Meluruskan Konsep Kekerasan di Sekolah

Senin, 16 Oktober 2023 - 11:50 WIB
loading...
Meluruskan Konsep Kekerasan...
Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi
A A A
Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama Kemendikbudristek, Dosen Pascasarjana Universitas Pakuan

Kasus kekerasan yang cenderung brutal oleh peserta didik, mulai bermunculan kembali di beberapa tempat. Kasus-kasus tersebut mungkin hanya sebagian diberitakan, dari yang jauh lebih banyak luput dari pemberitaan.

Yang menarik, kasus-kasus yang terjadi umumnya diselesaikan melalui jalur hukum. Sementara di masa lalu, kasus-kasus biasanya diselesaikan secara damai dengan permintaan maaf pelaku, dan diterima pihak korban. Penyelesaian kasus melalui jalur hukum, tampaknya akan menimbulkan efek jera. Para (calon) pelaku akan berpikir dua tiga kali karena perbuatannya akan berdampak sanksi berat.

Apakah masyarakat benar sudah memahami konsep kekerasan? Apakah keputusan memilih jalur hukum untuk menyelesaikan kasus sebagai dampak adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang merupakan episode 25 Merdeka Belajar?

Konsep Kekerasan
Kata kekerasan diartikan sebuah tindakan akibat adanya paksaan. Paksaan dapat berasal dari satu (atau lebih pihak) terhadap pihak lain dalam suatu perbuatan dengan tujuan memiliki kuasa atas pihak yang dipaksa.

Tipologi kekerasan dikemukakan Krug, E. G., Mercy, J. A., Dahlberg, L. L, & Zwi, A. B. (2002) dalam laporan berjudul the world report on violence and health, yang diterbitkan dalam The Lancet, 360(9339), 1083-1088. Tipologi ini membagi penyebab kekerasan dan bentuk kekerasan.

Penyebab kekerasan bisa diri sendiri, antar individu, atau kelompok. Bentuk kekerasan berupa fisik, seksual, psikologis, dan pengabaian/penelantaran. Kekerasan dikelompokkan atas perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.

Perundungan atau bullying, yakni perilaku agresif yang dilakukan seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok lain. Dua ciri utama, pertama, pelaku menggunakan kekuatan/kekuasaan mereka untuk mengontrol, merendahkan, menyakiti, atau mengucilkan orang lain. Kedua, aksi terjadi lebih dari sekali atau cenderung diulangi lebih dari sekali oleh orang-orang yang sama.

Aksi perundungan ada 4 bentuk utama. Verbal, yaitu menghina atau mengejek siswa lain di sekolah dengan kata-kata negatif. Fisik, yaitu memukul dan menendang siswa lain di sekolah. Sosial atau relasional, yaitu menyebarkan aib atau rumor siswa lain di lingkungan sekolah. Daring (cyberbullying), yakni memberikan komentar atau pesan negatif di media sosial

Kekerasan seksual memiliki efek paling besar, namun paling sulit dibuktikan. Korban kekerasan seksual seringkali dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, atau enggan melaporkan karena dianggap melakukan tuduhan palsu. Banyak korban dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.

Dampak kekerasan seksual dapat bersifat permanen. Dampak meliputi merasa tidak aman, merasa takut, mendapatkan label negatif di lingkungannya, merasa terisolasi, merasa bersalah, merasa malu, tidak percaya diri, merasa harga diri negatif, dan marah.

Beberapa ahli beranggapan, kekerasan bermula dari ketidakmampuan bertoleransi atas perbedaan (apapun), sehingga muncul dua cara pandang. Pertama, korban merasa bahwa dirinya pantas menjadi korban karena berbeda. Kedua, pelaku menganggap bahwa ia bisa melakukan kekerasan karena dirinya berbeda. Tantangan terbesar, menanamkan nilai toleransi sedini mungkin pada anak. Penanaman nilai ini diyakini dapat berkontribusi pada mencegah anak menjadi pelaku atau korban kekerasan.

Regulasi terkait Kekerasan
Kementerian yang relevan sejak lama memiliki kepedulian terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah, dan menetapkan regulasi khusus. Sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sayangnya, peraturan tersebut masih belum banyak diketahui pihak sekolah, beberapa definisi cenderung multitafsir karena penggunaan istilah yang sulit dipahami sehingga muncul persepsi berbeda pada berbagai lapisan masyarakat.

Kementerian yang mengurusi pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi tampaknya segera menyadari kelemahan yang ada pada regulasi yang lama. Melalui Episode Merdeka Belajar ke 25 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbudristek ini ditetapkan pada tanggal 3 Agustus 2023. Terdapat beberapa perubahan yang sangat mendasar dibandingkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.

Pertama, yang menjadi fokus pencegahan dan penanganan tidak hanya peserta didik, tetapi juga pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, adanya definisi yang jelas dan bentuk-bentuk detail kekerasan yang mungkin terjadi. Ketiga, perlunya pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Di samping itu juga perlu perlu pembentukan satuan tugas oleh pemerintah daerah. Keempat, adanya mekanisme pencegahan yang terstrukutr dan peran masing-masing aktor terkait yang didefinisikan dengan jelas. Yang kelima, adanya pembagian danalur koordinasi dalam menangani kasus-kasus kekerasan lebih jelas antara satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek.

Perubahan yang terjadi dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 ini akan memberi kepastian status pelaku dan korban kekerasan. Korban kekerasan akan dijamin memeroleh perlakuan yang adil sehingga tidak bisa diperlakukan seenaknya oleh pelaku. Permendikbudristek ini memberikan pemahaman yang lebih mudah karena disertai contoh-contoh dan ilustrasi yang cukup detil tentang bentuk kekerasan. Hal ini dapat mengurangi dan menghindari munculnya perbedaan persepsi dari berbagai lapisan masyarakat.

Yang menjadi tantangan adalah apakah peraturan ini sudah teredukasi dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan? Proses edukasi yang dilakukan seyogianya melibatkan sinergitas antara berbagai pihak terkait yang ada dalam Masyarakat. Ini menjadi penting karena isu kekerasan apabila dibiarkan akan menyebabkan kekhawatiran dan rasa tidak aman dan nyaman dalam konteks persekolahan, termasuk para orang tua yang mungkin mengalami kecemasan terhadap nasib anak-anaknya di sekolah. Sinergi dan kolaborasi dengan berbagai komunitas, pada prinsipnya akan menjadi lebih efektif apalagi mereka yang memiliki komunikasi dan interaksi dengan “akar rumput”. Berbagai komunitas pastinya siap menjadi mitra pihak pemerintah.
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1496 seconds (0.1#10.140)