Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia
loading...
A
A
A
Dalam kajian hubungan internasional, manuver yang dilakukan pemimpin besar seperti Putin menarik untuk dikupas. Pertanyaan yang perlu dilemparkan adalah bagaimana realitas sesungguhnya dunia saat ini? Apakah dunia multipolar sebagai asa realistis? Dan peran seperti apa yang perlu dimainkan Indonesia?
Dari Bipolar, Unipolar Menuju Multipolar?
Realitas hubungan negara dibentuk berdasar kepentingan (interest). Bagaimana kondisi demikian bisa terjadi? Seperti dijelaskan HJ Morgenthau dalam ‘Politics Among Nations’ yang menjadi buku babon mahasiswa hubungan internasional, pada dasar manusia memiliki sifat pesimistis, tamak, dan haus kekuasaan. Pandangan yang menjadi asumsi dasar persepektif realisme ini mengenyampingkan moral dalam berperilaku politik.
Kepentingan dimaksud bukan semata mencakup bidang politik, militer dan ekonomi yang menjadi centrum konflik internasional, tapi juga ideologi, budaya, hingga teknologi.Pertarungan kepentingan bahkan seringkali melibatkan semua unsur perbedaan.
baca juga: Biden Merespons Putin: Rusia Akan Kalah!
Pasca-Perang Dunia II, arsitektur pertarungan global mengalami dinamika dan memformat polaritas hubungan internasional. Sistem polaritas yang diperkenalkan kaum realis, termasuk di antaranya Karen A. Mings, sangat lekat dengan konsep power yang merujuk pada perilaku aktor politik yang selalu bermotif meraih dan memperkuat pengaruhnya -baik di bidang politik, ekonomi, militer dan lainnya.
Dalam perjalanannya, metamorfosis pembentukan polaritas merupakan hasil kongkret dari pertarungan era sebelumnya. Sistem bipolar yang terlahir sejak berakhirnya perang Dunia II terbentuk setelah AS dan Uni Sovyet menjadi pemenangnya.
Mereka mengonsolindasikan kekuatan menjadi dua kubu aliansi, yakni Blok Barat atau NATO yang dipimpin AS versus Blok Timur atau Fakta Warsawa dengan pemimpin Uni Sovyet. Rivalitas terjadi tidak sampai meledak menjadi perang terbuka, hingga periodisasi ini disebut sebagai era Perang Dingin (Cold War).
Sistem bipolar saat itu memunculkan konsep balance of poweratau perimbangan kekuatan. Seperti dikemukakan Kenneth Waltz dalamTheory of International Politics, keberadaan dua negara berkekuatan besar bisa diharapkan bertindak sebagai pemelihara sistem. Berangkat dari pemahaman inilah, di era tersebut tidak sampai pecah perang antarnegara adidaya.
Ambruknya tembok Berlin yang memisahkan dua negara Jerman pada 9 November 1989,menandai kemenangan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ideologi AS dan sekutunya terhadap komunisme yang merupakan wujud wajah Uni Sovyet. Kemenangan AS pun bersifat mutlak setelah negara Uni Sovyet dibubarkan pada 25 Desember 1991, dengan ditandai mundurnya Presiden Mikhail Gorbacev.
Dari Bipolar, Unipolar Menuju Multipolar?
Realitas hubungan negara dibentuk berdasar kepentingan (interest). Bagaimana kondisi demikian bisa terjadi? Seperti dijelaskan HJ Morgenthau dalam ‘Politics Among Nations’ yang menjadi buku babon mahasiswa hubungan internasional, pada dasar manusia memiliki sifat pesimistis, tamak, dan haus kekuasaan. Pandangan yang menjadi asumsi dasar persepektif realisme ini mengenyampingkan moral dalam berperilaku politik.
Kepentingan dimaksud bukan semata mencakup bidang politik, militer dan ekonomi yang menjadi centrum konflik internasional, tapi juga ideologi, budaya, hingga teknologi.Pertarungan kepentingan bahkan seringkali melibatkan semua unsur perbedaan.
baca juga: Biden Merespons Putin: Rusia Akan Kalah!
Pasca-Perang Dunia II, arsitektur pertarungan global mengalami dinamika dan memformat polaritas hubungan internasional. Sistem polaritas yang diperkenalkan kaum realis, termasuk di antaranya Karen A. Mings, sangat lekat dengan konsep power yang merujuk pada perilaku aktor politik yang selalu bermotif meraih dan memperkuat pengaruhnya -baik di bidang politik, ekonomi, militer dan lainnya.
Dalam perjalanannya, metamorfosis pembentukan polaritas merupakan hasil kongkret dari pertarungan era sebelumnya. Sistem bipolar yang terlahir sejak berakhirnya perang Dunia II terbentuk setelah AS dan Uni Sovyet menjadi pemenangnya.
Mereka mengonsolindasikan kekuatan menjadi dua kubu aliansi, yakni Blok Barat atau NATO yang dipimpin AS versus Blok Timur atau Fakta Warsawa dengan pemimpin Uni Sovyet. Rivalitas terjadi tidak sampai meledak menjadi perang terbuka, hingga periodisasi ini disebut sebagai era Perang Dingin (Cold War).
Sistem bipolar saat itu memunculkan konsep balance of poweratau perimbangan kekuatan. Seperti dikemukakan Kenneth Waltz dalamTheory of International Politics, keberadaan dua negara berkekuatan besar bisa diharapkan bertindak sebagai pemelihara sistem. Berangkat dari pemahaman inilah, di era tersebut tidak sampai pecah perang antarnegara adidaya.
Ambruknya tembok Berlin yang memisahkan dua negara Jerman pada 9 November 1989,menandai kemenangan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ideologi AS dan sekutunya terhadap komunisme yang merupakan wujud wajah Uni Sovyet. Kemenangan AS pun bersifat mutlak setelah negara Uni Sovyet dibubarkan pada 25 Desember 1991, dengan ditandai mundurnya Presiden Mikhail Gorbacev.