Mahkamah Konstitusi: The Gladiator of Constitution
loading...
A
A
A
Anselmus Ersandy Santoso, S.H
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Wakabid Organisasi DPP GMNI
PADA hari Senin tanggal 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan empat kali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan membacakan enam putusan perkara yang tercatat dengan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, 91/PUU-XXI/2023, dan 92/PUU-XXI/2023, terkait uji materi UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dari semua perkara tersebut terdapat tiga perkara ditolak, dua perkara tidak dapat diterima.
Namun MK mengabulkan sebagian satu gugatan dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A yang merupakan mahasiswa asal Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa). Selengkapnya MK membuat bunyi Pasal 169 huruf q menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang menganut konsep trias politica. Ide pokok dari konsep yang ditemukan John Locke yang kemudian dikembangkan Montesquieu adalah membagi atau memisahkan kekuasaan untuk mencegah adanya pemerintahan yang absolut.
Dapat dikatakan bahwa sistem ini merupakan jurus jitu menciptakan dan mengawal negara demokrasi. Berlakunya trias politica di Indonesia ditegaskan dalam UUD 1945 yang menjadi aturan dasar serta menjadi landasan hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tris politica menjadi kerangka dasar berlangsungnya Negara Indonesia.
Kekuasaan Eksekutif diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 17 UUD 1945 yang dipegang presiden dan wakil presiden. Lembaga Legislatif diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 22E UUD 1945 yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama-sama membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan Lembaga Yudikatif diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 24C UUD 1945 yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Dibentuknya sebuah regulasi atau peraturan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dapat kita lihat dari catatan sejarah carut-marutnya konstitusi dan ketatanegaraan pada era Orde Baru dikarenakan UU No 40/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menganut sistem dua atap memberikan restu pihak eksekutif masuk ke dalam ranah kekuasaan kehakiman.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD mendesak agar kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dijaga dan dikawal ketat. Demi mencegah sejarah terulang kembalinya Lembaga eksekutif masuk ke dalam ranah kekuasaan kehakiman yang menjadi faktor konstitusi menjadi ugal-ugalan, serta mengawal kepentingan kedaulatan rakyat Indonesia.
Maka dibentuklah MK yang berfungsi sebagai wasit dalam penyelenggaraan konstitusi di Indonesia. Wewenang MK diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selain itu wewenang MK juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan wewenang untuk membuat suatu hukum atau norma dimiliki DPR yang diatur dalam Pasal 20 UUD 1945 dan Pemerintah yang diatur dalam Pasal 5 UUD 1945 membuat DPR dan Pemerintah menjadi positive legislator.
Sedangkan MK sebagai negative legislator yang artinya memiliki wewenang judicial review atau menguji UU terhadap UUD 1945 secara formil dan materiil namun putusannya hanya sebatas menyatakan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau membiarkan suatu UU dibentuk oleh DPR bersama Presiden.
Keterbatasan wewenang MK itu diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No 8/2011 yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk merumuskan norma baru karena itu adalah wewenang DPR Bersama Presiden.
Sehingga Keputusan MK Nomor : 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi telah melewati batas wewenangnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 48/2009, UU No 24/2003, UU No 8/2011, UU No 12/2011 dan peraturan MK No 2/2021. Selain telah melewati batas wewenangnya, MK juga telah melakukan tindakan inkonsistensi.
Beberapa waktu sebelumnya yaitu pada 19 September 2023 MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menolak gugatan Nomor 29 yang diajukan Partai PSI dengan alasan bahwa untuk mengubah Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang. Namun beberapa saat kemudian Mahkamah Konstitusi menerima sebagian atas permohonan gugatan Nomor 90 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A.
