Penyelesaian Stunting dan Jargon Hilirisasi
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015 )
TOPIK stunting menjadi hal menarik yang sering didiskusikan menjelang Pilpres 2024. Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadikan stunting sebagai isu utama dalam visi-misi dan kampanye mereka.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2022, prevalensi balita stunting di Indonesia sebanyak 21,6%. Angka ini ditargetkan akan turun menjadi 14% pada tahun 2024. kompas.com, Selasa (17/2/2023). Dengan target ini, strategi dari ketiga paslon menjadi hal yang sangat krusial.
Apa itu Stunting?
Stunting adalah suatu kondisi di mana anak balita mengalami gagal tumbuh akibat kekurangan zat gizi yang berlangsung lama (kronis) baik karena kurangnya asupan makanan bergizi atau adanya penyakit yang mempengaruhi keadaan gizi anak.
Di Indonesia, lima provinsi dengan angka stunting tertinggi menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, adalah : Nusa Tengara Timur (NTT) (35,3%); Sulawesi Barat (35%); Papua (34, 6%); Nusa Tengara Barat (NTB) (32,7%); Aceh (31,2%).
Secara garis besar penyebab stunting ada dua, yaitu langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif). Penyebab langsung yaitu rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Faktor asupan gizi dan status kesehatan dipengaruhi oleh ketahahan pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan akses pangan bergizi), lingkungan sosial (norma, makanan bayi dan anak, hygiene, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses, pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (air, sanitasi, kondisi bangunan).
Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.
Selain kedua penyebab tersebut, terdapat faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian stunting, yaitu pola asuh ibu. Faktor ini secara langsung dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan asupan zat gizi anak dan juga pada status kesehatan anak.
Mengatasi Stunting
Mengingat penyebabnya ada yang langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif) maka Bappenas pun mengeluarkan dua strategi intervensi, yaitu: intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. intervensi gizi spesifik dimaksudkan untuk mengatasi penyebab langsung sedang intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung.
Intervensi gizi spesifik adalah kegiatan yang dampaknya dapat langsung mengatasi masalah stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan. Intervensi gizi spesifik ini umumnya diberikan oleh sektor kesehatan berdasarkan bukti klinis yang valid dan telah terbukti efektifitasnya pada banyak negara.
Intervisi spesifik meliputi 11 kegiatan. Ke-11 yakni skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah (TTD) remaja putri, pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK), pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian MPASI kaya protein hewani bagi Baduta, tata laksana Balita dengan masalah gizi, peningkatan cakupan dan perluasan imunisasi, edukasi remaja ibu hamil dan keluarga termasuk pemicuan bebas buang air besar sembarangan (BABS).
Dari 11 intervensi spesifik di atas dapat digolongkan manjadi tiga kelompok, yaitu: (a) Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memilik dampak paling besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran prioritas; (b) Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas dilakukan.
(c) Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat bencana (program gizi darurat). Intervensi gizi sensitif meliputi peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; dan peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan lintas sektor, tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan.
Untuk diketahui, stunting bukan saja kondisi yang berawal dan berakhir pada anak tersebut, saat itu. Melainkan, boleh jadi merupakan peristiwa lama yang dapat ditelusuri ke belakang, dari status gizi ibunya saat hamil sampai anak lahir (masa 1.000 HPK) dan bahkan sampai anak itu menjadi remaja atau remaja putri.
Membicarakan stunting tidak boleh melepaskan diri dari periode penting perjalanan kehidupan manusia, yaitu pada 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK). Secara sederhana, 1.000 HPK mencakup dua masa pada siklus kehidupan, yaitu masa kehamilan (dan janin tentunya) serta masa 2 tahun pertama setelah dilahirkan.
Periode ini merupakan periode dengan tingkat plastisitas yang tinggi. Janin di masa kehamilan ataupun anak di masa dua tahun pertama akan merespons apapun yang ia terima di masa ini. Jika ia kekurangan, maka tubuh akan memberi respons dengan bersikap efisien, sehingga dampak kekurangan tersebut tidak akan mempengaruhi “kinerja” metabolismenya.
