Generasi Muda Sebagai Garda Terdepan Pengusung Toleransi dan Perdamaian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesiapan generasi muda Indonesia kian diuji dengan semakin terbukanya arus informasi yang memungkinkan berbagai pemikiran masuk ke alam pikiran mereka. Pola pikir yang mandiri dan inklusif perlu ditumbuhkan para pemuda agar bisa menyaring berbagai pengaruh yang memaksa masuk dan menggerus keragaman budaya Indonesia.
Tantangan ideologi transnasional dengan segala bentuknya harus dijawab dengan semangat perdamaian dalam keberagaman.
“Jika ayat-ayat agama tidak mampu membuat kita damai dalam kebersamaan, mungkin ayat-ayat cinta yang bisa mempersatukan kita. Hiduplah dengan damai dan cinta kasih hingga tidak ada lagi perasaan kita untuk membenci,” ujar biksu muda Bhante Dhirrapunno, Kamis (12/10/2023).
Biksu yang juga aktif sebagai penulis ini mencontohkan bahwa manusia saja terlahir dari kedua orang tua yang saling mencintai. Dengan adanya cinta dan toleransi, maka terlahirlah para pemuda dan pemudi ke dunia ini. Jika saja ayah dan ibu saling membenci, maka tidak mungkin akan terlahir anak manusia.
“Toleransi adalah ketika kita bisa bersama membangun peradaban dalam perbedaan. Pada saat itu kita akan lebih mudah menyebarkan kebaikan pada orang lain. Baik generasi muda maupun pemuka agama, apapun latar belakangnya perlu menyebarkan konten yang berisi pesan perdamaian dalam perbedaan. Walaupun terlihat seperti bercanda ria, namun konten yang seperti ini memberikan dampak positif dalam harmonisasi Indonesia sebagai sebuah bangsa,” ungkap Bhante Dhirapunno.
Kedamaian dan keharmonisan bisa terwujud apabila umat manusia bisa menghargai semua kehidupan. Pentingnya menghargai semua kehidupan tanpa terkecuali. Bahkan manusia harus menunjukkannya dengan memiliki rasa toleransi yang tinggi dan bisa memenangkan hati para orang-orang yang belum toleran.
“Salahnya, terkadang kita justru membenci orang yang intoleran. Kebencian yang dibalas dengan kebencian akan melahirkan kebencian yang lebih besar lagi. Kita harus bisa menerima kehadiran mereka. Perlahan kita coba untuk menyadarkan teman-teman kita tanpa perlu menghujatnya atau memberikan perlakuan buruk lainnya,” katanya.
Menurut dia, orang-orang yang rentan melakukan tindak kebencian dan kekerasan adalah mereka yang pernah menjadi korban kekecewaan. Maka sudah seharusnya jangan melukai orang yang memiliki pandangan atau keyakinan yang berbeda.
Segala bentuk kekerasan sejatinya tidak berlandaskan pada nilai-nilai luhur dalam agama walaupun para pelakunya menjual jargon-jargon agama dalam tindak kekerasannya. “Kebaikan sejati tidak akan pernah bercampur dengan keburukan,” ucapnya.
Bhante bercerita semasa dirinya tinggal di Thailand. Orang Thailand itu bingung, kenapa Indonesia bisa sedamai itu. Padahal negaranya begitu besar, banyak pulau, banyak suku, banyak budaya berbeda-beda lagi.
“Waktu saya masih menetap di Thailand, saya belajar bahwa di masa lalu Thailand, Kamboja, dan Vietnam itu adalah satu kesatuan. Nyatanya, hari ini kita bisa sama-sama menyaksikan bahwa mereka sudah terpecah belah dan memiliki negaranya masing-masing. Bahkan di antara tiga negara yang terpecah tadi terdapat kebencian besar yang tersisa hingga saat ini,” ujarnya.
“Kita Indonesia jangan sampai seperti negara yang terpecah karena saling membenci. Sebagai contoh, Kota Medan adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki pluralisme yang sangat baik. Di sana terdapat Masjid Al Osmani yang jaraknya cukup berdekatan dengan Vihara Siu San Keng. Masyarakat di sana bisa pulang dan pergi ke rumah ibadahnya masing-masing tanpa harus takut akan kehadiran kelompok agama yang berbeda,” kata Bhante.
Dia menganalogikan kitab suci bagi para pemeluknya ibarat aplikasi Google Maps yang menunjukkan arah tujuan bagi para penggunanya. Seperti halnya menggunakan aplikasi yang memiliki fitur GPS (Global Positioning System) tersebut, walaupun seolah mengikutinya, seorang yang beragama sangat mungkin untuk tersasar jika tidak tepat dalam memahami kitab sucinya sendiri.
