Penegakan Hukum dan Investasi dalam Bidang Usaha
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
DUA variabel di judul tulisan ini seakan tampak tidak saling berhubungan. Namun, di dalam kenyataan penegakan hukum di Indonesia telah terjadi transaksi bisnis penanaman modal dalam negeri maupun asing telah terbukti merugikan keuangan negara sehingga dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi.
Peristiwa transaksi bisnis yang berujung tindak pidana korupsi telah banyak memakan "korban-korban". Pengurus korporasi dijatuhi hukuman atau korporasinya jadi barang sitaan negara, karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).
Telah terbukti kedua variabel tersebut bersifat interdepent sehingga jika penegakan hukum dengan objek transaksi bisnis dan menimbulkan kerugian negara dipastikan diterapkan UU Tipikor dan berdampak terhadap semangat dan upaya pemerintah untuk menarik investasi di Indonesia. Namun, di sisi lain, korupsi dan suap telah terbukti pula menghambat laju investasi apalagi 99% Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah disetujui dan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Masalah korupsi dalam kegiatan bisnis di BUMN, yang didanai dari APBN/APBD terbukti banyak perkara di Kejaksaan maupun di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nilai total kerugian lebih dari Rp500 juta. Masih menjadi pertanyaan di kalangan akademisi maupun advokat mengenai masalah penerapan UU Tipikor cq Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam terjadinya kerugian yang diderita oleh BUMN seperti BUMN Perbankan dan kegiatan sektor lainnya.
Pertanyaan ini merujuk pada ketentuan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor yang membatasi lingkup pemberlakuan UU Tipikor dan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam UU masing-masing dan sampai kini belum dicabut/tetap berlaku akan tetapi dalam praktik hukum sering diabaikan baik oleh kejaksaan maupun pengadilan tipikor, bahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Sampai saat ini belum ada solusi dari masalah penerapan UU Tipikor terhadap kerugian negara di BUMN yang berdampak efisiensi dan efektivitas terhadap kinerja BUMN dalam konteks kebijakan pemerintah dalam bidang investasi. Masalah penerapan UU Tipikor yang dipersoalkan ini dan tetap terjadi didasarkan pada hasil survei TII yang menunjukkan bahwa IPK Indonesia termasuk terendah dibandingkan denga negara tetangga juga negara Afrika.
Bahkan, praktik suap dan korupsi diyakini merupakan salah satu faktor penyebab terpenting menurunnya minat pebisnis terutama pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga dipastikan merugikan perekonomian Indonesia secara nasional maupun dalam hubungan internasional. Berdasarkan hasil riset tersebut, maka dicanangkan strategi besar pemberantasan korupsi melalui INPRES yang setiap tahun dicanangkan pemerintah.
Namun demikian, strategi pemberantasan korupsi yang direncanakan dan telah dilaksanakan beberapa tahun yang lampau lebih banyak menitikberatkan pada strategi penindakan dan strategi pencegahan diabaikan sehingga upaya pemerintah membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak tercapai secara efisien dan efektif.
Di samping hal tersebut, pendekatan normatif yang selama 76 tahun lamanya dipercaya dan bahkan dipastikan diyakini aparatur penegak hukum, kejaksaan dan KPK, sudah benar terbukti diterapkan dengan pola pendekatan normatif semata-mata terutama menggunakan pisau hukum pidana untuk semua pelanggaran UU yang mengatur K/L dan perbankan sepanjang telah terdapat temuan adanya kerugian keuangan negara.
Sedangkan diketahui bahwa pendekatan normatif di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) telah mengamanatkan aparatur penegak hukum untuk berhati-hati ketika kerugian keuangan negara terjadi di sektor dunia usaha termasuk di sektor birokrasi yang hanya melakukan tindak pidana administratif seperti UU Perbankan dan UU Kehutanan dan lain-lain. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, UU Tipikor tidak berlaku untuk semua jenis pelanggaran kecuali pelanggaran administratif yang secara tegas dinyatakan sebagai tipikor (lihat Pasal 14 UU Tipikor), seperti halnya di dalam UU Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa, fiskus yang secara melawan hukum memperoleh keuntungan dari wajib pajak diancam sebagai tindak pidana tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Tipikor.