Jika “efisiensi” itu terjadi di masa kehamilan, maka bayi yang dilahirkan akan membawa efisiesnsi program metabolisme semasa ia dalam kandungan dan dilahirkan dalam keadaan berat lahir yang rendah. Bayi dengan berat lahir yang rendah ini hadir dengan program metabolisme yang sesuai dengan lingkungan yang terbatas. Hasilnya, terdapat ketidaksesuaian ketika orang tua berupaya untuk menambah asupan untuk memperbaiki status gizi anak.
Bayi dengan berat lahir rendah yang tidak mendapatkan penanganan yang adekuat akan bertumbuh dengan berat badan yang kurang. Proses pertumbuhan terhambat karena asupan gizi yang tidak mencukupi, tubuh mempertahankan efisiensi sehingga pertambahan tinggi badan terhambat.
Pada titik ini, stunting menjadi sangat relevan untuk menilai perjalanan pertumbuhan seorang anak. Namun demikian, tubuh pendek bukanlah satu-satunya dampak yang dicemaskan.
Stunting adalah sebuah indikator proksi terhadap masalah lainnya yang menyertai kurangnya asupan gizi di waktu yang lama. Salah satunya adalah perkembangan otak janin yang tentunya akan mempengaruhi kecerdasan anak. Atau anemia pada bayi yang tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan anak.
Tidak semua anak pendek pasti bermasalah dengan perkembangan otaknya, pun demikian dengan kemungkinan terjadinya anemia. Tetapi anak pendek yang disebabkan oleh karena asupan zat gizi yang tidak adekuat dalam waktu yang lama bisa menuntun kita untuk mendapatkan masalah lainnya yang mungkin terjadi akibat asupan gizi yang tidak adekuat.
Stunting tak hanya menjadi gambaran masa lalu seorang anak, namun juga bisa menjadi gambaran masa depan seseorang. Perkembangan otak yang tidak optimal akan mempengaruhi kecerdasan seorang anak dan tentunya akan turut berdampak pada kecerdasannya dikemudian hari.
Sebuah poin penting dalam produktifitas dan kemampuan untuk bekerja pada bidang yang membutuhkan kecakapan yang tinggi. Tak lupa masalah program metabolik yang berubah dan melahirkan resiko obesitas pada penanganan stunting yang salah.
Obesitas merupakan akar masalah beragam penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan penyakit kronis lainnya. Stunting bisa menjadi pengingat untuk berhati-hati terhadap semua resiko yang bisa terjadi di kemudian hari.
Dari seluruh rententan kejadian tersebut, menjadi jelas, periode 1.000 HPK yang dipenuhi dengan masalah kurangnya asupan gizi akan berujung pada masalah besar lainnya di kemudian hari. Mengurangi angka stunting berarti mengurangi rangkaian tahapan seorang anak menjadi stunting.
Sehingga sekali lagi secara relevan, menggunakan stunting sebagai indikator perbaikan gizi bagaikan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Atau dalam sudut pandang berbeda, peningkatan angka stunting menjadi pertanda meningkatnya pula berbagai masalah yang menjadi tahapan terjadinya stunting pada anak.
Jika ibu hamil merupakan target utama upaya pencegahan stunting, maka memastikan para wanita usia subur yang kelak akan mengandung berada dalam status kesehatan yang optimal, merupakan langkah penting yang strategis. Intervensi sedini mungkin pada wanita usia subur dalam hal ini pada kelompok remaja memberikan peluang penyelesaian masalah yang lebih efektif.
Remaja putri yang menderita anemia memiliki dampak buruk di kemudian hari. Remaja putri yang anemia jika tidak segera diatasi akan terbawa hingga ia dewasa dan hamil, yang kemudian juga berdampak buruk bagi janin yang dikandungnya.
Janin yang dikandungnya beriskiko lahir dengan berat badan di bawah 2.500 gram (Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR). Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR ini dapat meningkatkan risiko sakit dan meninggal pada usia muda. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang anemia berpeluang besar untuk mengalami anemia. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan (kemampuan kognitif) anak di kemudian hari.
Catatan Akhir
Masa 1.000 HPK dimulai sejak kehamilan (270 hari) sampai dengan anak berusia 2 tahun (730 hari). Ini adalah masa kritis di mana anak bertumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dan signifikan. Masa ini tidak bisa terulang, segala intervensi yang dilakukan pada masa ini akan memberikan hasil yang optimal pada anak sehingga disebut window of opportunities atau periode emas.