Selain inkonsistensi, dalam putusan perkara Nomor 90 tersebut suara hakim konstitusi tidak bulat. Adapun tiga hakim menyatakan setuju, dua hakim menyatakan concurring opinion dan empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dengan komposisi 4:3:2 menunjukkan bahwa suara hakim tidak bulat dan seharusnya keputusan tidak perlu diambil secara terburu-buru karena menunjukkan secara jelas kepada publik bahwa terdapat conflict of interest di internal hakim konstitusi. Putusan yang dikeluarkan MK tersebut tentunya membuka peluang bagi semua kepala daerah yang pernah/sedang menjabat namun belum berusia 40 tahun untuk tetap dapat mencalonkan diri sebagai capres ataupun cawapres.
Namun tidak serta merta begitu saja. Tetapi ada dua syarat konstitusional lagi yang harus dilalui sesuai dengan UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) yaitu diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sesuai dengan dan Pasal 6A ayat (1) harus dipilih oleh rakyat.
Namun pemohon dalam gugatan nomor 90 itu menyatakan kekagumannya terhadap sosok Gibran Rakabuming Raka, yang secara tidak langsung gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbiru Re A adalah untuk wali kota Solo yang pada posisinya adalah keponakan dari Ketua MK yaitu Anwar Usman.
Selain permasalahan di atas, jika merujuk pada UU No 8/2011 Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung”.
Sementara ayat (2) berbunyi “Jika diperlukan perubahan terhadap undangundang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dapat disimpulkan bahwa terkait putusan MK tersebut perlu ada penyesuaian dikarenakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tepatnya pada Pasal 13 ayat (1) poin q telah diatur usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun.
Dalam perubahan peraturan terdapat proses dan mekanisme yang harus ditempuh sedangkan pendaftaran capres dan cawapres dimulai pada 19 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2023. Situasi ini bisa saja menghambat bahkan risiko paling buruk adalah penundaan proses pelaksanaan Pemilu 2024.
Dengan berbagai pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa MK yang tujuan awalnya dibentuk sebagai lembaga yudikatif yang memiliki peran untuk menjaga dan mengawal konstitusi sudah tidak relevan lagi. MK yang seharusnya menjadi wasit dalam penyelenggaraan konstitusi telah menjadi pemain dalam konstitusi. Maka julukan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution sudah berubah menjadi the gladiator of constitution.
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Wakabid Organisasi DPP GMNI
PADA hari Senin tanggal 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan empat kali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan membacakan enam putusan perkara yang tercatat dengan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, 91/PUU-XXI/2023, dan 92/PUU-XXI/2023, terkait uji materi UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dari semua perkara tersebut terdapat tiga perkara ditolak, dua perkara tidak dapat diterima.
Namun MK mengabulkan sebagian satu gugatan dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A yang merupakan mahasiswa asal Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa). Selengkapnya MK membuat bunyi Pasal 169 huruf q menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang menganut konsep trias politica. Ide pokok dari konsep yang ditemukan John Locke yang kemudian dikembangkan Montesquieu adalah membagi atau memisahkan kekuasaan untuk mencegah adanya pemerintahan yang absolut.
Dapat dikatakan bahwa sistem ini merupakan jurus jitu menciptakan dan mengawal negara demokrasi. Berlakunya trias politica di Indonesia ditegaskan dalam UUD 1945 yang menjadi aturan dasar serta menjadi landasan hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tris politica menjadi kerangka dasar berlangsungnya Negara Indonesia.
Kekuasaan Eksekutif diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 17 UUD 1945 yang dipegang presiden dan wakil presiden. Lembaga Legislatif diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 22E UUD 1945 yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama-sama membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan Lembaga Yudikatif diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 24C UUD 1945 yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Dibentuknya sebuah regulasi atau peraturan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dapat kita lihat dari catatan sejarah carut-marutnya konstitusi dan ketatanegaraan pada era Orde Baru dikarenakan UU No 40/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menganut sistem dua atap memberikan restu pihak eksekutif masuk ke dalam ranah kekuasaan kehakiman.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD mendesak agar kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dijaga dan dikawal ketat. Demi mencegah sejarah terulang kembalinya Lembaga eksekutif masuk ke dalam ranah kekuasaan kehakiman yang menjadi faktor konstitusi menjadi ugal-ugalan, serta mengawal kepentingan kedaulatan rakyat Indonesia.