Harus dipastikan oleh aparatur hukum termasuk hakim pengadilan tipikor bahwa lingkup kewenangan pengadilan tipikor hanya meliputi tiga jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tipikor, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tipikor (lihat Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor). Selain ketiga jenis tindak pidana tersebut tidak dibolehkan diperiksa, dituntut, dan diadili sebagai tipikor.
Hal kedua, pendekatan hukum normatif dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan sektor bisnis seharusnya digunakan pendekatan "cost-benefit analysis" bukan semata cukup dengan pendekatan "benar dan salah" (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Seharusnya digunakan analisis pendekatan "tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan)- geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut. Pendekatan terakhir ini telah memadukan analisis hukum pidana dengan analisis prinsip ekonomi: maksimisasi(maximization), keseimbangan (equilibrium), dan efisiensi (efficiency) dan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sehingga sekalipun tujuan hukum pidana telah diperoleh akan tetapi perolehan tujuan tersebut harus seimbang, maksimal dan efisien bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Saat ini yang telah terjadi adalah ketidakseimbangan, tidak maksimal dan tidak efisien hasil pemberantasan korupsi sehingga keadaan hunian di Lapas semakin overkapasitas dengan segala ekses-ekses negatif daripadanya, dan biaya APBN Kementerian Hukum dan HAM khususnya Ditjen Pemasyarakatan selalu membengkak setiap tahunnya sedangkan hasil yang diperoleh dengan pendekatan asas tiada pidana tanpa kesalahan sejatinya nihil terutama bagi kemanfaatan masyarakat luas.
Kekeliruan persepsi aparat penegak hukum dalam menghadapi dugaan tipikor pada umumya adalah selalu difokuskan pada ada/tidaknya kerugian keuangan negara -pada akibatnya sedangkan sejalan dengan ajaran sebab-akibat (causalitets leer) seharusnya ditemukan terlebih dulu dua bukti permulaan yang cukup ada/tidaknya perbuatan yang kemudian dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.
Contoh dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor titik berat perhatian dan fokus penyidik seharusnya pada mens-rea yang melekat pada tindakan seseorang pejabat atau ASN atau pegawai BUMN bukan fokus pada ada/tidaknya kerugian keuangan negara yang merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang karena berlawanan secara teoritik hukum mengenai teori sebab akibat suatu tindak pidana. Konsekuensi logis dari kekeliruan teoritik dalam pembuktian ada tidaknya tipikor bahwa, penyidik selalu memintaBadan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mencari dan menemukan kerugian keuangan negara dari dugaan adanya tipikor.
Di sisi lain, BPK di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas permintaan penyidik selalu dicantumkan kalimat ada penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam suatu pemeriksaan investigatif, sedangkan objek pemeriksaan sejatinya bukan pada ada tidak adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dari suatu peristiwa diduga tipikor akan tetapi pada ada tidak adanya kerugian keuangan negara semata-mata, sehingga kemudian penempatan kalimat "penyimpangan" seharusnya dilengkapi dengan sebutan, "Penyimpangan yang secara administratif" wajib dipertanggungjawabkan oleh setiap pelakunya dan pembuktian ada/tidaknya unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terletak pada penyidik. Namun tidaklah serta-merta dapat dipastikan bahwa penyimpangan secara administratif itu diklaim sebagai perbuatan melawan hukum/PMH atau penyalahgunaan wewenang. Keduanya berbeda secara etimologis maupun secara hukum.
Kekeliruan penafsiran hukum dalam praktik hukum pidana ini sering terjadi sehingga diperlukan ketelitian dan kehati-hatian penyidik dan auditor BPK sebagai pejabat fungsional yang oleh UU BPK telah dinyatakan secara tersirat hasil pemeriksaan melengkapi tugas pro justitia penyidikan.
