Penegakan Hukum Jangan Tebang Pilih

Kamis, 15 September 2022 - 11:54 WIB
loading...
Penegakan Hukum Jangan Tebang Pilih
Buzzer atau pendengung yang kerap memicu kegaduhan dan provokasi di media sosial kerap tidak tersentuh hukum. Pemerintah harus adil dan tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. (KORAN SINDO/wawan Bastian)
A A A
ISU-ISU terkait rasisme dan ujaran kebencian kini menjadi topik pembicaraan yang sering muncul di masyarakat. Selain masalah kebocoran data, kegaduhan yang ditimbulkan oleh politisi, konten-konten provokasi yang dilakukan oleh buzzer di media sosial sudah meresahkan masyarakat. Adu domba yang sudah melampaui batas-batas norma kehidupan semakin tak terkendali.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera mengambil langkah tegas terhadap para buzzer yang sudah dilabeli oleh masyarakat sebagai pemecah belah bangsa.

Langkah cepat dan terukur dalam penegakan hukum perlu segera diambil mengingat tahun depan sudah masuk tahun politik sehingga tensi konflik di masyarakat berpeluang meningkat apabila aparat penegak hukum terlambat melakukan mitigasi.

Yang terbaru, konten provokasi dan ujaran kebencian yang diunggah buzzer Eko Kunthadi meletupkan emosi masyarakat. Eko dituduh telah melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap Ustazah Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Ustazah Imaz Fatimatuz Zahra atau yang akrab disapa Ning Imaz. Melalui akun media sosial Twitter @_ekokintadhi, Eko mengolok-olok dan diduga melakukan pelecehan seksual menggunakan konten video ceramah Ning Imaz terkait kehidupan di surga.

Sebelum kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Ning Imaz, Eko kerap menyerang pribadi sejumlah ulama di Indonesia. Misalnya, mendukung langkah Singapura mendeportasi Ustaz Abdul Somad. Dia juga dinilai masyarakat melakukan fitnah terhadap Ustaz Adi Hidayat (UAH) yang mengumpulkan bantuan untuk Palestina.

Masyarakat luas tentu sangat prihatin dengan perilaku yang terkesan disengaja untuk memprovokasi masyarakat itu. Terlebih banyak buzzer yang kerap mengunggah konten sejenis di media sosial masih bebas melakukannya, seolah tak bisa tersentuh oleh hukum.

Selain membuat kehidupan masyarakat terpolarisasi, keberadaan buzzer di media sosial membuat polarisasi politik terus terjadi dan cenderung merusak kualitas demokrasi. Sudah saatnya semua berkomitmen untuk menertibkan buzzer dan mencegah perpecahan. Sudah saatnya para elite politik menghadirkan politik ide dan gagasan, bukan politik yang saling menjatuhkan.

Kompetisi Pemilu 2024 harus menggunakan adu ide dan gagasan, bukan perpecahan. Politisi juga harus mengambil peran dalam menghentikan kiprah para buzzer. Salah satunya tak lagi menggunakan jasa para pendengung itu untuk mendapatkan keuntungan elektoral tanpa mempertimbangkan putusnya tali kebangsaan sesama anak bangsa.

Kendati demikian, sudah menjadi tugas utama setiap warga negara Indonesia untuk terus menjaga stabilitas nasional keutuhan bangsa dengan kerukunan. Konten-konten provokatif sudah tak selayaknya diunggah di platform media sosial maupun di platform apa pun.

Bahaya buzzer, selain memanipulasi nilai kebenaran menjadi sesuatu yang subjektif, bagi Fahmi, adalah pola yang digunakan untuk menghajar sasaran mereka lewat trolling (pelecehan), kampanye hitam, hingga memolarisasi masyarakat.

Pemerintah perlu meningkatkan perangkat hukum yang memadai untuk menangkal fenomena buzzer. UU ITE hingga metode internet throttling (pembatasan akses) belum sepenuhnya efektif. Kepada masyarakat, literasi digital perlu diperkuat, baik melalui peningkatan riset, multi fact checking, ekspose kepada publik, hingga edukasi sebagai bentuk mementahkan fitnah yang diakibatkan oleh para buzzer.

Baca Juga: koran-sindo.com

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1085 seconds (0.1#10.140)