Gemoy tapi Kejam: Kisah Kekejaman Dinasti Kim Jong-un

Minggu, 26 November 2023 - 17:40 WIB
loading...
Gemoy tapi Kejam: Kisah...
Kim Jong-un menunggang kuda putih melintasi padang salju dan hutan di Gunung Paektu, tanah air spiritual bagi dinasti Kim pada 2019. Foto/KCNA
A A A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI

KISAH ini bermula dari seorang pemuda Korea bernama Kim Song-ju. Ia lahir di Desa Mangyongdae, Pyongyang Utara pada 15 April 1912.

Kim muda menghabiskan waktunya menjadi gerilyawan komunis Korea. Bermula dengan bergabung dalam organisasi Liga Pemuda Komunis Korea kemudian ia memilih masuk menjadi bagian Tentara Revolusi Rakyat Korea.

Saat menjadi gerilyawan dia aktif bergerilya dan menghancurkan kantor administrasi Jepang, sekolah dasar, kantor pos, bahkan kantor polisi. Akibat peristiwa itu, ia pernah mendekam di penjara hingga harus menjadi pelarian politik ke Uni Soviet. Namun ketika Jepang diluluhlantahkan bom atom, pada 19 September 1945 Jepang menyerah dan harus angkat kaki dari negeri Korea.

Di saat itulah, Kim pulang ke negerinya. Dan tak lama, Joseph Stalin pemimpin diktator komunis Soviet mengangkatnya sebagai kepala negara. Namun Kim bukanlah orang yang percaya pada demokrasi. Bahkan ia tak tertarik dengan demokrasi. Untuk mengkonsolidasikan kekuasaanya, ia mempersiapkan tiga generasi dalam dinasti keluarganya untuk memerintah.

Membangun dinasti politik baginya adalah jaminan untuk mewujudkan negara komunis yang dia impikan. Tentu Karl Marx penggagas ajaran komunisme tak menganjurkan demikian. Namun baginya kekuasaan dapat utuh bukan dengan debat, diskusi atau musyawarah layaknya yang dianjurkan oleh teori demokrasi melainkan dengan membersihkan, membunuh saingan dan elit, kadang-kadang bahkan harus membunuh saingan di dalam keluarganya sendiri.

Karena tak percaya dengan demokrasi, Kim membangun negaranya dengan cara yang sangat tertutup. Ia selalu curiga dengan apa yang disebut “asing/aseng”, sebuah pengaruh dari luar yang baginya bisa merusak tatanan yang ia bangun bersama dinasti politiknya. Hingga kini tak ada demokrasi di Korea Utara.

Korea Utara kini dipimpin oleh Kim Jong-un, cucu Kim Song-ju. Kim Jong-un menaiki tahta dengan sangat dramatis dan kejam. Dia berkuasa dengan memberangus pamannya sendiri dengan cara yang sangat keji yakni dengan mengumpankannya pada anjing kelaparan. Tentu pamannya bukanlah seorang hakim, melainkan seorang pejabat pimpinan Badan Intelijen Nasional.

Bukan tanpa alasan pembantaian yang dilakukan Kim atas pamannya karena si paman adalah orang nomor dua di Korea Utara, yang digadang-gadang berpeluang menggantikan dirinya. Tentu Kim tak mau itu terjadi.

Dia menginginkan darah dagingnya sendiri yang harus menggantikannya. Maka Kim tak segan membantai siapapun dengan cara yang kejam untuk mempertahankan dinasti politiknya, termasuk membantai pamannya sendiri.

Kim kerap menggunakan intimidasi, tekanan dan teror untuk mempertahankan kuasa. Sejumlah metode eksekusi mati yang keji sengaja ia rancang untuk menakut-nakuti para pembangkang di Korut. Selain memasukkan orang ke dalam akuarium raksasa berisi ikan piranha, dia juga terbiasa mengumpankan orang ke kandang harimau, melakukan pemenggalan, membakarnya hidup-hidup dan meledakkan mereka dengan senjata anti-tank. Dengan ketakutan kuasa itu dibangun.

