Problem Kemacetan di Perkotaan

Kamis, 12 Oktober 2017 - 08:30 WIB
Problem Kemacetan di Perkotaan
Problem Kemacetan di Perkotaan
A A A
Dr Edy Purwo Saputro SE MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

RENCANA pelantikan Gubernur terpilih DKI Jakarta Anies-Sandi pada 16 Oktober nanti memberikan harapan baru terhadap kehidupan Jakarta untuk lima tahun ke depan. Paling tidak, realisasi atas minim kemacetan sangat diharapkan meski berharap tidak ada kemacetan adalah tidak mungkin seiring kian banyak kendaraan di Jakarta.

Argumen yang mendasari adalah pertambahan kendaraan di Jakarta setiap tahun mencapai 16%, sedangkan ruas jalan tidak bertambah signifikan. Terkait fakta ini, Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat menegaskan jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta dan sekitarnya bertambah 1.500 unit setiap hari, yaitu 1.200 motor dan 300 mobil. Artinya, terjadi perbandingan deret ukur dan deret hitung yang berdampak terhadap kemacetan, sementara pengguna moda transportasi umum relatif rendah atau hanya 24% dari total perjalanan yang dilakukan warga di Jakarta.

Faktor utama dari semakin banyak kendaraan di perkotaan bukan hanya warga yang ada di Jakarta semakin mudah mendapatkan kredit kendaraan. Bahkan, cara kredit tanpa uang muka dan kredit angsuran ringan secara tidak langsung juga berdampak terhadap niat kepemilikan kendaraan. Selain itu, fasilitas kendaraan umum yang tidak menjamin terhadap keamanan dan kenyamanan juga menjadi faktor utama dari rendahnya pengguna kendaraan umum.

Karena itu, pembangunan jalur bus rapid transit (BRT/Transjakarta), Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ), mass rapid transit (MRT), dan light rail transit (LRT) adalah di antara agenda untuk mereduksi kemacetan dengan memanfaatkan penggunaan moda transportasi massal. Terkait hal ini, peran dari pembentukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPJT) menjadi penting, setidaknya memetakan semua persoalan transportasi umum dan mencari solusinya misalnya kebutuhan akan angkutan umum dan optimalisasi pelayanannya.

Problem kemacetan di Jakarta sudah pernah diurai oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang kini menjadi presiden dengan menerapkan pelat nomor ganjil-genap mulai Maret 2013 sebagai upaya mereduksi kemacetan di Jakarta. Kemacetan Jakarta memang kian parah sehingga memengaruhi berbagai kegiatan masyarakat, termasuk aktivitas ekonomi bisnis. Konsekuensinya, jalur distribusi dari dan ke Jakarta menjadi tersendat. Padahal, keterlambatan jalur distribusi bisa berpengaruh bagi pasokan barang-jasa dan tentu imbasnya adalah ketidakpuasan konsumen.

Karena itu, mereduksi kemacetan di Jakarta sama peliknya dengan mengatasi masalah banjir. Lalu, bagaimana sebenarnya yang terjadi dan bagaimana implikasi dari kebijakan pelat ganjil-genap dalam upaya mengurai kemacetan di Jakarta? Bagaimana strategi Anies-Sandi untuk mereduksi kemacetan di Jakarta lima tahun ke depan?

Tantangan
Mengurai kemacetan secara teknis dapat dilihat dari titik-titik terjadi kemacetan itu sendiri. Pada kasus di berbagai perkotaan, titik-titik kemacetan biasanya terkait dengan kemunculan kegiatan ekonomi-bisnis atau biasa terjadi di kawasan bisnis. Karena itu, mengurai kemacetan di daerah ini relatif lebih sulit karena ada nilai keterkaitan dengan kegiatan ekonomi-bisnis yang merupakan mata rantai dirutinitas kehidupan keseharian orang, baik sebagai produsen ataupun konsumen.

Meski demikian, mengurai kemacetan di daerah seperti ini bisa dilakukan dengan memperlebar ruas jalan dan memperluas area parkir, serta mengurai kemacetan dari jalan yang masuk ke kawasan bisnis tersebut. Penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

Pertama, memperlebar ruas jalan. Hal ini tentu sangat terkait dengan tata kota dan juga peruntukan lahan di perkotaan. Meskipun langkah ini sangat tepat karena memberikan ruang lebih luas bagi kendaraan, baik untuk satu arah atau dua arah, namun langkah ini juga memberikan konse­kuensi yang tidak kecil karena menyita tanah yang tidak sedikit.