Ibu yang mengandung dalam keadaan malnutrisi dan secara konstan berada dalam asupan zat gizi tidak adekuat akan berimplikasi pada pemenuhan zat gizi janin karena ibu adalah satu-satunya jalur bagi janin untuk mendapatkan zat gizi. Kurang zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dicerminkan melalui status gizi dan pertambahan berat badan ibu saat hamil. Sedang kurang zat gizi mikro menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan janin.
Dalam enam bulan pertama kehidupan bayi, pemenuhan zat besi (zat gizi mikro) diperoleh dari simpanan yang “diwariskan” oleh ibu saat masih dalam kandungan. Jika ibu mengalami anemia selama masa kehamilan, simpanan zat besi bayinya akan bermasalah sehingga memengaruhi bayi tersebut pada enam bulan pertama.
Mengingat stunting itu merupakan kejadian yang telah berlangsung lama, prosesnya cukup kompleks, dan berdampak jangka panjang, langkah penyelesaiannya pun sangat kompleks. Berbeda dengan masalah ekonomi, maka jargon hilirisasi tidak tepat diterapkan dalam masalah stunting ini. Target penyelesaian stunting justru harus dilakukan pada hulunya, dalam hal ini dimulai pada ibu hamil dan bahkan pada remaja putri.
Pemilihan target intervensi yang berada di hilir bukanlah upaya etiologis namun simtomatis. Program penanganan melalui intervensi “di ujung jalan”, instan dan insidentil, seperti melakukan bakti sosial, memberi makan gratis, dan penanganan lain yang berpusat pada periode di luar 1000 HPK bukan pilihan yang bijak. Penyelesaian stunting harus mengutamakan pendekatan kesisteman.
Pendekatan kesisteman ini perlu melibatkan berbagai unsur yang secara bahu membahu dalam mengatasi stunting. Tidak hanya pemerintah saja, perlu adanya komitmen politik dan kolaborasi pemerintah dengan lintas sektor. Selanjutnya, dibutuhkan pula adanya partisipasi masyarakat dan organisasi profesi kesehatan dalam bentuk Gerakan Indonesia Mengatasi Stunting (GIMS) serta berbagai aktivitas lainnya. Wallahu a'lam bishawab.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015 )
TOPIK stunting menjadi hal menarik yang sering didiskusikan menjelang Pilpres 2024. Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadikan stunting sebagai isu utama dalam visi-misi dan kampanye mereka.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2022, prevalensi balita stunting di Indonesia sebanyak 21,6%. Angka ini ditargetkan akan turun menjadi 14% pada tahun 2024. kompas.com, Selasa (17/2/2023). Dengan target ini, strategi dari ketiga paslon menjadi hal yang sangat krusial.
Apa itu Stunting?
Stunting adalah suatu kondisi di mana anak balita mengalami gagal tumbuh akibat kekurangan zat gizi yang berlangsung lama (kronis) baik karena kurangnya asupan makanan bergizi atau adanya penyakit yang mempengaruhi keadaan gizi anak.
Di Indonesia, lima provinsi dengan angka stunting tertinggi menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, adalah : Nusa Tengara Timur (NTT) (35,3%); Sulawesi Barat (35%); Papua (34, 6%); Nusa Tengara Barat (NTB) (32,7%); Aceh (31,2%).
Secara garis besar penyebab stunting ada dua, yaitu langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif). Penyebab langsung yaitu rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Faktor asupan gizi dan status kesehatan dipengaruhi oleh ketahahan pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan akses pangan bergizi), lingkungan sosial (norma, makanan bayi dan anak, hygiene, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses, pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (air, sanitasi, kondisi bangunan).
Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.
Selain kedua penyebab tersebut, terdapat faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian stunting, yaitu pola asuh ibu. Faktor ini secara langsung dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan asupan zat gizi anak dan juga pada status kesehatan anak.
Mengatasi Stunting
Mengingat penyebabnya ada yang langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif) maka Bappenas pun mengeluarkan dua strategi intervensi, yaitu: intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. intervensi gizi spesifik dimaksudkan untuk mengatasi penyebab langsung sedang intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung.
Intervensi gizi spesifik adalah kegiatan yang dampaknya dapat langsung mengatasi masalah stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan. Intervensi gizi spesifik ini umumnya diberikan oleh sektor kesehatan berdasarkan bukti klinis yang valid dan telah terbukti efektifitasnya pada banyak negara.
