Hakim MK Gelar RPH Bahas Perkara Gugatan Batas Usia Capres Cawapres, Apa Hasilnya?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Rapat Permusyawatan Hakim (RPH). Rapat yang berlangsung hari ini berlangsung tertutup.
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengatakan ada beberapa perkara yang dibahas. Satu di antaranya perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres.
"Kami membahas beberapa perkara termasuk salah satunyanya perkara 141, tapi belum selesai semua. Mohon ditunggu dengan sabar ya," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (21/11/2023).
Diketahui, perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 itu terkait gugatan yang diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Brahma Aryana. Brama menggugat perkara batas usia capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah yang sebelumnya sudah dikabulkan MK.
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi". Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempermasalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut, yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan MP. Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi', yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, hanya tiga hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, empat hakim tidak setuju, dan dua hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengatakan ada beberapa perkara yang dibahas. Satu di antaranya perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres.
"Kami membahas beberapa perkara termasuk salah satunyanya perkara 141, tapi belum selesai semua. Mohon ditunggu dengan sabar ya," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (21/11/2023).
Diketahui, perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 itu terkait gugatan yang diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Brahma Aryana. Brama menggugat perkara batas usia capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah yang sebelumnya sudah dikabulkan MK.
Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi". Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempermasalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut, yakni terdapat 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan MP. Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi', yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, hanya tiga hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, empat hakim tidak setuju, dan dua hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
(zik)