Selain itu, ada konsekuensi lain yang juga harus diperhatikan yaitu pembayaran kepada masyarakat terkait ganti rugi. Padahal, dari ragam kasus pelebaran jalan selalu muncul konflik terkait ganti rugi karena harga tanah dinilai lebih rendah dari harga pasar yang semestinya. Akibat itu, justru terjadi konflik antara pemilik lahan versus pemkot-pemprov.

Kedua, memperluas area parkir. Tidak bisa disangkal bahwa salah satu akar persoalan dari kemacetan yaitu perparkiran. Belajar dari hal ini, maka perlu dipikirkan pembuatan kantong-kantong perparkiran yang bisa dikelola oleh pemkot-pemprov dan melibatkan masyarakat sekitar. Sinergi simbiosis pengelolaan kantong parkir yaitu pemberdayaan masyarakat lokal, mereduksi pengangguran, meminimalisasi terjadi kasus parkir liar, mengurangi kemacetan, serta meningkatkan PAD. Perluasan area parkir bisa horizontal, tetapi juga vertikal. Khusus untuk kawasan ekonomi-bisnis, alternatif perluasan area parkir hanya bisa dilakukan secara vertikal, baik ke atas atau ke bawah tanah. Selain itu, penerapan e-parkir juga bisa mereduksi kebocoran uang demi target PAD.

Kalkulasi matematis dari keberadaan kantong-kantong perparkiran mungkin lebih dapat dihitung, namun bagaimana pembangunannya justru inilah yang menimbulkan problem baru, terutama terkait dengan keberadaan lahan untuk keperluan areal parkir yang luas sehingga tidak ada lagi kendaraan yang parkir di sepanjang ruas jalan protokol yang ada pusat-pusat keramaian bisnis. Karena itu, bukan tidak mungkin jika pemkot dan pemprov perlu juga memikirkannya sebab ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kantong-kantong perparkiran, termasuk juga penerapan e-parkir.

Ketiga, mengurai dari awal masuk jalan ke kawasan bisnis. Ketika kawasan ekonomi-bisnis rawan kemacetan, pihak terkait baik Satlantas atau Dinas Perhubungan dapat membuat pemecah jalan sehingga kendaraan yang tidak berkepentingan melakukan ekonomi-bisnis tidak perlu melalui kawasan ekonomi bisnis sehingga ini secara tidak langsung telah mereduksi terjadi penumpukan kendaraan di kawasan tersebut. Karena itu, membuka jalur alternatif menjadi alternatif solusi untuk bisa mengurai alur kemacetan di kawasan eko­nomi bisnis yang banyak terjadi di perkotaan.

Keempat, menyediakan moda transportasi massal yang baik, yaitu dalam arti kuantitas juga kualitas, termasuk dalam hal ini adalah jaminan rasa aman dan kenyamanan. Moda transportasi yang tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna tentu akan mengerdilkan niat masyarakat untuk beralih menggunakan moda ini dibandingkan jika mereka menggunakan kendaraan pribadi. Banyak kasus-kasus kecelakaan dan pelecehan kepada penumpang wanita di sejumlah moda transportasi massal secara tidak langsung menjadi problem serius untuk membangun moda transportasi massal ke depan, terutama dikaitkan dengan harapan mengurai kemacetan itu sendiri.

Dari empat aspek di atas, maka perlu pemetaan yang lebih komprehensif terkait kasus kemacetan di perkotaan, utamanya untuk kasus di Jakarta dan tentu ini menjadi kasus yang perlu prioritas bagi duet kepemimpinan Anies-Sandi untuk lima tahun ke depan. Hal ini secara tidak langsung menegaskan untuk mengurai kemacetan di Jakarta tampak masih wait and see, terutama dikaitkan dengan sejumlah program dan ke­bijakan yang akan diterapkan, termasuk misal optimalisasi Transjakarta, KCJ, MRT, LRT, serta peran dari pembentukan BPJT.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6303 seconds (0.1#10.140)