Perma 1/2020, Gayus Lumbuun: Bisa Belenggu Kebebasan Hakim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Topane Gayus Lumbuun menyambut baik Peraturan MA (Perma) Nomor 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Karena, tujuan Perma itu bisa perbedaan (disparitas) hukuman dalam kasus korupsi.
"Penerbitan Perma No 1 Tahun 2020 itu sebenarnya bertujuan baik. Yakni untuk menghindari disparitas hukuman kasus-kasus yang merugikan negara yang diputuskan hakim," kata Gayus, Kamis (13/8/2020). (Baca juga: Hapus Tradisi “Mewah” di Lembaga Peradilan)
Namun di lapangan, kata dia, aturan itu juga bisa membelenggu independensi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan, kata dia, Perma itu juga bisa mengkotak-kotakan hukum. "Perma Nomor 1 Tahun 2020 ini tujuannya baik. Tapi dalam praktik di lapangan, Perma Nomor 1 Tahun 2020 ini bisa membelenggu kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman demi keadilan menurut keyakinannya. Perma ini juga bisa mengkotak-kotakkan hukum. Itu yang saya tidak setuju dan sangat saya sayangkan," katanya. (Baca juga: Terbitkan Surat Edaran, MA Larang Pungutan Kegiatan Dinas di Pengadilan)
Karena pada dasarnya, kata dia, hakim itu bebas dalam memutus perkara. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas bebas dari intervensi siapapun. "Hakim itu mandiri, dalam arti tidak tergantung kepada apa atau siapapun, oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya objektif," pungkasnya.
Independensi hakim mutlak untuk dijaga dan diupayakan agar tetap terjaga. Karena, kata dia, kemandirian hakim sangat dinanti oleh para pencari keadilan. "Karena independensi hakim bukanlah milik dia sendiri, melainkan milik pencari keadilan, milik publik. Setiap upaya untuk mereduksi kemandirian hakim dalam mengadili dan menjalankan fungsi teknis yudisial, termasuk pengaruh politik dan pengaruh kesejahteraan dan keuangan hakim, mesti ditolak," tegasnya.
Kemandiri hakim, kata dia, merupakan kekuasaan yang mutlak. Maka itu, sambungnya, dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim mereka harus merdeka. "Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Oleh karena itu, kata dia, hakim sebagai unsur yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam nenjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara, wajib menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memberikan putusan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," tuturnya.
"Penerbitan Perma No 1 Tahun 2020 itu sebenarnya bertujuan baik. Yakni untuk menghindari disparitas hukuman kasus-kasus yang merugikan negara yang diputuskan hakim," kata Gayus, Kamis (13/8/2020). (Baca juga: Hapus Tradisi “Mewah” di Lembaga Peradilan)
Namun di lapangan, kata dia, aturan itu juga bisa membelenggu independensi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan, kata dia, Perma itu juga bisa mengkotak-kotakan hukum. "Perma Nomor 1 Tahun 2020 ini tujuannya baik. Tapi dalam praktik di lapangan, Perma Nomor 1 Tahun 2020 ini bisa membelenggu kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman demi keadilan menurut keyakinannya. Perma ini juga bisa mengkotak-kotakkan hukum. Itu yang saya tidak setuju dan sangat saya sayangkan," katanya. (Baca juga: Terbitkan Surat Edaran, MA Larang Pungutan Kegiatan Dinas di Pengadilan)
Karena pada dasarnya, kata dia, hakim itu bebas dalam memutus perkara. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas bebas dari intervensi siapapun. "Hakim itu mandiri, dalam arti tidak tergantung kepada apa atau siapapun, oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya objektif," pungkasnya.
Independensi hakim mutlak untuk dijaga dan diupayakan agar tetap terjaga. Karena, kata dia, kemandirian hakim sangat dinanti oleh para pencari keadilan. "Karena independensi hakim bukanlah milik dia sendiri, melainkan milik pencari keadilan, milik publik. Setiap upaya untuk mereduksi kemandirian hakim dalam mengadili dan menjalankan fungsi teknis yudisial, termasuk pengaruh politik dan pengaruh kesejahteraan dan keuangan hakim, mesti ditolak," tegasnya.
Kemandiri hakim, kata dia, merupakan kekuasaan yang mutlak. Maka itu, sambungnya, dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim mereka harus merdeka. "Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Oleh karena itu, kata dia, hakim sebagai unsur yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam nenjalankan tugas memeriksa dan memutus perkara, wajib menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memberikan putusan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," tuturnya.
(cip)