Gratifikasi, Suap, dan Perampasan Aset

Minggu, 11 Februari 2024 - 18:21 WIB
loading...
Gratifikasi, Suap, dan Perampasan Aset
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

GRATIFIKASI dan suap beda tipis dalam rumusan normatifnya. Suap dan gratifikasi khusus ditujukan terhadap PNS/ASN atau Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

Bedanya, gratifikasi menggunakan pembuktian terbalik yakni terdakwa wajib membuktikan bahwa perolehan dana yang ia terima dari pemberi bukan dan tidak ada kaitan dengan tindak pidana atau terdakwa wajib membuktikan perolehan tambahan harta kekayaannya adalah sah. Untuk penerimaan dana dengan nilai di atas Rp1 miliar, terdakwa yang wajib membuktikan. Akan tetapi, untuk nilai di bawah Rp1 miliar, jaksa yang wajib membuktikan dugaan gratifikasi.

Gratifikasi dianggap delik sempurna (voltoid) jika penerima gratifikasi berniat menguasai dan memiliki secara permanen pemberian gratifikasi yang diterimanya dan tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggat waktu 30 hari. Sedangkan suap dianggap sempurna seketika pemberi suap telah diterima penerima dan ada hubungan dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki penerima suap.

Selain perbedaan tersebut, gratifikasi memerlukan tenggat waktu 30 hari sebagai batas waktu pengembalian gratifikasi ke KPK, sedangkan suap tidak ada syarat tenggat waktu dan dana suap tidak menghapus penuntutan sekalipun tersangka berniat mengembalikan pemberian suap tersebut kepada pemberi suap. Di dalam praktik, sering terjadi penyidik/penuntut tidak mampu membedakan keduanya sehingga terdakwa dibebaskan dari tuntutan jaksa penuntut.

Adapun pembuktian kedua jenis tindak pidana tersebut telah dimudahkan dengan kewajiban setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) melaporkan harta kekayaan setiap tahunnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut selanjutnya wajib diklarifikasi oleh KPK kebenarannya mengenai sumber dan asal kepemilikan harta kekayaannya serta kelebihan dari harta kekayaan yang sah yang ia terima dari negara. Jika terdapat harta kekayaan melebihi penghasilan ASN setiap tahun, maka terperiksa wajib mempertanggungjawabkan. Jika gagal, maka harta kekayaan tersebut dirampas negara.



Dalam konteks dua jenis tindak pidana tersebut terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). (RUU) Perampasan aset tindak pidana didesain khusus untuk menyempurnakan UU Tipikor dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN sehingga diharapkan strategi pencegahan korupsi dan dapat dilaksanakan seimbang dengan strategi penindakan korupsi.

Di dalam (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana digunakan dua cara pendekatan yaitu pendekatan keperdataan atau non-criminal-based forfeiture dan Kepidanaan atau criminal-based forfeiture; dengan sebutan lain, in-personam forfeiture dan in-rem forfeiture. Pendekatan keperdataan dilaksanakan melalui tuntutan secara perdata yang dilakukan kejaksaan mengajukan gugatan kepada Ketua PN, sedangkan pendekatan kepidanaan dilaksanakan melalui tuntutan pidana sebagaimana lazim dilakukan dalam praktik pidana.

Dalam pendekatan keperdataan yang dijadikan sasaran atau target perampasan adalah harta kekayaan tersangka/terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana sedangkan pendekatan kepidanaan, target sasaran adalah pemilik harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Baik dalam tuntutan pidana atau keperdataan maka LHKPN merupakan faktor penting, strategis, dan menentukan keberhasilan pelaksanaan (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana oleh Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang menjadi tulang punggung (backbone) pelaksanaan tugas penyidikan dan penuntutan atau gugatan.

Dalam konteks ini maka kerja sama intensif antara kedua Lembaga hukum tersebut sangat menentukan dan mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan pemulihan atau pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Keberhasilan perampasan aset tindak pidana ditentukan oleh keberhasilan melaksanakan sungguh-sungguh ASN/APH mewujudkan prinsip transparansi, integritas, dan akuntabilitasnya. Implikasi pemberlakuan (R) UU Perampasan Aset Tindak Pidana adalah diperlukan perubahan ketentuan umum hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama dalam hukum acara penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.



Hukum acara penyelidikan dan penyidikan tidak cukup hanya sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka akan tetapi yang diperlukan adalah bukti dugaan bahwa harta kekayaan tersangka berasal dari tindak pidana, dan bukti tersebut hanya didasarkan pada hasil penelitian PPATK berdasarkan UU Pencucian Uang. Sehingga, dalam hukum pembuktian dengan sekurang-kurangnya tiga alat bukti yang cukup, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menentukan kesalahan terdakwa dan dengan demikian selain kesalahan terdakwa juga harta kekayaan terdakwa dapat dirampas dan disita untuk negara sebanyak nilai harta kekayaan yang telah ditetapkan oleh PPATK.

Merujuk pada perubahan hukum acara pidana untuk perampasan aset tindak pidana, maka selayaknya dipertimbangkan Rancangan Perubahan KUHAP yang telah diajukan pemerintah ke DPR RI dikaji kembali dan dilakukan prosedur harmonisasi dengan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Konsekuensi logis dari perubahan dimaksud adalah pembentukan Lembaga Penampungan Aset tindak pidana yang menurut informasi telah dibentuk di Kejaksaan Agung.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2072 seconds (0.1#10.140)