DUA variabel di judul tulisan ini seakan tampak tidak saling berhubungan. Namun, di dalam kenyataan penegakan hukum di Indonesia telah terjadi transaksi bisnis penanaman modal dalam negeri maupun asing telah terbukti merugikan keuangan negara sehingga dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi.
Peristiwa transaksi bisnis yang berujung tindak pidana korupsi telah banyak memakan "korban-korban". Pengurus korporasi dijatuhi hukuman atau korporasinya jadi barang sitaan negara, karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).
Telah terbukti kedua variabel tersebut bersifat interdepent sehingga jika penegakan hukum dengan objek transaksi bisnis dan menimbulkan kerugian negara dipastikan diterapkan UU Tipikor dan berdampak terhadap semangat dan upaya pemerintah untuk menarik investasi di Indonesia. Namun, di sisi lain, korupsi dan suap telah terbukti pula menghambat laju investasi apalagi 99% Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah disetujui dan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Masalah korupsi dalam kegiatan bisnis di BUMN, yang didanai dari APBN/APBD terbukti banyak perkara di Kejaksaan maupun di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nilai total kerugian lebih dari Rp500 juta. Masih menjadi pertanyaan di kalangan akademisi maupun advokat mengenai masalah penerapan UU Tipikor cq Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam terjadinya kerugian yang diderita oleh BUMN seperti BUMN Perbankan dan kegiatan sektor lainnya.
Pertanyaan ini merujuk pada ketentuan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor yang membatasi lingkup pemberlakuan UU Tipikor dan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam UU masing-masing dan sampai kini belum dicabut/tetap berlaku akan tetapi dalam praktik hukum sering diabaikan baik oleh kejaksaan maupun pengadilan tipikor, bahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Sampai saat ini belum ada solusi dari masalah penerapan UU Tipikor terhadap kerugian negara di BUMN yang berdampak efisiensi dan efektivitas terhadap kinerja BUMN dalam konteks kebijakan pemerintah dalam bidang investasi. Masalah penerapan UU Tipikor yang dipersoalkan ini dan tetap terjadi didasarkan pada hasil survei TII yang menunjukkan bahwa IPK Indonesia termasuk terendah dibandingkan denga negara tetangga juga negara Afrika.
Bahkan, praktik suap dan korupsi diyakini merupakan salah satu faktor penyebab terpenting menurunnya minat pebisnis terutama pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga dipastikan merugikan perekonomian Indonesia secara nasional maupun dalam hubungan internasional. Berdasarkan hasil riset tersebut, maka dicanangkan strategi besar pemberantasan korupsi melalui INPRES yang setiap tahun dicanangkan pemerintah.
Namun demikian, strategi pemberantasan korupsi yang direncanakan dan telah dilaksanakan beberapa tahun yang lampau lebih banyak menitikberatkan pada strategi penindakan dan strategi pencegahan diabaikan sehingga upaya pemerintah membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak tercapai secara efisien dan efektif.
Di samping hal tersebut, pendekatan normatif yang selama 76 tahun lamanya dipercaya dan bahkan dipastikan diyakini aparatur penegak hukum, kejaksaan dan KPK, sudah benar terbukti diterapkan dengan pola pendekatan normatif semata-mata terutama menggunakan pisau hukum pidana untuk semua pelanggaran UU yang mengatur K/L dan perbankan sepanjang telah terdapat temuan adanya kerugian keuangan negara.
Sedangkan diketahui bahwa pendekatan normatif di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) telah mengamanatkan aparatur penegak hukum untuk berhati-hati ketika kerugian keuangan negara terjadi di sektor dunia usaha termasuk di sektor birokrasi yang hanya melakukan tindak pidana administratif seperti UU Perbankan dan UU Kehutanan dan lain-lain. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, UU Tipikor tidak berlaku untuk semua jenis pelanggaran kecuali pelanggaran administratif yang secara tegas dinyatakan sebagai tipikor (lihat Pasal 14 UU Tipikor), seperti halnya di dalam UU Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa, fiskus yang secara melawan hukum memperoleh keuntungan dari wajib pajak diancam sebagai tindak pidana tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Tipikor.
