Generasi Milenial, Kesadaran Hukum, dan Antikorupsi
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan kepada masyarakat dalam suatu kesempatan bahwa bonus demografi akan memimpin bangsa ini maju menghadapi tantangan masa depan. Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2030 hingga 2040.
Bonus demografi yang dimaksud adalah masa saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (sumber Kemenkominfo, 2023). Merujuk data kependudukan sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di atas, jelas bahwa masa depan Indonesia di masa Tahun 2030 hingga 2040 diharapkan akan tercipta Indonesia Emas . Betulkah perkiraaan ini?
Sesungguhnya hal itu merupakan harapan kita semua, bukan sekelompok orang tertentu. Manusia boleh saja mengharapkan dan bercita-cita, akan tetapi bagi orang yang beriman hanya Tuhan YME yang menentukan nasib kita dan bangsa ini di masa yang akan datang. Namun, tanpa ada usaha maksimal dan sungguh-sungguh terutama dari para pemimpin bangsa ini baik dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harapan akan sia-sia. Apalagi bangsa ini masih didera berbagai masalah kompleks sifatnya yang berdampak masif dan luar biasa yang menimbulkan kerusakan fisik, moralitas, serta integritas kebangsaan.
Contoh-contoh suap dan korupsi yang telah diwariskan turun-temurun termasuk kepada generasi muda usia produktif tidak kalah pentingnya dilakukan pencegahan yang sistematis dan terkoordinasi secara serius dan terukur. Jika gagal, dipastikan generasi produktif akan mengalami nasib yang sama dengan generasi sebelumnya.
Salah satu faktor yang ikut menentukan masa depan bangsa ini tahun 2030 hingga 2040 bukan semata-mata usia produktifnya, melainkan usia dan pengalaman hidupnya membangun bangsa ini. Tanpa ada kesadaran akan pengaturan lingkungan hidup yang didasarkan pada hukum yang berlaku, dipastikan harapan menjadi tidak bermakna bahkan sulit diwujudkan.
Kesadaran hukum pada masa 2023 dan sebelumnya terutama di kalangan penegak hukum mencapai titik nadir. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 34 merupakan sinyal tentang hal tersebut karena IPK ini merupakan parameter kualitas dan kuantitas suap dan korupsi yang terjadi sampai 2023 di Indonesia.
Kehadiran generasi produktif yang diharapkan Presiden Joko Widodo harus ditata dan dikelola. Selain pengetahuan dan pengalaman kerja, penting pula integritas dan moralitas jati diri agar tegar dan tangguh menghadapi setiap godaan harta, takhta, dan wanita. Ketiga hal tersebut merupakan petuah nenek moyang kita yang dipandang sebagai sumber kerusakan dan kehancuran suatu generasi dan secara kebetulan telah terjadi sejak era Orde Soeharto dan masih terjadi sampai saat ini.
Kesadaran hukum bagi generasi milienal, generasi produktif yang masih banyak harapan baik keluarga dan pemimpin negeri ini dan masih tetap berada dan hidup di dalam lingkungan hidup yang kotor bukan saja kualitas cuaca, tetapi yang lebih penting kualitas sikap dan moralitasnya, maka dapat dipastikan harapan generasi milenial produktif yang mampu membangun negeri ini akan sirna dengan sendirinya. Kesadaran hukum sejatinya adalah kesadaran mengenai moralitas, tentang perbuatan tercela dan bukan tercela, baik dan buruk dari setiap individu dalam kehidupan berinteraksi dengan indidividu lainnya.
Kesadaran hukum tidaklah dibentuk, melainkan diajarkan, diwariskan dengan contoh-contoh dan keteladanan orang tua dan pemimpin di tempat kerja dan keseluruhannya sikap dan teladan dari seorang Presiden, Menteri, dan jajaran di bawahnya. Tanpa ada sikap dan keteladanan disertai moralitas yang baik dan menjalankan prinsip tut wuri handayani, ing ngarso sung tulodo, dipastikan generasi milenial produkif menjadi a-produktif dan asosial serta korup.
Yang terpenting bagi generasi milenial-produktif adalah bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan nilai yang harus menjiwai setiap langkah dan kebijakan negara. Kedua terpenting lain adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU yang mengatur bagaimana seharusnya menjalankan dan mengelola pemerintahan dan melaksanakan hak dan kebebasan berpendapat termasuk kritik sosial dengan merujuk parameter nilai-nilai agama, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban sebagaimana dicantumkan di Pasal 28 J UUD 1945.
Contoh sikap beberapa pemimpin dan tetua organisasi kemasyarakatan (ormas) serta tokoh-tokoh masyarakat tidak memberikan yang terbaik dilihat dari aspek kesusilaan masyarakat timur, karena mengedepankan budaya barat yang individualistik. Hal ini diperparah oleh masifnya syahwat konsumerisme di kalangan generasi milenial-produktif dengan memamerkan kemewahan yang tidak terbataskan.
Mengingat kondisi sosial tersebut, fungsi dan peranan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) harus fokus pada generasi milenial produktif ini tanpa kecuali, tidak hanya terbatas pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Harapannya tentu dapat dicegah calon pemimpin dari generasi milenial yang korup dan jauh dari sikap etika sosial dan kelembagaan.
Ketika kita membangun negeri ini dengan berbagai upaya, khususnya melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, harus dicermati dan diingat bahwa tidak lagi terjadi penyelesaian suatu masalah sosial dan hukum yang kemudian menimbulkan masalah baru (solution to a problems creates another problem).