Intervisi spesifik meliputi 11 kegiatan. Ke-11 yakni skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah (TTD) remaja putri, pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK), pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian MPASI kaya protein hewani bagi Baduta, tata laksana Balita dengan masalah gizi, peningkatan cakupan dan perluasan imunisasi, edukasi remaja ibu hamil dan keluarga termasuk pemicuan bebas buang air besar sembarangan (BABS).
Dari 11 intervensi spesifik di atas dapat digolongkan manjadi tiga kelompok, yaitu: (a) Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memilik dampak paling besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran prioritas; (b) Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas dilakukan.
(c) Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat bencana (program gizi darurat). Intervensi gizi sensitif meliputi peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; dan peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan lintas sektor, tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan.
Untuk diketahui, stunting bukan saja kondisi yang berawal dan berakhir pada anak tersebut, saat itu. Melainkan, boleh jadi merupakan peristiwa lama yang dapat ditelusuri ke belakang, dari status gizi ibunya saat hamil sampai anak lahir (masa 1.000 HPK) dan bahkan sampai anak itu menjadi remaja atau remaja putri.
Membicarakan stunting tidak boleh melepaskan diri dari periode penting perjalanan kehidupan manusia, yaitu pada 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK). Secara sederhana, 1.000 HPK mencakup dua masa pada siklus kehidupan, yaitu masa kehamilan (dan janin tentunya) serta masa 2 tahun pertama setelah dilahirkan.
Periode ini merupakan periode dengan tingkat plastisitas yang tinggi. Janin di masa kehamilan ataupun anak di masa dua tahun pertama akan merespons apapun yang ia terima di masa ini. Jika ia kekurangan, maka tubuh akan memberi respons dengan bersikap efisien, sehingga dampak kekurangan tersebut tidak akan mempengaruhi “kinerja” metabolismenya.
Jika “efisiensi” itu terjadi di masa kehamilan, maka bayi yang dilahirkan akan membawa efisiesnsi program metabolisme semasa ia dalam kandungan dan dilahirkan dalam keadaan berat lahir yang rendah. Bayi dengan berat lahir yang rendah ini hadir dengan program metabolisme yang sesuai dengan lingkungan yang terbatas. Hasilnya, terdapat ketidaksesuaian ketika orang tua berupaya untuk menambah asupan untuk memperbaiki status gizi anak.
Bayi dengan berat lahir rendah yang tidak mendapatkan penanganan yang adekuat akan bertumbuh dengan berat badan yang kurang. Proses pertumbuhan terhambat karena asupan gizi yang tidak mencukupi, tubuh mempertahankan efisiensi sehingga pertambahan tinggi badan terhambat.
Pada titik ini, stunting menjadi sangat relevan untuk menilai perjalanan pertumbuhan seorang anak. Namun demikian, tubuh pendek bukanlah satu-satunya dampak yang dicemaskan.
Stunting adalah sebuah indikator proksi terhadap masalah lainnya yang menyertai kurangnya asupan gizi di waktu yang lama. Salah satunya adalah perkembangan otak janin yang tentunya akan mempengaruhi kecerdasan anak. Atau anemia pada bayi yang tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan anak.
Tidak semua anak pendek pasti bermasalah dengan perkembangan otaknya, pun demikian dengan kemungkinan terjadinya anemia. Tetapi anak pendek yang disebabkan oleh karena asupan zat gizi yang tidak adekuat dalam waktu yang lama bisa menuntun kita untuk mendapatkan masalah lainnya yang mungkin terjadi akibat asupan gizi yang tidak adekuat.
Stunting tak hanya menjadi gambaran masa lalu seorang anak, namun juga bisa menjadi gambaran masa depan seseorang. Perkembangan otak yang tidak optimal akan mempengaruhi kecerdasan seorang anak dan tentunya akan turut berdampak pada kecerdasannya dikemudian hari.
Sebuah poin penting dalam produktifitas dan kemampuan untuk bekerja pada bidang yang membutuhkan kecakapan yang tinggi. Tak lupa masalah program metabolik yang berubah dan melahirkan resiko obesitas pada penanganan stunting yang salah.
