Jagat Rindu Lare dan Sora
loading...
A
A
A
Sekar Mayang
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
USMAN Arrumy melanjutkan proyek mengaduk-aduk emosi pembaca melalui buku kedua dari rangkaian trilogi Perempuan Laut. Kali ini bertajuk Lelaki Langit. Jika di buku pertama segalanya tentang pertemuan, buku kedua ini berkisah jarak.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Kata orang-orang, rindu baru terbentuk jika jarak diberi kesempatan untuk tampil. Tanpa jarak, tanpa jeda, rindu tidak bisa tumbuh. Dan, sebagai hantaman pertama, Usman tega mengisi bab awal buku ini dengan sebuah surat panjang seorang kekasih perihal kerinduannya kepada sang belahan jiwa.
Ya, sudah, mari tinggalkan rindu sejenak dan menengok apa yang terjadi pada Lare dan Sora setelah keduanya terpisah situasi.“Mengapa Tuhan memberiku cinta yang tidak sepaket dengan memilikinya? Mengapa Tuhan masih menancapkan cinta itu di hatiku kalau Tuhan pula yang tak memberiku jalan untuk memberikannya kepada orang yang aku cintai?” (halaman 145)
Usman mungkin sedang mengingatkan pembaca perihal ungkapan “kadang hidup memang terasa tak adil”. Baru bertemu, sudah harus terpisah, apalagi jika yang paham pertemuan itu hanya segelintir orang. Akan tetapi, konon, kalau sudah jodoh, terpisah jarak miliaran kilometer pun akhirnya akan bertemu lagi.
Hanya saja, bagi yang mengalami, pernyataan itu tidak mudah diamini begitu saja. Biasanya karena logika yang mendominasi. Menata berbagai kemungkinan yang rata-rata memang tidak mendukung kesempatan bertemu.
baca juga: Buku Bermutu Indonesia Ramaikan Frankurt Book Fair, Pameran Buku Terbesar Dunia
Di sini,Usman seperti hendak menabok pembaca, bahwa tidak ada yang luput dari benang-benang semesta.Kita lihat sisi Lare. Gadis itu berkata, “Seseorang yang sepasang matanya bertanggung jawab atas kebahagiaanku di muka bumi ini…” (halaman 39)
Pada banyak kesempatan, saya menemukan orang-orang berpendapat bahwa bahan bakar sebuah karangan adalah luka atau penderitaan. Nawal El Saadawi juga memiliki pendapat senada, bahwa ada korelasinya antara kemarahan dan kreativitas.
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
USMAN Arrumy melanjutkan proyek mengaduk-aduk emosi pembaca melalui buku kedua dari rangkaian trilogi Perempuan Laut. Kali ini bertajuk Lelaki Langit. Jika di buku pertama segalanya tentang pertemuan, buku kedua ini berkisah jarak.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Kata orang-orang, rindu baru terbentuk jika jarak diberi kesempatan untuk tampil. Tanpa jarak, tanpa jeda, rindu tidak bisa tumbuh. Dan, sebagai hantaman pertama, Usman tega mengisi bab awal buku ini dengan sebuah surat panjang seorang kekasih perihal kerinduannya kepada sang belahan jiwa.
Ya, sudah, mari tinggalkan rindu sejenak dan menengok apa yang terjadi pada Lare dan Sora setelah keduanya terpisah situasi.“Mengapa Tuhan memberiku cinta yang tidak sepaket dengan memilikinya? Mengapa Tuhan masih menancapkan cinta itu di hatiku kalau Tuhan pula yang tak memberiku jalan untuk memberikannya kepada orang yang aku cintai?” (halaman 145)
Usman mungkin sedang mengingatkan pembaca perihal ungkapan “kadang hidup memang terasa tak adil”. Baru bertemu, sudah harus terpisah, apalagi jika yang paham pertemuan itu hanya segelintir orang. Akan tetapi, konon, kalau sudah jodoh, terpisah jarak miliaran kilometer pun akhirnya akan bertemu lagi.
Hanya saja, bagi yang mengalami, pernyataan itu tidak mudah diamini begitu saja. Biasanya karena logika yang mendominasi. Menata berbagai kemungkinan yang rata-rata memang tidak mendukung kesempatan bertemu.
baca juga: Buku Bermutu Indonesia Ramaikan Frankurt Book Fair, Pameran Buku Terbesar Dunia
Di sini,Usman seperti hendak menabok pembaca, bahwa tidak ada yang luput dari benang-benang semesta.Kita lihat sisi Lare. Gadis itu berkata, “Seseorang yang sepasang matanya bertanggung jawab atas kebahagiaanku di muka bumi ini…” (halaman 39)
Pada banyak kesempatan, saya menemukan orang-orang berpendapat bahwa bahan bakar sebuah karangan adalah luka atau penderitaan. Nawal El Saadawi juga memiliki pendapat senada, bahwa ada korelasinya antara kemarahan dan kreativitas.