Jagat Rindu Lare dan Sora

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:13 WIB
loading...
Jagat Rindu Lare dan Sora
Foto: Istimewa
A A A
Sekar Mayang
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali

USMAN Arrumy melanjutkan proyek mengaduk-aduk emosi pembaca melalui buku kedua dari rangkaian trilogi Perempuan Laut. Kali ini bertajuk Lelaki Langit. Jika di buku pertama segalanya tentang pertemuan, buku kedua ini berkisah jarak.

baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”

Kata orang-orang, rindu baru terbentuk jika jarak diberi kesempatan untuk tampil. Tanpa jarak, tanpa jeda, rindu tidak bisa tumbuh. Dan, sebagai hantaman pertama, Usman tega mengisi bab awal buku ini dengan sebuah surat panjang seorang kekasih perihal kerinduannya kepada sang belahan jiwa.

Ya, sudah, mari tinggalkan rindu sejenak dan menengok apa yang terjadi pada Lare dan Sora setelah keduanya terpisah situasi.“Mengapa Tuhan memberiku cinta yang tidak sepaket dengan memilikinya? Mengapa Tuhan masih menancapkan cinta itu di hatiku kalau Tuhan pula yang tak memberiku jalan untuk memberikannya kepada orang yang aku cintai?” (halaman 145)

Usman mungkin sedang mengingatkan pembaca perihal ungkapan “kadang hidup memang terasa tak adil”. Baru bertemu, sudah harus terpisah, apalagi jika yang paham pertemuan itu hanya segelintir orang. Akan tetapi, konon, kalau sudah jodoh, terpisah jarak miliaran kilometer pun akhirnya akan bertemu lagi.

Hanya saja, bagi yang mengalami, pernyataan itu tidak mudah diamini begitu saja. Biasanya karena logika yang mendominasi. Menata berbagai kemungkinan yang rata-rata memang tidak mendukung kesempatan bertemu.

baca juga: Buku Bermutu Indonesia Ramaikan Frankurt Book Fair, Pameran Buku Terbesar Dunia

Di sini,Usman seperti hendak menabok pembaca, bahwa tidak ada yang luput dari benang-benang semesta.Kita lihat sisi Lare. Gadis itu berkata, “Seseorang yang sepasang matanya bertanggung jawab atas kebahagiaanku di muka bumi ini…” (halaman 39)

Pada banyak kesempatan, saya menemukan orang-orang berpendapat bahwa bahan bakar sebuah karangan adalah luka atau penderitaan. Nawal El Saadawi juga memiliki pendapat senada, bahwa ada korelasinya antara kemarahan dan kreativitas.

Hanya saja, momen patah hati itu sebenarnya tidak bisa dikarang-karang. Tidak seperti Kidung Sorandaka―Sora―yang merencanakan kepatahan bagi hatinya demi sebentuk puisi. Akan tetapi, Sora betulan melakukannya, sampai patah sungguhan saat harus kehilangan Lare Segara―kehilangan denyut kehidupan, kehilangan cintanya.

Sebenarnya Lare juga paham bahwa cinta tidak harus digenggam. Cinta itu membebaskan. Maka, melepaskan adalah cara untuk menjaga cinta agar tetap hidup. Hanya saja, menyebut kebahagiaannya ada di tangan orang lain sejatinya kurang tepat. Kebahagiaan, apa pun bentuknya, adalah tanggung jawab kita sendiri. Menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain adalah salah satu cara cepat menuju kematian―material dan non material.

baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy

“Kalau ada pertanyaan apakah cinta itu masih ada? Aku akan menjawabnya tegas. Ya, cinta itu masih tegak di sana, di puncak menara yang menjulang di hatiku. Aku masih mencintaimu, Sora, tetapi di saat yang sama, aku harus menyingkirkanmu dari kehidupanku. Aku harus menyelamatkan kehidupanku dengan pergi jauh ke tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya denganmu.” (halaman 33)

Lare menyadari kesalahannya, bahwa ia tidak boleh menyerahkan hidup begitu saja menuju kematian. Hidup harus dirayakan, meskipun luka tetap mendampingi. Sebab, hanya dengan merasakan luka, kita betulan hidup. Merasakan, mengenali, dan membiarkannya berlalu. Dan, ketika luka kembali muncul, kita sudah tahu harus bagaimana.

