan kontrak lisensi dengan industri pertahanan.
Selain sudah menguasai teknologi roket, beberapa pihak telah berinisiatif mengembangkan rudal sendiri. Rudal dimaksud antara lain rudal Merapi yang dikembangkan Pusat Riset Cirnov Universitas Ahmad Dahlan dengan Dislitbang TNI AD, dengan melihatkan PT Dahana dan BRIN. Riset yang dilakukan sejak 2018 sudah menapak tahap uji coba yang digelar di Area Weapon Range di Pandanwangi Lumajang pada akhir 2021 lalu.
Kala itu rudal Merapi sudah melewati tahapan evaluasi uji performansi roket pendorong, struktur aerodinamik sirip belakang (fin-tail), sirip depan (canard), penjejak (seeker) yang menggunakan teknologi inframerah, peluncur tabung, dan lain-lain. Bahkan saat itu juga dilakukan uji propelan dengan teknologi smokeless (tanpa asap) yang dibuat oleh PT Dahana.
Hasil uji coba memuaskan. Rudal kaliber 70 mm itu mampu melesat di atas kecepatan 650 kilometer per jam atau melampaui kecepatan suara. Dengan demikian rudal mampu untuk merontokkan pesawat baik pesawat tempur, helikopter militer, serta sasaran udara lainnya seperti drone.
Ada juga rudal Petir V-101. Rudal buatan PT Sari Bahari itu disebut mampu melesat dengan kecepatan 260 km per jam, tak mudah terbaca radar, memiliki kemampuan antisipasi frekuensi yang berubah. Dengan kemampuan ini membuat Rudal Petir V-101 tak kalah canggih dari berbagai rudal lainnya.
baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista
Berbagai fakta yang ada menunjukkan bahwa fondasi mewujudkan asa rudal nasional sudah tersedia. SDM Indonesia juga sudah memiliki kapasitas cukup untuk berkembang dan menjawab tantangan baru. Pertanyaan yang kemudian yang harus dijawab, apakah jika Indonesia secara swamandiri, termasuk dengan melakukan reverse engineering rudal C705, mengembangkan rudal nasional akan mampu menghasilkan rudal menggetarkan sekelas Atmaca atau Exocet MM40 Block 3 yang kini menjadi andalan TNI AL?
Pertanyaan lain, jika tanpa bantuan Turki atau negara sahabat lain, butuh waktu berapa lama lagi Indonesia akan mampu membuat rudal nasional sendiri dengan kualitas bisa diandalkan? Sementara di sisi lain, perkembangan geopolitik dan geomiliter di berbagai kawasan dunia sangat liar, hingga menuntut semua negara mengonsolidasikan kekuatan militernya.
Tak kalah urgent-nya adalah pentingnya Indonesia mengakselerasi visi kemandirian alutsista, termasuk rudal nasional di dalamnya. Kemandirian bukan strategis untuk memutus ketergantungan dan memastikan keamanan persediaan alutsista dalam situasi dibutuhkan, tapi juga meningkatkan bargaining of positiondalam diplomasi militer dan deterrent effect menghadapi ancaman dari negara atau aliansi manapun.
Sebagai ilustrasi dampak negara yang memiliki kemandirian alutsista yang kokoh, lihatlah bagaimana seperti Turki dan Iran selalu berani bicara lantang untuk menyampaikan kepentingannya, dan tidak ada negara manapun yang mengusik atau mengancamnya.
baca juga: Tanggapi Soal Alutsista Bekas, Wamenhan: Hanya Mengisi Kekosongan
Keterbukaan kesediaan Turki memberikan ToT dan membantu Indonesia merupakan jembatan emas mewujudkan asa membangun rudal nasional. Melalui kerja sama dengan Turki, Indonesia bisa mendapat atau menguasai puzzle teknologi rudal yang selama ini belum dikuasai.
Apabila harapan ini terwujud, Indonesia bukan sebatas mampu mengubah R-HAN menjadi rudal jelajah anti-kapal, tapi juga akan membuat berbagai varian rudal lain untuk memperkuat matra darat, laut dan udara. Karena itulah, kabar baik dari Turki harus dikejar dan dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh. (*)
(hdr)