Ketahanan Air di Era Milenial (Refleksi Hari Air Sedunia 22 Maret)

Kamis, 22 Maret 2018 - 08:10 WIB
Ketahanan Air di Era Milenial  (Refleksi Hari Air Sedunia 22 Maret)
Ketahanan Air di Era Milenial (Refleksi Hari Air Sedunia 22 Maret)
A A A
Hikmayani Statistikawan pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan

PENURUNAN kualitas air tanah dan kekhawatiran akan ketersediaan air layak di kota besar menjadi perhatian dunia. Investigasi pada air kemasan branded yang terkontaminasi mikroplastik menambah deretan kecemasan akan air layak konsumsi. Awal Maret ini, New York Times mem­beritakan kondisi air tanah Jakarta. Pemanfaatan air tanah disinyalir menjadi salah satu sebab turunnya permukaan tanah Jakarta. Peningkatan kemiringan tanah akhirnya tidak terhindarkan. Ini memicu reaksi cepat tanggap Gubernur DKI Jakarta yang segera melakukan inspeksi mendadak dan pengawasan ketat terhadap sumur resapan di banyak titik di Ibu Kota.

Begitu pentingnya air bagi kehidupan. Telah dideklarasi­kan PBB bahwa air merupakan hak dasar manusia. Setiap ma­nusia mempunyai hak sama ter­hadap pemakaian air. Pene­tap­an 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia menjadi momentum untuk mengingat fenomena krisis air yang mengglobal. Tanpa kebijakan tepat, baik dalam perilaku sehari-hari mau­pun dunia usaha, pada 2030 kebutuhan air akan lebih besar 40% dari volume yang tersedia. Berdasarkan data WHO, diperkirakan setiap hari­nya sekitar 2 miliar manusia terdampak kekurangan air di 40 negara. Diprediksi pula oleh WHO pada 2050, 1 dari 4 orang kekurangan air bersih. Ironis­nya, kondisi tersebut terjadi di era milenial saat teknologi se­makin canggih. Sulitnya air bersih terjadi di masa ketika akses komunikasi dan infor­masi semudah mengusap jari di layar gadget.

Poin keenam dari 17 Sasaran SDGs yang ingin dicapai dunia adalah memastikan keter­sedia­an dan pengelolaan air dan sanitasi berkelanjutan. Dilansir dari nationalgeographic.co.id (2016), 1 dari 10 penduduk dunia tidak me­miliki akses ke air bersih. Pemerhati dunia mem­for­mu­lasi­kan tiga prioritas penting sebagai isu utama sepanjang peradaban manusia, yaitu pangan (food), air (water), dan energi (energy).

Sebagai kebutuhan yang tergolong vital, ketersediaan air memengaruhi kesehatan, ke­tahanan pangan, bahkan per­ekonomian suatu negara. Akses air bersih dan sani­tasi men­jadi mata rantai utama untuk kese­hat­an yang baik. Kese­hatan men­jadi cikal bakal bagi sese­orang untuk mem­per­oleh pen­didik­an, perbaikan eko­nomi, dan kese­jah­teraan hidup. Akses terhadap air mi­num dan sanitasi berpe­ngaruh langsung pada Indeks Pem­bangunan Manusia (IPM), ter­utama terkait Angka Harapan Hidup. IPM merupakan indi­kator pen­ting untuk mengukur keber­hasilan upaya mem­bangun kualitas hidup manusia suatu negara.

Ketahanan Air dan Pangan merupakan dua permasalahan yang beberapa tahun terakhir dihadapi Indonesia. Dalam hal ketahanan air, Indonesia me­rupakan salah satu negara dengan potensi air melimpah di beberapa wilayahnya. Tinggi­nya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pem­bangunan mengakibatkan pe­ningkatan kebutuhan air yang signifikan. Akibatnya, stok air menjadi terbatas bahkan terjadi kekeringan di beberapa daerah. Ini merupakan refleksi pe­nu­run­an kualitas lingkungan hidup akibat aktivitas manusia. Selain ancaman polusi, peng­gun­dul­an hutan, berubahnya tata guna lahan, pening­katan tekanan di per­mu­kaan tanah, masih banyak risiko lain yang mem­perparah krisis air di negara kita.

