Perempuan dan Keuangan Mikro

Senin, 23 April 2018 - 06:56 WIB
Perempuan dan Keuangan Mikro
Perempuan dan Keuangan Mikro
A A A
Mukhaer Pakkanna
Sekretaris MEK
PP Muhammadiyah dan Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta

KENDATI sudah lebih satu abad buku kum­pulan surat Kar­tini yang te­ra­jut dalam Habis Gelap Tertbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht, 1911) dirilis, nasib kaum perempuan tetap saja dirun­dung masalah yang nyaris tak beringsut.

Cahaya yang dipan­car­kan oleh sosok Kartini la­mat-lamat makin redup. La­por­an pembangunan manusia yang disampaikan UNDP 2016, yang dilansir akhir Maret 2017, kembali meneguhkan ihwal itu. Indeks Pem­ba­ngun­an Manusia (IPM) Indonesia 2015 untuk perempuan hanya 0,660, tertinggal dari laki-laki yang sebesar 0,712.

Masalah kesetaraan adalah kunci pembangunan ber­ke­lan­jutan. Perempuan tertinggal dalam rata-rata lama sekolah, jum­lah yang tamat pendidikan me­nengah, pendapatan na­sional per kapita, dan par­ti­si­pasi kerja. Kesenjangan pen­da­pat­an dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perem­pu­an adalah paling mencolok.

Sejatinya, kesenjangan ada­lah produk diskriminasi di ma­na perlakuan ketidakadilan se­lalu diawetkan dalam setiap ke­bijakan publik dan domestik. Kesenjangan merupakan sub-altern dalam istilah Antonio Gramsci (1983) di mana pe­rem­­puan selalu ditempatkan se­bagai subordinat oleh ke­lom­pok yang berkuasa.

Maka ke­sen­jangan sosial, termasuk ke­sen­jangan pendapatan laki-laki dan perempuan, lebih dila­tari adanya hambatan struk­tural yang membatasi, kurang mem­beri ruang meman­faat­kan eta­lase kesempatan ter­se­dia.

Biang Kemiskinan

Dalam pelbagai studi mem­be­dah persoalan kemiskinan, posisi tergawat berada di ta­ngan kaum perempuan. Bah­kan me­nu­rut Muhammad Yu­nus (pe­m­enang Nobel 2009), ke­la­paran dan kemiskinan le­bih me­rupakan masalah pe­rem­puan ketimbang laki-laki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis me­nga­ta­kan, ibu­lah yang pertama meng­ala­mi­nya.

Bagaimana dengan posisi laki-laki? Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, konteks pem­be­ri­an pinjaman (kredit) ke­pa­da laki-laki cenderung me­ne­rus­kan atau bahkan mem­per­pa­rah ketidakadilan gender da­lam rumah tangga (domestik).

Artinya kebijakan itu me­nguat­kan posisi laki-laki de­ngan memberi mereka sumber daya di mana mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri mereka untuk terlibat da­lam aktivitas perolehan pen­da­patan.

Bila dibandingkan dengan laki-laki, kaum perem­pu­an acapkali kurang menya­da­ri dan menggali potensi ke­wi­rausahaan yang mereka mi­liki. Hal ini disebabkan keti­dak­adilan gender telah menjadi peng­hambat mengakses sum­ber daya yang diperlukan (Ka­beer, 2008; Mahmud, 2003).

Di sinilah kredit mikro pe­rempuan berperan menga­rah­kan sumber daya keuangan. Dengan pengelolaan kredit mikro oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berkinerja sehat (financial sustainability) dan menjangkau seluruh strata masyarakat (outreach), pro­gram kredit mikro dapat men­ja­di dasar bagi para perempuan menghadapi pelbagai keti­dak­adilan gender.

Tentu, selain sehat dan menjangkau, LKM ha­rus mampu melakukan pro­ses pemberdayaan, yakni men­cakup proses enabling (ke­mam­puan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi pe­rem­puan berkembang), em­po­wering (kemampuan menguat­kan potensi atau daya yang di­miliki perempuan), dan advo­cation (kemampuan melaku­kan perlindungan dan pemi­hak­an kepada perempuan di per­desaan).

Keuangan Mikro

Riset yang penulis lakukan di Kabupaten Tangerang, Ban­ten (2015-2016), yang me­ngait­kan antara keuangan mikro dan kaum perempuan per­desaan mengonfirmasi bah­­wa keuangan mikro yang di­motori LKM memiliki flek­si­bilitas dalam menjangkau na­sa­bah perdesaan, dibanding lem­baga keuangan lainnya.

Salah satunya adalah me­man­faatkan modal sosial (social capital) berbasis pendekatan ke­lompok masyarakat sebagai peng­ganti collateral. Studi pe­nulis mengategorisasikan na­sa­bah perempuan dengan laki-laki. Terdapat bukti, nasabah perempuan lebih me­man­faat­kan pinjaman dengan baik, yang didukung tingkat pe­ngem­balian pinjaman lebih di­siplin dibanding nasabah laki-laki. Hanya kelemahannya, na­sa­bah perempuan kurang me­mi­liki tingkat pendidikan dan pelatihan.

Demikian pula tingkat pe­ngembalian program-program mikro kredit bertargetkan pe­rem­puan rata-rata mencapai di atas 98,8%. Merujuk pada riset Rajivan (2003), tingkat pe­ngem­balian suatu program kre­dit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai sebesar 95%, sementara program lain yang bertarget group laki-laki hanya 82% persentasenya. Ins­ti­tusi keuangan mikro yang me­layani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak me­nen­tu (pedagang kaki lima) ter­nya­ta dapat menekan "biaya ting­gi" dalam pelayanan.

Kesulitan ekonomi yang di­terima perempuan miskin, de­ngan tetap bekerja keras tanpa mengeluh, kendati harus me­ngu­ras hampir seluruh waktu dan energi mereka. Perempuan miskin belum sepenuhnya da­pat melakukan akses dan kon­trol terhadap sumber daya yang tersedia.

Namun tingkat keman­di­ri­an keuangan LKM yang di­ja­di­kan studi kasus oleh penulis ter­nyata belum berpengaruh signifikan menaikkan tingkat kesejahteraan anggota. Ihwal ini dilatari, pertama, tingkat pinjaman, pendapatan, dan pengeluaran anggota relatif rendah. Kedua, kapasitas institusi LKM yang membuat aturan, prosedur, dan meka­nisme yang ketat membuat keleluasaan anggota menjadi terbatas sehingga anggota LKM sangat berhati-hati da­lam meningkatkan kapasitas usahanya dan lebih memilih usaha yang risiko rendah.

Oleh karena itu, keuangan mikro yang diharapkan kaum perempuan dalam me­ning­kat­kan kapasitas dirinya adalah keuangan mikro yang dikelola dengan menyeimbangkan pen­­dekatan welfarist (ke­se­jah­te­ra­an) dan institutionalist (ke­lem­bagaan), yakni selain mam­pu meningkatkan kesejahtera­an ang­gota yang paling miskin, juga secara kelembagaan, LKM harus sehat dan mandiri.

Be­kerja efektifnya LKM seperti itu di perdesaan, secara oto­ma­tis mampu mereduksi ke­sen­jangan pendapatan antara pe­rempuan dan laki-laki. Dengan de­mikian, perempuan sema­kin terberdayakan dalam ru­ang publik. Akhirnya spirit Ha­ri Kartini makin terwujud.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7241 seconds (0.1#10.140)