Putusan Bebas dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Kamis, 21 Desember 2023 - 09:21 WIB
loading...
Putusan Bebas dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

MASYARAKATdan juga negara memerlukan hukum (undang-undang) untuk mengatur ketertiban dan keamanan termasuk hak negara untuk menuntut dan menjatuhi hukuman terhadap setiap orang yang telah mengganggu, mengancam dan memmbahayakan hidup manusia. Hukum bahkan juga tetap memberikan perlindungan atas hak seseorang terpidana selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk tetap dapat hidup layaknya sebagai manusia.

Dalam sistem hukum (acara) pidana Indonesia diakui tiga jenis putusan pengadilan, yaitu dibebaskan dari seluruh dakwaan penuntut (vrijspraak), dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag va alle rechsvervolging), dan dijatuhi hukuman. Ketiga jenis putusan pengadilan tersebut merupakan tata cara terbaik dalam memeriksa, mengadili, dan menjatuhi hukum terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.

Dalam hal putusan dilepas dari segala tuntutan hukum dan dijatuhi hukuman lazim terjadi dalam praktik akan tetapi dalam hal putusan bebas (vrijspraak) dalam praktik peradilan pidana terbukti berbeda dan memang seharusnya dipandang berbeda secara fundamental dari dijatuhi hukuman karena untuk memperoleh kebebasan seorang terdakwa telah melakukan berbagai Upaya hukum dan telah berjalan selama kurang lebihi 480 hari sejak perkara diperiksa pada Tingkat pengadilan negeri sampai pada pemeriksaan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung; tentu dengan pengorbanan tenaga, pikiran dan biaya yang sering tidak kecil.

Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP diyatakan bahwa jika dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas. (Pasal 191 KUHAP), dan dalam hal terdakwa diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum maka terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan.

Mencermati ketentuan Pasal 191 KUHAP tersebut jelas dan nyata bahwa pembentuk UU KUHAP masih belum berpijak pada pertimbangan kemanusiaan yang bersifat asasi yaitu kebebasan bagi setiap orang. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa, terhadap putusan pengadilan pada Tingkat terakhir selain dari Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.

Ketentuan ini menegaskan bahwa hak asasi setiap orang termasuk untuk hidup bebas dijamin undang-undang bahkan di dalam UUD45 telah dinyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya(Pasal 28 A).

Namun di dalam praktik peradilan pidana maksud dan tujuan yang mulia dan terhormat di dalam Konstitusi UUD45 tersebut ini telah diabaikan bahkan dimandulkan oleh Putusan MK no 114/ PUU- XI/2012 yang menyatakan antara lain, bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP bersifat multi-tafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin UUD1945.

Pertimbangan putusan MK tersebut merujuk pada pendapat Penuntut Umum (tidak disebut Kejaksaan) bahwa, kata "bebas" dalam Pasal aquo dibagi dalam dua kategori yaitu "bebas murni" dan "bebas tidak murni"; tanpa ada penjelasan baik sumber atau referensi pendapat Jaksa Penuntut Umum maupun pendapat atau kesepakatan para ahli hukum yang menjadi doktrin hukum diakui secara universal.

Ketentuan Pasal 244 KUHAP yang melarang Jaksa Penuntut mengajukan perlawanan terhadap putusan bebas telah memenuhi asas lex scripta, lex stricta dan lex certa yang diakui dalam hukum pidana; jelas tidak multi tafsir. Bahkan sejalan dengan asas legalitas yang telah sejak 77 tahun dianut dan dipraktikan dalam sistem hukum pidana Indonesia sekaligus sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi UU Nomor 12 Tahun 2005; telah diwujudkan dalam Bab XA UUD45.

Implikasi dari Putusan MK Nomor 114/2023 tentang putusan bebas adalah bahwa, hak dan kebebasan asasi Pemohon, yang seharusnya memperoleh kepastian hukum; menjadi terbelenggu sehingga sesuai dengan adagium, justice delayed, justice denied.

Bahkan dari aspek pembentukan perUUan dan makna frasa, bertentangan secara konstitusional yang merupakan salah satu lingkup dan batas permohonan pemohon Uji Materi ketentuan UU terhadap UUD45 justru putusan MK Nomor 114 tahun 2012 yang bertentangan dengan UUD1945 yaitu bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yahng adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum.

Merujuk bunyi Pasal 28 D Ayat (1) UUD45 justru Putusan MK aquo telah menghalangi-halangi hak dan kebebasan yang sah bagi setiap terdakwa yang telah diputus bebas oleh putusan Pengadilan untuk memperoleh dan menikmati kemerdekaanya (sebagai manusia yang merdeka).

Dipastikan implikasi dari Putusan MK aquo telah banyak putusan bebas oleh PN menjadi tidak bebas alias dijatuhi hukuman dan mengalami penderitaan lahiriah dan batiniah hanya karena Jaksa Penuntut memberikan penfasiran (sendiri) untuk dapat mengajukan Kasas. Keadaan dilemma hukum sedemikian terutama dirasakan pada terdakwa korupsi.

Sekalipun korupsi adalah perkara yang bersifat luar biasa akan tetapi keluarbiasaan kasus korupsi tidak serta merta setiap orang yang ditetapkan tersangka/terdakwa dipastikan bersalah atau harus disalah-salahkan dan tidak ada sedikitpun celah hukum bagi mereka untuk memperoleh kebebasannya sekalipun berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Praktik dan obsesi penegakan hukum sedemikian tidak boleh terjadi di negara Hukum Indonesia yang jelas menganut filosofi Pancasila yang salah satu silanya, silah Kemanusiaan yang adil dan beradab. Jaminan Perlindungan dan perlakuan yang adil serta kepastian hukum bagi setiap orang sekalipun dalam status tersangka/terdakwa yang tercantum dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 45 merupakan perwujudan dari Konvensi Hak-Hak SIpil dan Politik (1966) yang telah diratfifikasi UU Nomor 12 tahun 2005.

Berkaca pada praktik peradilan MKRI khususnya dalam memberikan tafsir atas ada/tidak pertentangan pasal-pasal dalam KUHAP seperti Putusan MKRI No 114/2012 diingatkan bahwa periodisasi masa otorianisme di mana kekuasaan dan hak negara melampaui batas toleransi hak rakyat sejak akhir abad ke 19 bahkan sampai era abad 21 saat ini.

Tujuan hukum pidana yang selama kurang lebih 77 Tahun lamanya dianut baik oleh teoritisi hukum pidana maupun praktisi hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; dengan berlakunya UU Pidana baru (KUHP) UU Nomor 1 Tahun 2023 telah dipastikan bahwa pemidanaan, proses pemeriksaan dan penjatuhan hukuman tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia (Pasal 52).

Menjelang memasuki Tahun 2026 berlakunya UU Nomor 1 tahun 2023 hendaknya telah dipersiapkan bukan hanya pengetahuan (baru) tentang hukum pidana akan tetapi juga semangat dan orientasi pandangan/pemikiran pembaruan hukum pidana dan pemidanaan wajib diketahui, diajarkan, dipahami dan diamalkan oleh baik teoritisi hukum maupun praktisi hukum.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2291 seconds (0.1#10.140)