Perang Sengit Propaganda Pemitosan Capres
loading...
A
A
A
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator Seni
PARA pakar komunikasi politik sudah mahfum jika masa kampanye adalah uji ketangkasan membuat mitos. Pertempuran sengit hadir Desember-Januari ini untuk membuat persuasi lewat media apa saja, baik fisikal pun virtual. Popularitas pasangan calon presiden (Capres) ditingkatkan dengan segala cara untuk menaikkan elektabilitas. Mitos adalah satu-satunya mantra yang dilekatkan pada sosok Capres.
baca juga: Masa Kampanye Capres-Cawapres Selama 75 Hari
Mendadak Capres terlihat merakyat, dekat dengan kawula muda, atau sekadar membuat meme lucu-lucuan dan menggemaskan serta diviralkan. Yang sebenarnya, Tim suksesnya ingin memanipulasi Capres yang tak mampu-mampu amat. Bahkan secara artikulatif - dalam debat Capres misalnya, minim memiliki kemampuan dan menjelaskan visi sebagai pemimpin bangsa.
Yang penting meninabobokan kewarasan publik, maka Timses Capres dituntut kreatif dan tentunya peran para relawan benar-benar wajib memeras otak pun menyiasati logistik untuk memengaruhi publik. Mitos, memang dibangun dengan atau tanpa biaya besar yang kuncinya adalah memantik emosi, saat sama membangkitkan kesadaran.
Jangan seperti pengalaman Presiden Filipina sekarang, yang tenar dengan nama Bongbong, terpilih dalam kondisi ironi. Emosi publik dipermainkan, namun saat sama tersisa ingatan komunal publik Filipina, bahwa Bongbong Marcos tak lain adalah putra sang tiran yang punya reputasi mega korupsi Ferdinand Marcos di masa lalu.
Permainan diubah, mitos yang baru dikedepankan, sejarah muram lama bisa dihapuskan. Politik Dinasti yang kotor itu, mendadak diciptakan berulang-ulang plus mitos-mitos anyar yang sama sekali berbeda secara masif dan sistemik disebarkan.
Strategi kampanye Timsesnya mengubah paras Bongbong dekat dengan kawula muda dan keren via tayangan Tik-Tok dan kampanye massal, penuh pertunjukan yang menghibur, dipentaskan para selebritas terdepan serta dihadiri ribuan manusia.
Perang Baliho, Spanduk Rakyat atau Tembok Bertutur?
Tim sukses salah satu paslon Capres memanggungkan baliho massal tentang sosok gemoy yang absurd. Itikadnya, jelas-jelas ingin mendulang simpati pemilih muda usia. Pesta Demokrasi selayaknya manifestasinya semata kemeriahan yang beraroma menggemaskan dan lucu, berbau fiksi plus disebarkan via media sosial.
Kurator Seni
PARA pakar komunikasi politik sudah mahfum jika masa kampanye adalah uji ketangkasan membuat mitos. Pertempuran sengit hadir Desember-Januari ini untuk membuat persuasi lewat media apa saja, baik fisikal pun virtual. Popularitas pasangan calon presiden (Capres) ditingkatkan dengan segala cara untuk menaikkan elektabilitas. Mitos adalah satu-satunya mantra yang dilekatkan pada sosok Capres.
baca juga: Masa Kampanye Capres-Cawapres Selama 75 Hari
Mendadak Capres terlihat merakyat, dekat dengan kawula muda, atau sekadar membuat meme lucu-lucuan dan menggemaskan serta diviralkan. Yang sebenarnya, Tim suksesnya ingin memanipulasi Capres yang tak mampu-mampu amat. Bahkan secara artikulatif - dalam debat Capres misalnya, minim memiliki kemampuan dan menjelaskan visi sebagai pemimpin bangsa.
Yang penting meninabobokan kewarasan publik, maka Timses Capres dituntut kreatif dan tentunya peran para relawan benar-benar wajib memeras otak pun menyiasati logistik untuk memengaruhi publik. Mitos, memang dibangun dengan atau tanpa biaya besar yang kuncinya adalah memantik emosi, saat sama membangkitkan kesadaran.
Jangan seperti pengalaman Presiden Filipina sekarang, yang tenar dengan nama Bongbong, terpilih dalam kondisi ironi. Emosi publik dipermainkan, namun saat sama tersisa ingatan komunal publik Filipina, bahwa Bongbong Marcos tak lain adalah putra sang tiran yang punya reputasi mega korupsi Ferdinand Marcos di masa lalu.
Permainan diubah, mitos yang baru dikedepankan, sejarah muram lama bisa dihapuskan. Politik Dinasti yang kotor itu, mendadak diciptakan berulang-ulang plus mitos-mitos anyar yang sama sekali berbeda secara masif dan sistemik disebarkan.
Strategi kampanye Timsesnya mengubah paras Bongbong dekat dengan kawula muda dan keren via tayangan Tik-Tok dan kampanye massal, penuh pertunjukan yang menghibur, dipentaskan para selebritas terdepan serta dihadiri ribuan manusia.
Perang Baliho, Spanduk Rakyat atau Tembok Bertutur?
Tim sukses salah satu paslon Capres memanggungkan baliho massal tentang sosok gemoy yang absurd. Itikadnya, jelas-jelas ingin mendulang simpati pemilih muda usia. Pesta Demokrasi selayaknya manifestasinya semata kemeriahan yang beraroma menggemaskan dan lucu, berbau fiksi plus disebarkan via media sosial.