Harus dipastikan oleh aparatur hukum termasuk hakim pengadilan tipikor bahwa lingkup kewenangan pengadilan tipikor hanya meliputi tiga jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tipikor, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tipikor (lihat Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor). Selain ketiga jenis tindak pidana tersebut tidak dibolehkan diperiksa, dituntut, dan diadili sebagai tipikor.
Hal kedua, pendekatan hukum normatif dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan sektor bisnis seharusnya digunakan pendekatan "cost-benefit analysis" bukan semata cukup dengan pendekatan "benar dan salah" (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Seharusnya digunakan analisis pendekatan "tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan)- geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut. Pendekatan terakhir ini telah memadukan analisis hukum pidana dengan analisis prinsip ekonomi: maksimisasi(maximization), keseimbangan (equilibrium), dan efisiensi (efficiency) dan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sehingga sekalipun tujuan hukum pidana telah diperoleh akan tetapi perolehan tujuan tersebut harus seimbang, maksimal dan efisien bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Baca Juga
Saat ini yang telah terjadi adalah ketidakseimbangan, tidak maksimal dan tidak efisien hasil pemberantasan korupsi sehingga keadaan hunian di Lapas semakin overkapasitas dengan segala ekses-ekses negatif daripadanya, dan biaya APBN Kementerian Hukum dan HAM khususnya Ditjen Pemasyarakatan selalu membengkak setiap tahunnya sedangkan hasil yang diperoleh dengan pendekatan asas tiada pidana tanpa kesalahan sejatinya nihil terutama bagi kemanfaatan masyarakat luas.
Kekeliruan persepsi aparat penegak hukum dalam menghadapi dugaan tipikor pada umumya adalah selalu difokuskan pada ada/tidaknya kerugian keuangan negara -pada akibatnya sedangkan sejalan dengan ajaran sebab-akibat (causalitets leer) seharusnya ditemukan terlebih dulu dua bukti permulaan yang cukup ada/tidaknya perbuatan yang kemudian dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.
Contoh dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor titik berat perhatian dan fokus penyidik seharusnya pada mens-rea yang melekat pada tindakan seseorang pejabat atau ASN atau pegawai BUMN bukan fokus pada ada/tidaknya kerugian keuangan negara yang merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang karena berlawanan secara teoritik hukum mengenai teori sebab akibat suatu tindak pidana. Konsekuensi logis dari kekeliruan teoritik dalam pembuktian ada tidaknya tipikor bahwa, penyidik selalu memintaBadan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mencari dan menemukan kerugian keuangan negara dari dugaan adanya tipikor.
Di sisi lain, BPK di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas permintaan penyidik selalu dicantumkan kalimat ada penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam suatu pemeriksaan investigatif, sedangkan objek pemeriksaan sejatinya bukan pada ada tidak adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dari suatu peristiwa diduga tipikor akan tetapi pada ada tidak adanya kerugian keuangan negara semata-mata, sehingga kemudian penempatan kalimat "penyimpangan" seharusnya dilengkapi dengan sebutan, "Penyimpangan yang secara administratif" wajib dipertanggungjawabkan oleh setiap pelakunya dan pembuktian ada/tidaknya unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terletak pada penyidik. Namun tidaklah serta-merta dapat dipastikan bahwa penyimpangan secara administratif itu diklaim sebagai perbuatan melawan hukum/PMH atau penyalahgunaan wewenang. Keduanya berbeda secara etimologis maupun secara hukum.
Kekeliruan penafsiran hukum dalam praktik hukum pidana ini sering terjadi sehingga diperlukan ketelitian dan kehati-hatian penyidik dan auditor BPK sebagai pejabat fungsional yang oleh UU BPK telah dinyatakan secara tersirat hasil pemeriksaan melengkapi tugas pro justitia penyidikan.
(zik)