Begitulah yang Lare lakukan. Ia mengenali saat-saat kerinduan maha besar itu datang sepaket dengan rasa nyeri. Ia gegas menciptakan salurannya agar tak berlama-lama macet. Dengan begitu, pikiran positif akan kembali mendominasi.

Semesta bersenang hati mewujudkan impian indah jiwa-jiwa yang tenang. Yang perlu kita kerjakan hanyalah percaya. Maka, benang-benang gaib akan terulur dengan sendirinya, dengan cara yang bahkan tak pernah kita bayangkan. Di sini lain, Sora juga paham, berdiam diri tak selalu berhasil memecahkan situasi rumit. Manusia memang harus bergerak. Setidaknya, menjadikan diri berdaya untuk kehidupannya sendiri.

Ekspresi dan Eksperimen

Mungkin, kita pernah mendengar seorang cerpenis atau prosais berkata bahwa dirinya tidak mahir menulis puisi. Mungkin, kita juga pernah mendengar seorang penyair mengatakan dirinya tidak terampil mengolah kata-kata menjadi prosa.

baca juga: Bulan Merdeka untuk Merayakan Buku Pendidikan Pancasila

Maka, perlu sebuah apresiasi ketika seorang penyair memutuskan menulis novel, apalagi berformat trilogi. Sungguh, beberapa hal memang lebih nikmat dijabarkan dalam banyak adegan semata-mata agar esensinya menghasilkan respons yang berbeda-beda, respons yang terasa lebih lengkap.

Buku kedua ini cenderung lebih lambat alurnya dibanding yang pertama. Diceritakan bagaimana Lare kecil bisa berakhir di Caraca, bagaimana ia ditinggal begitu saja oleh orang tuanya, bagaimana ia akhirnya bertemu dengan ibu angkatnya, Lintang Bhanowati.

Diceritakan pula dari sisi Sora, bagaimana pemuda itu dianggap sebagai sosok yang sengaja menabrakkan diri kepada cinta sesaat agar dapat merasakan patah hati yang lalu jadi bahan bakar puisi-puisinya.

Penulis tampak berusaha membuat detail-detail di sana benar-benar meresap ke benak pembaca. Ia ingin menunjukkan bahwa di dunia ini, banyak keajaiban yang tak pernah terpikir sebelumnya. Tentang bagaimana dua jiwa yang terpisah jarak setengah lingkar bumi akhirnya bisa bertemu kembali.

baca juga: Upaya Mempermudah Akademisi dalam Menerbitkan Buku Pendidikan

Sebagai penyair, Usman Arrumy tentu tidak ingin melewatkan menulis puisi sebagai salah satu media penyampai cerita. Tetap saja, puisi punya keunikan tersendiri sebagai jalan yang mengantarkan sebuah pesan.

Semestanya memang berbeda, tetapi bukan berarti tidak bisa disatukan. Seperti Lare dan Sora, seperti lukisan dan puisi, segalanya akan tampak indah di mata individu yang mengagungkan cinta.

Sebenarnya tidak perlu banyak opini untuk buku ini. Saya yakin, tiap pembaca akan mendapat moral of story-nya masing-masing. Seperti tulisan di sampulnya, “Langit tak cukup luas untuk menerjemahkan rinduku,” mungkin sebuah buku belum cukup menjelaskan rasa. Akan tetapi, sebuah buku juga mampu menggambarkan luasnya jagat rindu Lare dan Sora. Sekian.

Judul buku : Lelaki Langit

Penulis : Usman Arrumy

Penerbit : DIVA Press

Cetak : Pertama, Juni 2023

Tebal : 240 halaman

ISBN : 978-623-189-211-9
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5117 seconds (0.1#10.140)