Dianggap Diskriminatif, Perpres Jaminan Kesehatan Digugat ke MA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam perpres tersebut, orang dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), serta kecanduan narkoba tidak bisa mendapatkan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Koalisi masyarakat sipil itu menilai Pasal 52 huruf i dan j dalam perpres itu bertentangan dengan sejumlah beleid seperti Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Kesehatan, dan Kesehatan Jiwa. Ketua IPPI Baby Rivona menilai keberadaan ketentuan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang mengidap HIV-AIDS dan pengguna narkoba.
(Baca: Pandemi Covid-19 Momentum BPJS Kesehatan Kedepankan Preventif)
Lewat program BPJS, masyarakat yang terdaftar dapat menikmati pelayanan kesehatan secara penuh maupun subsidi. Namun, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu tidak menanggung pembiayaan seluruh jenis penyakit.
Baby menerangkan pasal 52 i dan j itu juga bertentangan dengan UU Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam UU tersebut, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
(Baca: PT Asabri Kukuh Tidak Mau Dilebur ke BP Jamsostek)
“Bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Pasal 62 ayat 2 UU tersebut menyebutkan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditanggung oleh program SJSN,’ ujar Baby, Senin (10/8/2020).
ODGJ dalam UU tersebut, menurutnya, merupakan masalah yang dapat ditimbulkan akibat adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Dengan argumentasi di atas, koalisi menuntut pencabutan ketentuan dalam pasal 52 i dan j pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Dalam perpres tersebut, orang dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), serta kecanduan narkoba tidak bisa mendapatkan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Koalisi masyarakat sipil itu menilai Pasal 52 huruf i dan j dalam perpres itu bertentangan dengan sejumlah beleid seperti Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Kesehatan, dan Kesehatan Jiwa. Ketua IPPI Baby Rivona menilai keberadaan ketentuan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang mengidap HIV-AIDS dan pengguna narkoba.
(Baca: Pandemi Covid-19 Momentum BPJS Kesehatan Kedepankan Preventif)
Lewat program BPJS, masyarakat yang terdaftar dapat menikmati pelayanan kesehatan secara penuh maupun subsidi. Namun, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu tidak menanggung pembiayaan seluruh jenis penyakit.
Baby menerangkan pasal 52 i dan j itu juga bertentangan dengan UU Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam UU tersebut, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
(Baca: PT Asabri Kukuh Tidak Mau Dilebur ke BP Jamsostek)
“Bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Pasal 62 ayat 2 UU tersebut menyebutkan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditanggung oleh program SJSN,’ ujar Baby, Senin (10/8/2020).
ODGJ dalam UU tersebut, menurutnya, merupakan masalah yang dapat ditimbulkan akibat adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Dengan argumentasi di atas, koalisi menuntut pencabutan ketentuan dalam pasal 52 i dan j pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
(muh)