Hasil Susenas BPS menun­juk­kan selama lima tahun ter­akhir akses rumah tangga ter­hadap sumber air layak untuk minum dan mandi/cuci me­nun­jukkan tren positif. Terjadi peningkatan rumah tangga yang mengakses air yang layak. Rata-rata kenaik­an satu persen setiap tahunnya. Namun, ke­tika dibandingkan antara per­kota­an dan perdesaan, selama 2015-2017 persentase peng­gunaan air layak di per­kota­an relatif mengalami penurunan rata-rata 0,15% setiap tahun. Sebaliknya selama tiga tahun tersebut, di wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan, dengan kenaikan rata-rata 0,5% setiap tahunnya. Ini me­nguatkan asumsi bahwa se­iring waktu wilayah per­kota­an de­ngan aktivitas per­ekonomian lebih kom­pleks dan pertum­buh­an penduduk lebih ting­gi dari wilayah per­desaan akan mengalami penurunan volume air layak bagi rumah tangga.

Dilema yang terjadi adalah masyarakat perkotaan seka­rang cenderung menggunakan sumur galian untuk mendapatkan air tanah. Dengan berbagai alasan masyarakat memanfaatkan air tanah sebagai alternatif me­nyub­stitusi air yang disediakan Perusahaan Air Minum (PAM). Penggunaan air tanah harus dilakukan dengan bijak dan di­sesuaikan dengan kebutuhan. Pa­salnya, ketika dilakukan de­ngan serampangan dapat me­ngu­rangi cadangan air tanah bah­kan merusak keseim­bang­an lingkungan.

Sebagai anggota G20, Indo­nesia masih berjuang meraih posisi sepuluh besar peringkat negara dengan akses air dan sanitasi terbaik. Menurut Men­teri Perencanaan Pem­bangun­an Nasional (PPN)/ Kepala Bap­penas Bambang Brodjo­negoro, ter­dapat se­kitar 72 juta orang Indonesia belum mempunyai akses air minum yang layak dan sekitar 96 juta belum mem­punyai akses sanitasi yang layak. Jika di­bandingkan de­ngan ka­was­an Asia Tenggara, akses air dan sanitasi Indonesia hanya lebih baik dari Ti­mor Leste dan Kam­boja. Pada­hal, dua negara te­tang­ga, yakni Singa­­pura dan Malaysia men­duduki dua pe­ringkat teratas.

Hari Air Sedunia 2018
Seolah air tidak pernah habis menutupi sekitar 71% per­muka­an bumi. Proporsi ter­besar ber­ada di laut, yaitu se­kitar 97%, sedangkan 3% be­rupa air tawar yang menunjang kehidupan manusia. Dua per tiga dari air tawar merupakan gletser dan es di kutub yang berfungsi men­­stabilkan iklim global se­hingga hanya satu per­tiganya yang dapat dimanf­aat­kan oleh manusia.

Dengan mengusung tema Solusi Air berbasis Alam (Nature-based Solutions for Water), peri­ngat­an Hari Air Se­dunia tahun ini memfokuskan pada peman­faat­an air dengan tetap mem­perhatikan aspek lingkungan. Mengutip dari unwater.org, ber­bagai ke­rusa­kan lingkungan bersamaan de­ngan perubahan iklim bumi memperparah ke­tidakseim­bang­an demand-supply air dunia.

Perlunya penetapan re­gu­lasi ketat oleh pemerintah daerah mau­pun pusat dalam men­disiplin­kan pemanfaatan air tanah oleh rumah tangga mau­pun badan usaha. Selain itu, solusi alami diharapkan mam­pu mempertahankan kelang­sungan sumber daya air. Karena pemeliharaan sum­ber daya air berbasis alam merupakan upaya terjangkau dan mudah dilakukan oleh banyak pihak.

Di Indonesia, pembuatan sumur resapan, lubang bio­pori, penanaman rumput bahkan peng­gunaan kembali air buang­an sudah pernah dilakukan di beberapa daerah. Berdasarkan data yang dirilis BPS, selama 2013-2014 ter­dapat pening­katan sekitar 8,25% rumah tangga yang me­manfaatkan air buang­an/ bekas cuci. Namun, di sisi lain selama periode yang sama, terjadi penurunan sekitar 4,24% rumah tangga yang me­manfaatkan area resapan air. Sepertinya teknis dan manfaat program tersebut belum ter­sosialisasi dengan baik.

Dengan pengelolaan yang lebih baik dan kedisiplinan dari semua pihak, berbagai upaya alami yang dilakukan akan mam­pu memelihara siklus air. Hal ini diharapkan mampu men­jamin keter­sedia­an sum­ber air bersih dan layak kon­sumsi sebagai warisan bagi anak cucu di masa men­datang.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8062 seconds (0.1#10.140)