Maka dibentuklah MK yang berfungsi sebagai wasit dalam penyelenggaraan konstitusi di Indonesia. Wewenang MK diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selain itu wewenang MK juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan wewenang untuk membuat suatu hukum atau norma dimiliki DPR yang diatur dalam Pasal 20 UUD 1945 dan Pemerintah yang diatur dalam Pasal 5 UUD 1945 membuat DPR dan Pemerintah menjadi positive legislator.
Sedangkan MK sebagai negative legislator yang artinya memiliki wewenang judicial review atau menguji UU terhadap UUD 1945 secara formil dan materiil namun putusannya hanya sebatas menyatakan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau membiarkan suatu UU dibentuk oleh DPR bersama Presiden.
Keterbatasan wewenang MK itu diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No 8/2011 yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk merumuskan norma baru karena itu adalah wewenang DPR Bersama Presiden.
Sehingga Keputusan MK Nomor : 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi telah melewati batas wewenangnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 48/2009, UU No 24/2003, UU No 8/2011, UU No 12/2011 dan peraturan MK No 2/2021. Selain telah melewati batas wewenangnya, MK juga telah melakukan tindakan inkonsistensi.
Beberapa waktu sebelumnya yaitu pada 19 September 2023 MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menolak gugatan Nomor 29 yang diajukan Partai PSI dengan alasan bahwa untuk mengubah Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang. Namun beberapa saat kemudian Mahkamah Konstitusi menerima sebagian atas permohonan gugatan Nomor 90 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A.
Selain inkonsistensi, dalam putusan perkara Nomor 90 tersebut suara hakim konstitusi tidak bulat. Adapun tiga hakim menyatakan setuju, dua hakim menyatakan concurring opinion dan empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dengan komposisi 4:3:2 menunjukkan bahwa suara hakim tidak bulat dan seharusnya keputusan tidak perlu diambil secara terburu-buru karena menunjukkan secara jelas kepada publik bahwa terdapat conflict of interest di internal hakim konstitusi. Putusan yang dikeluarkan MK tersebut tentunya membuka peluang bagi semua kepala daerah yang pernah/sedang menjabat namun belum berusia 40 tahun untuk tetap dapat mencalonkan diri sebagai capres ataupun cawapres.
Namun tidak serta merta begitu saja. Tetapi ada dua syarat konstitusional lagi yang harus dilalui sesuai dengan UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) yaitu diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sesuai dengan dan Pasal 6A ayat (1) harus dipilih oleh rakyat.
Namun pemohon dalam gugatan nomor 90 itu menyatakan kekagumannya terhadap sosok Gibran Rakabuming Raka, yang secara tidak langsung gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbiru Re A adalah untuk wali kota Solo yang pada posisinya adalah keponakan dari Ketua MK yaitu Anwar Usman.
Selain permasalahan di atas, jika merujuk pada UU No 8/2011 Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung”.
Sementara ayat (2) berbunyi “Jika diperlukan perubahan terhadap undangundang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dapat disimpulkan bahwa terkait putusan MK tersebut perlu ada penyesuaian dikarenakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tepatnya pada Pasal 13 ayat (1) poin q telah diatur usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun.
Dalam perubahan peraturan terdapat proses dan mekanisme yang harus ditempuh sedangkan pendaftaran capres dan cawapres dimulai pada 19 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2023. Situasi ini bisa saja menghambat bahkan risiko paling buruk adalah penundaan proses pelaksanaan Pemilu 2024.
Dengan berbagai pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa MK yang tujuan awalnya dibentuk sebagai lembaga yudikatif yang memiliki peran untuk menjaga dan mengawal konstitusi sudah tidak relevan lagi. MK yang seharusnya menjadi wasit dalam penyelenggaraan konstitusi telah menjadi pemain dalam konstitusi. Maka julukan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution sudah berubah menjadi the gladiator of constitution.
(poe)