Meluruskan Konsep Kekerasan di Sekolah
loading...
A
A
A
Dampak kekerasan seksual dapat bersifat permanen. Dampak meliputi merasa tidak aman, merasa takut, mendapatkan label negatif di lingkungannya, merasa terisolasi, merasa bersalah, merasa malu, tidak percaya diri, merasa harga diri negatif, dan marah.
Beberapa ahli beranggapan, kekerasan bermula dari ketidakmampuan bertoleransi atas perbedaan (apapun), sehingga muncul dua cara pandang. Pertama, korban merasa bahwa dirinya pantas menjadi korban karena berbeda. Kedua, pelaku menganggap bahwa ia bisa melakukan kekerasan karena dirinya berbeda. Tantangan terbesar, menanamkan nilai toleransi sedini mungkin pada anak. Penanaman nilai ini diyakini dapat berkontribusi pada mencegah anak menjadi pelaku atau korban kekerasan.
Regulasi terkait Kekerasan
Kementerian yang relevan sejak lama memiliki kepedulian terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah, dan menetapkan regulasi khusus. Sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sayangnya, peraturan tersebut masih belum banyak diketahui pihak sekolah, beberapa definisi cenderung multitafsir karena penggunaan istilah yang sulit dipahami sehingga muncul persepsi berbeda pada berbagai lapisan masyarakat.
Kementerian yang mengurusi pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi tampaknya segera menyadari kelemahan yang ada pada regulasi yang lama. Melalui Episode Merdeka Belajar ke 25 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbudristek ini ditetapkan pada tanggal 3 Agustus 2023. Terdapat beberapa perubahan yang sangat mendasar dibandingkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Pertama, yang menjadi fokus pencegahan dan penanganan tidak hanya peserta didik, tetapi juga pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, adanya definisi yang jelas dan bentuk-bentuk detail kekerasan yang mungkin terjadi. Ketiga, perlunya pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Di samping itu juga perlu perlu pembentukan satuan tugas oleh pemerintah daerah. Keempat, adanya mekanisme pencegahan yang terstrukutr dan peran masing-masing aktor terkait yang didefinisikan dengan jelas. Yang kelima, adanya pembagian danalur koordinasi dalam menangani kasus-kasus kekerasan lebih jelas antara satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek.
Perubahan yang terjadi dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 ini akan memberi kepastian status pelaku dan korban kekerasan. Korban kekerasan akan dijamin memeroleh perlakuan yang adil sehingga tidak bisa diperlakukan seenaknya oleh pelaku. Permendikbudristek ini memberikan pemahaman yang lebih mudah karena disertai contoh-contoh dan ilustrasi yang cukup detil tentang bentuk kekerasan. Hal ini dapat mengurangi dan menghindari munculnya perbedaan persepsi dari berbagai lapisan masyarakat.
Yang menjadi tantangan adalah apakah peraturan ini sudah teredukasi dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan? Proses edukasi yang dilakukan seyogianya melibatkan sinergitas antara berbagai pihak terkait yang ada dalam Masyarakat. Ini menjadi penting karena isu kekerasan apabila dibiarkan akan menyebabkan kekhawatiran dan rasa tidak aman dan nyaman dalam konteks persekolahan, termasuk para orang tua yang mungkin mengalami kecemasan terhadap nasib anak-anaknya di sekolah. Sinergi dan kolaborasi dengan berbagai komunitas, pada prinsipnya akan menjadi lebih efektif apalagi mereka yang memiliki komunikasi dan interaksi dengan “akar rumput”. Berbagai komunitas pastinya siap menjadi mitra pihak pemerintah.
Beberapa ahli beranggapan, kekerasan bermula dari ketidakmampuan bertoleransi atas perbedaan (apapun), sehingga muncul dua cara pandang. Pertama, korban merasa bahwa dirinya pantas menjadi korban karena berbeda. Kedua, pelaku menganggap bahwa ia bisa melakukan kekerasan karena dirinya berbeda. Tantangan terbesar, menanamkan nilai toleransi sedini mungkin pada anak. Penanaman nilai ini diyakini dapat berkontribusi pada mencegah anak menjadi pelaku atau korban kekerasan.
Regulasi terkait Kekerasan
Kementerian yang relevan sejak lama memiliki kepedulian terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah, dan menetapkan regulasi khusus. Sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sayangnya, peraturan tersebut masih belum banyak diketahui pihak sekolah, beberapa definisi cenderung multitafsir karena penggunaan istilah yang sulit dipahami sehingga muncul persepsi berbeda pada berbagai lapisan masyarakat.
Kementerian yang mengurusi pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi tampaknya segera menyadari kelemahan yang ada pada regulasi yang lama. Melalui Episode Merdeka Belajar ke 25 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbudristek ini ditetapkan pada tanggal 3 Agustus 2023. Terdapat beberapa perubahan yang sangat mendasar dibandingkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Pertama, yang menjadi fokus pencegahan dan penanganan tidak hanya peserta didik, tetapi juga pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, adanya definisi yang jelas dan bentuk-bentuk detail kekerasan yang mungkin terjadi. Ketiga, perlunya pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Di samping itu juga perlu perlu pembentukan satuan tugas oleh pemerintah daerah. Keempat, adanya mekanisme pencegahan yang terstrukutr dan peran masing-masing aktor terkait yang didefinisikan dengan jelas. Yang kelima, adanya pembagian danalur koordinasi dalam menangani kasus-kasus kekerasan lebih jelas antara satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek.
Perubahan yang terjadi dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 ini akan memberi kepastian status pelaku dan korban kekerasan. Korban kekerasan akan dijamin memeroleh perlakuan yang adil sehingga tidak bisa diperlakukan seenaknya oleh pelaku. Permendikbudristek ini memberikan pemahaman yang lebih mudah karena disertai contoh-contoh dan ilustrasi yang cukup detil tentang bentuk kekerasan. Hal ini dapat mengurangi dan menghindari munculnya perbedaan persepsi dari berbagai lapisan masyarakat.
Yang menjadi tantangan adalah apakah peraturan ini sudah teredukasi dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan? Proses edukasi yang dilakukan seyogianya melibatkan sinergitas antara berbagai pihak terkait yang ada dalam Masyarakat. Ini menjadi penting karena isu kekerasan apabila dibiarkan akan menyebabkan kekhawatiran dan rasa tidak aman dan nyaman dalam konteks persekolahan, termasuk para orang tua yang mungkin mengalami kecemasan terhadap nasib anak-anaknya di sekolah. Sinergi dan kolaborasi dengan berbagai komunitas, pada prinsipnya akan menjadi lebih efektif apalagi mereka yang memiliki komunikasi dan interaksi dengan “akar rumput”. Berbagai komunitas pastinya siap menjadi mitra pihak pemerintah.
(wur)