“Walaupun kitab suci kita sudah tetap, jelas, dan pas dalam memberikan tuntunan kehidupan, tapi kalau kita tidak memperhatikan dan menyadari kitab suci kita masing-masing malah bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Seperti Google Maps saja, disuruh belok kiri eh kita malah belok kanan, jadinya error deh,” ujarnya.
Tantangan ideologi transnasional dengan segala bentuknya harus dijawab dengan semangat perdamaian dalam keberagaman.
“Jika ayat-ayat agama tidak mampu membuat kita damai dalam kebersamaan, mungkin ayat-ayat cinta yang bisa mempersatukan kita. Hiduplah dengan damai dan cinta kasih hingga tidak ada lagi perasaan kita untuk membenci,” ujar biksu muda Bhante Dhirrapunno, Kamis (12/10/2023).
Biksu yang juga aktif sebagai penulis ini mencontohkan bahwa manusia saja terlahir dari kedua orang tua yang saling mencintai. Dengan adanya cinta dan toleransi, maka terlahirlah para pemuda dan pemudi ke dunia ini. Jika saja ayah dan ibu saling membenci, maka tidak mungkin akan terlahir anak manusia.
“Toleransi adalah ketika kita bisa bersama membangun peradaban dalam perbedaan. Pada saat itu kita akan lebih mudah menyebarkan kebaikan pada orang lain. Baik generasi muda maupun pemuka agama, apapun latar belakangnya perlu menyebarkan konten yang berisi pesan perdamaian dalam perbedaan. Walaupun terlihat seperti bercanda ria, namun konten yang seperti ini memberikan dampak positif dalam harmonisasi Indonesia sebagai sebuah bangsa,” ungkap Bhante Dhirapunno.
Kedamaian dan keharmonisan bisa terwujud apabila umat manusia bisa menghargai semua kehidupan. Pentingnya menghargai semua kehidupan tanpa terkecuali. Bahkan manusia harus menunjukkannya dengan memiliki rasa toleransi yang tinggi dan bisa memenangkan hati para orang-orang yang belum toleran.
“Salahnya, terkadang kita justru membenci orang yang intoleran. Kebencian yang dibalas dengan kebencian akan melahirkan kebencian yang lebih besar lagi. Kita harus bisa menerima kehadiran mereka. Perlahan kita coba untuk menyadarkan teman-teman kita tanpa perlu menghujatnya atau memberikan perlakuan buruk lainnya,” katanya.
Menurut dia, orang-orang yang rentan melakukan tindak kebencian dan kekerasan adalah mereka yang pernah menjadi korban kekecewaan. Maka sudah seharusnya jangan melukai orang yang memiliki pandangan atau keyakinan yang berbeda.
Segala bentuk kekerasan sejatinya tidak berlandaskan pada nilai-nilai luhur dalam agama walaupun para pelakunya menjual jargon-jargon agama dalam tindak kekerasannya. “Kebaikan sejati tidak akan pernah bercampur dengan keburukan,” ucapnya.
Bhante bercerita semasa dirinya tinggal di Thailand. Orang Thailand itu bingung, kenapa Indonesia bisa sedamai itu. Padahal negaranya begitu besar, banyak pulau, banyak suku, banyak budaya berbeda-beda lagi.
“Waktu saya masih menetap di Thailand, saya belajar bahwa di masa lalu Thailand, Kamboja, dan Vietnam itu adalah satu kesatuan. Nyatanya, hari ini kita bisa sama-sama menyaksikan bahwa mereka sudah terpecah belah dan memiliki negaranya masing-masing. Bahkan di antara tiga negara yang terpecah tadi terdapat kebencian besar yang tersisa hingga saat ini,” ujarnya.
“Kita Indonesia jangan sampai seperti negara yang terpecah karena saling membenci. Sebagai contoh, Kota Medan adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki pluralisme yang sangat baik. Di sana terdapat Masjid Al Osmani yang jaraknya cukup berdekatan dengan Vihara Siu San Keng. Masyarakat di sana bisa pulang dan pergi ke rumah ibadahnya masing-masing tanpa harus takut akan kehadiran kelompok agama yang berbeda,” kata Bhante.
Dia menganalogikan kitab suci bagi para pemeluknya ibarat aplikasi Google Maps yang menunjukkan arah tujuan bagi para penggunanya. Seperti halnya menggunakan aplikasi yang memiliki fitur GPS (Global Positioning System) tersebut, walaupun seolah mengikutinya, seorang yang beragama sangat mungkin untuk tersasar jika tidak tepat dalam memahami kitab sucinya sendiri.
“Walaupun kitab suci kita sudah tetap, jelas, dan pas dalam memberikan tuntunan kehidupan, tapi kalau kita tidak memperhatikan dan menyadari kitab suci kita masing-masing malah bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Seperti Google Maps saja, disuruh belok kiri eh kita malah belok kanan, jadinya error deh,” ujarnya.
(jon)