Obesitas merupakan akar masalah beragam penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan penyakit kronis lainnya. Stunting bisa menjadi pengingat untuk berhati-hati terhadap semua resiko yang bisa terjadi di kemudian hari.
Dari seluruh rententan kejadian tersebut, menjadi jelas, periode 1.000 HPK yang dipenuhi dengan masalah kurangnya asupan gizi akan berujung pada masalah besar lainnya di kemudian hari. Mengurangi angka stunting berarti mengurangi rangkaian tahapan seorang anak menjadi stunting.
Sehingga sekali lagi secara relevan, menggunakan stunting sebagai indikator perbaikan gizi bagaikan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Atau dalam sudut pandang berbeda, peningkatan angka stunting menjadi pertanda meningkatnya pula berbagai masalah yang menjadi tahapan terjadinya stunting pada anak.
Jika ibu hamil merupakan target utama upaya pencegahan stunting, maka memastikan para wanita usia subur yang kelak akan mengandung berada dalam status kesehatan yang optimal, merupakan langkah penting yang strategis. Intervensi sedini mungkin pada wanita usia subur dalam hal ini pada kelompok remaja memberikan peluang penyelesaian masalah yang lebih efektif.
Remaja putri yang menderita anemia memiliki dampak buruk di kemudian hari. Remaja putri yang anemia jika tidak segera diatasi akan terbawa hingga ia dewasa dan hamil, yang kemudian juga berdampak buruk bagi janin yang dikandungnya.
Janin yang dikandungnya beriskiko lahir dengan berat badan di bawah 2.500 gram (Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR). Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR ini dapat meningkatkan risiko sakit dan meninggal pada usia muda. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang anemia berpeluang besar untuk mengalami anemia. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan (kemampuan kognitif) anak di kemudian hari.
Catatan Akhir
Masa 1.000 HPK dimulai sejak kehamilan (270 hari) sampai dengan anak berusia 2 tahun (730 hari). Ini adalah masa kritis di mana anak bertumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dan signifikan. Masa ini tidak bisa terulang, segala intervensi yang dilakukan pada masa ini akan memberikan hasil yang optimal pada anak sehingga disebut window of opportunities atau periode emas.
Ibu yang mengandung dalam keadaan malnutrisi dan secara konstan berada dalam asupan zat gizi tidak adekuat akan berimplikasi pada pemenuhan zat gizi janin karena ibu adalah satu-satunya jalur bagi janin untuk mendapatkan zat gizi. Kurang zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dicerminkan melalui status gizi dan pertambahan berat badan ibu saat hamil. Sedang kurang zat gizi mikro menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan janin.
Dalam enam bulan pertama kehidupan bayi, pemenuhan zat besi (zat gizi mikro) diperoleh dari simpanan yang “diwariskan” oleh ibu saat masih dalam kandungan. Jika ibu mengalami anemia selama masa kehamilan, simpanan zat besi bayinya akan bermasalah sehingga memengaruhi bayi tersebut pada enam bulan pertama.
Mengingat stunting itu merupakan kejadian yang telah berlangsung lama, prosesnya cukup kompleks, dan berdampak jangka panjang, langkah penyelesaiannya pun sangat kompleks. Berbeda dengan masalah ekonomi, maka jargon hilirisasi tidak tepat diterapkan dalam masalah stunting ini. Target penyelesaian stunting justru harus dilakukan pada hulunya, dalam hal ini dimulai pada ibu hamil dan bahkan pada remaja putri.
Pemilihan target intervensi yang berada di hilir bukanlah upaya etiologis namun simtomatis. Program penanganan melalui intervensi “di ujung jalan”, instan dan insidentil, seperti melakukan bakti sosial, memberi makan gratis, dan penanganan lain yang berpusat pada periode di luar 1000 HPK bukan pilihan yang bijak. Penyelesaian stunting harus mengutamakan pendekatan kesisteman.
Pendekatan kesisteman ini perlu melibatkan berbagai unsur yang secara bahu membahu dalam mengatasi stunting. Tidak hanya pemerintah saja, perlu adanya komitmen politik dan kolaborasi pemerintah dengan lintas sektor. Selanjutnya, dibutuhkan pula adanya partisipasi masyarakat dan organisasi profesi kesehatan dalam bentuk Gerakan Indonesia Mengatasi Stunting (GIMS) serta berbagai aktivitas lainnya. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)