Mahkamah Konstitusi: The Gladiator of Constitution

Jum'at, 20 Oktober 2023 - 13:28 WIB
loading...
A A A
Sedangkan MK sebagai negative legislator yang artinya memiliki wewenang judicial review atau menguji UU terhadap UUD 1945 secara formil dan materiil namun putusannya hanya sebatas menyatakan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau membiarkan suatu UU dibentuk oleh DPR bersama Presiden.

Keterbatasan wewenang MK itu diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No 8/2011 yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk merumuskan norma baru karena itu adalah wewenang DPR Bersama Presiden.

Sehingga Keputusan MK Nomor : 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi telah melewati batas wewenangnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 48/2009, UU No 24/2003, UU No 8/2011, UU No 12/2011 dan peraturan MK No 2/2021. Selain telah melewati batas wewenangnya, MK juga telah melakukan tindakan inkonsistensi.

Beberapa waktu sebelumnya yaitu pada 19 September 2023 MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menolak gugatan Nomor 29 yang diajukan Partai PSI dengan alasan bahwa untuk mengubah Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang. Namun beberapa saat kemudian Mahkamah Konstitusi menerima sebagian atas permohonan gugatan Nomor 90 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A.

Selain inkonsistensi, dalam putusan perkara Nomor 90 tersebut suara hakim konstitusi tidak bulat. Adapun tiga hakim menyatakan setuju, dua hakim menyatakan concurring opinion dan empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Dengan komposisi 4:3:2 menunjukkan bahwa suara hakim tidak bulat dan seharusnya keputusan tidak perlu diambil secara terburu-buru karena menunjukkan secara jelas kepada publik bahwa terdapat conflict of interest di internal hakim konstitusi. Putusan yang dikeluarkan MK tersebut tentunya membuka peluang bagi semua kepala daerah yang pernah/sedang menjabat namun belum berusia 40 tahun untuk tetap dapat mencalonkan diri sebagai capres ataupun cawapres.

Namun tidak serta merta begitu saja. Tetapi ada dua syarat konstitusional lagi yang harus dilalui sesuai dengan UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) yaitu diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sesuai dengan dan Pasal 6A ayat (1) harus dipilih oleh rakyat.

Namun pemohon dalam gugatan nomor 90 itu menyatakan kekagumannya terhadap sosok Gibran Rakabuming Raka, yang secara tidak langsung gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbiru Re A adalah untuk wali kota Solo yang pada posisinya adalah keponakan dari Ketua MK yaitu Anwar Usman.

Selain permasalahan di atas, jika merujuk pada UU No 8/2011 Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung”.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1706 seconds (0.1#10.140)