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan kepada masyarakat dalam suatu kesempatan bahwa bonus demografi akan memimpin bangsa ini maju menghadapi tantangan masa depan. Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2030 hingga 2040.
Bonus demografi yang dimaksud adalah masa saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (sumber Kemenkominfo, 2023). Merujuk data kependudukan sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di atas, jelas bahwa masa depan Indonesia di masa Tahun 2030 hingga 2040 diharapkan akan tercipta Indonesia Emas . Betulkah perkiraaan ini?
Sesungguhnya hal itu merupakan harapan kita semua, bukan sekelompok orang tertentu. Manusia boleh saja mengharapkan dan bercita-cita, akan tetapi bagi orang yang beriman hanya Tuhan YME yang menentukan nasib kita dan bangsa ini di masa yang akan datang. Namun, tanpa ada usaha maksimal dan sungguh-sungguh terutama dari para pemimpin bangsa ini baik dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harapan akan sia-sia. Apalagi bangsa ini masih didera berbagai masalah kompleks sifatnya yang berdampak masif dan luar biasa yang menimbulkan kerusakan fisik, moralitas, serta integritas kebangsaan.
Contoh-contoh suap dan korupsi yang telah diwariskan turun-temurun termasuk kepada generasi muda usia produktif tidak kalah pentingnya dilakukan pencegahan yang sistematis dan terkoordinasi secara serius dan terukur. Jika gagal, dipastikan generasi produktif akan mengalami nasib yang sama dengan generasi sebelumnya.
Salah satu faktor yang ikut menentukan masa depan bangsa ini tahun 2030 hingga 2040 bukan semata-mata usia produktifnya, melainkan usia dan pengalaman hidupnya membangun bangsa ini. Tanpa ada kesadaran akan pengaturan lingkungan hidup yang didasarkan pada hukum yang berlaku, dipastikan harapan menjadi tidak bermakna bahkan sulit diwujudkan.
Kesadaran hukum pada masa 2023 dan sebelumnya terutama di kalangan penegak hukum mencapai titik nadir. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 34 merupakan sinyal tentang hal tersebut karena IPK ini merupakan parameter kualitas dan kuantitas suap dan korupsi yang terjadi sampai 2023 di Indonesia.
Kehadiran generasi produktif yang diharapkan Presiden Joko Widodo harus ditata dan dikelola. Selain pengetahuan dan pengalaman kerja, penting pula integritas dan moralitas jati diri agar tegar dan tangguh menghadapi setiap godaan harta, takhta, dan wanita. Ketiga hal tersebut merupakan petuah nenek moyang kita yang dipandang sebagai sumber kerusakan dan kehancuran suatu generasi dan secara kebetulan telah terjadi sejak era Orde Soeharto dan masih terjadi sampai saat ini.
Kesadaran hukum bagi generasi milienal, generasi produktif yang masih banyak harapan baik keluarga dan pemimpin negeri ini dan masih tetap berada dan hidup di dalam lingkungan hidup yang kotor bukan saja kualitas cuaca, tetapi yang lebih penting kualitas sikap dan moralitasnya, maka dapat dipastikan harapan generasi milenial produktif yang mampu membangun negeri ini akan sirna dengan sendirinya. Kesadaran hukum sejatinya adalah kesadaran mengenai moralitas, tentang perbuatan tercela dan bukan tercela, baik dan buruk dari setiap individu dalam kehidupan berinteraksi dengan indidividu lainnya.
Kesadaran hukum tidaklah dibentuk, melainkan diajarkan, diwariskan dengan contoh-contoh dan keteladanan orang tua dan pemimpin di tempat kerja dan keseluruhannya sikap dan teladan dari seorang Presiden, Menteri, dan jajaran di bawahnya. Tanpa ada sikap dan keteladanan disertai moralitas yang baik dan menjalankan prinsip tut wuri handayani, ing ngarso sung tulodo, dipastikan generasi milenial produkif menjadi a-produktif dan asosial serta korup.
Yang terpenting bagi generasi milenial-produktif adalah bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan nilai yang harus menjiwai setiap langkah dan kebijakan negara. Kedua terpenting lain adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU yang mengatur bagaimana seharusnya menjalankan dan mengelola pemerintahan dan melaksanakan hak dan kebebasan berpendapat termasuk kritik sosial dengan merujuk parameter nilai-nilai agama, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban sebagaimana dicantumkan di Pasal 28 J UUD 1945.
Contoh sikap beberapa pemimpin dan tetua organisasi kemasyarakatan (ormas) serta tokoh-tokoh masyarakat tidak memberikan yang terbaik dilihat dari aspek kesusilaan masyarakat timur, karena mengedepankan budaya barat yang individualistik. Hal ini diperparah oleh masifnya syahwat konsumerisme di kalangan generasi milenial-produktif dengan memamerkan kemewahan yang tidak terbataskan.
Mengingat kondisi sosial tersebut, fungsi dan peranan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) harus fokus pada generasi milenial produktif ini tanpa kecuali, tidak hanya terbatas pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Harapannya tentu dapat dicegah calon pemimpin dari generasi milenial yang korup dan jauh dari sikap etika sosial dan kelembagaan.
Ketika kita membangun negeri ini dengan berbagai upaya, khususnya melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, harus dicermati dan diingat bahwa tidak lagi terjadi penyelesaian suatu masalah sosial dan hukum yang kemudian menimbulkan masalah baru (solution to a problems creates another problem).
(zik)