Rakyat Korea Utara selama 25 tahun dibawah rezim dinasti Kim hidup dalam pengawasan ketat. Sebagian besar rakyatnya tak mengetahui situasi global bahkan mereka tak tahu bagaimana mereka dipandang oleh dunia luar. Bertahun-tahun mereka hanya mendapatkan doktrin bahwa pemimpin mereka adalah sosok istimewa yang berbakat, sehingga layak mendapatkan pemujaan tertinggi.

Pemujaan itu dibalut dengan harapan bahwa Korea Utara hanya bisa maju apabila dipimpin oleh dinasti keluarga Kim. “Garis darah keluarga itu suci”, kata Kim, begitulah cara Kim melegitimasi dinastinya di Korut.

Walau Kim seorang pemimpin diktator muda yang kejam, ia selalu mencoba tampil populer, trendy dan kekinian. Tak jarang ia memamerkan diri saat menaiki roller coaster, bermain ski, dan berpacu kuda. Ia juga kerap menonton K-Pop, bahkan kerap tampil mengikuti trend gaya K-Pop seperti menggunakan anting, kalung, dan jeans. Namun rakyat biasa dilarang menonton dan meniru K-Pop. Kim kerap menyebut pengaruh asing itu sebagai “kanker ganas”.

Selain dengan kultus, Kim membangun kejayaan dan memupuk kebanggaan rakyat Korut dengan mitos megaproyek senjata nuklir yang digadang-gadang bisa melindungi rakyat Korut dari ancaman luar. Walau megaproyek itu dijalankan ditengah rakyatnya yang kelaparan.

Namun Kim berhasil menciptakan strategi propaganda dengan memompa kebanggaan tak bernalar hingga rakyatnya yakin bahwa satu-satunya jalan untuk melindungi keutuhan Korut dari ancaman Barat adalah senjata nuklir. Maka Trump kerap menyebut Kim dengan julukan “Rocket Man”, si manusia roket.

Orang-orang China menyebutnya si “Gendut”, karena kegemarannya melahap steak dan sushi hingga menenggak sampanye mahal membuat berat badan Kim kian membengkak. John McCain, senator Amerika Serikat menyebutnya “pria gendut yang gila”. Media-media Barat menjulukinya sebagai “Kim Fatty”, bayi gemuk yang manja (gemoy).

Kim pun marah dengan julukan yang bernada olok-olok itu. Hingga dia meminta Pemerintah China memblokir pencarian internet dan media sosial untuk kata kunci "Fatty Kim the Third", atau yang berarti "Kim (Generasi) Ketiga Gendut", ejekan yang kerap digunakan para netizen untuk mengolok-olok pemimpin Kim.

Gemoy tapi kejam. Itulah gambaran Kim di mata para netizen dunia. Olok-olok gendut itu kerap muncul ketika Kim melancarkan uji coba rudal dan nuklir. Namun dibalik olok-olok gemoy pada diri Kim itu ada sebuah kritik keras dari para netizen kepada seorang pemimpin berbadan gendut yang bygot, despotik dan kejam yang hingga kini membawa negaranya dalam isolasi totaliter ditengah dunia yang sudah maju pesat.

Tentu kita memilih pemimpin tak sekadar dilihat dari postur badan. Tak sekedar melihat ia gemoy atau bukan. Walau gembrot dalam peradababan keagamaan layaknya Islam dan Kristiani, pertanda ketidakmampuan seseorang mengendalikan nafsu duniawi. Sehingga agama pun menganjurkan umatnya untuk berpuasa.

Untuk itu, Thomas Wright, seorang puritan Inggri abad ke-17, meneyebut kegemukan adalah fenomena kultural, fenomena kebudayaan. Baik dalam kultur Barat dan Timur, kegemukan pertanda “kerakusan”. Dalam sains modern, kegemukan pertanda potensi bertumpuknya penyakit, bermula dari rumus sederhana; orang makan melebihi kebutuhan alami tubuh.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1783 seconds (0.1#10.140)