Seleksi Anggota LSF 2023 dan Komisi I DPR

Jum'at, 06 Oktober 2023 - 11:46 WIB
loading...
Seleksi Anggota LSF 2023 dan Komisi I DPR
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Saat ini, tepatnya mulai 21 September 2023 hingga 30 November 2023, sedang berlangsung seleksi atau penerimaan calon Anggota Lembaga Sensor Film dan Tenaga Sensor oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaam, Riset, dan Teknologi. Penting bagi Panitia Seleksi (Pansel) untuk mendapatkan calon-calon Anggota Sensor (TA) dan Tenaga Sensor (TS) yang responsif terhadap kemajuan zaman dan progresif dalam pemikiran. Hal ini diperlukan agar LSF tidak menjadi momok mengerikan bagi insan perfilman Indonesia.

Sebab sudah berpuluh tahun, bahkan sejak zaman Hindia Belanda, lembaga ini menjadi salah satu sarana ampuh bagi penguasa untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengingatkan atau memunculkan beberapa hal sekaligus agar bukan hanya Pansel LSF yang menaruh perhatian soal ini, tetapi juga anggota DPR dan masyarakat pada umumnya.

Pertama, tentang hasil seleksi Pansel yang akan dikirim ke DPR nantinya. Pansel dan terutama Ketua Pansel, harus memastikan bahwa nama-nama yang nantinya akan dikirim ke DPR untuk konsultasi adalah nama yang sama dengan nama yang diputuskan dalam rapat akhir Pansel. Jangan sampai ada “nama-nama baru” yang tidak ikut seleksi atau di luar pengetahuan Pansel ikut terkirim. Atau sebaliknya, ada nama-nama yang lolos seleksi oleh Pansel tetapi malah tidak terkirim ke DPR. Hal ini bisa menimbulkan keributan baru atau gugatan hukum di kemudian hari. Artinya, Pansel harus jujur dan transparan.

Sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Anggota Sensor (AS) berjumlah 17 orang yang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur Pemerintah. Lalu, sesuai dengan Pasal 15, Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2019 tentang Lembaga Sensor, Menteri mengajukan 2 (dua) kali jumlah calon anggota LSF kepada Presiden. Dan Ayat (2) mengatakan Presiden mengangkat 17 (tujuh belas) anggota LSF setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Saran saya, dari 34 calon Anggota Sensor (AS) yang namanya akan dikirim ke DPR, menampung keterwakilan agama-agama yang ada di Indonesia. Jangan sampai semua calon yang dikirim hanya mewakili satu agama saja. Ini penting agar dalam menilai film atau sinetron nantinya ada berbagai perspektif, terutama film yang isinya memuat ajaran yang berbeda dengan agama Anggota Sensor. Demikian juga nantinya Pansel dalam memilih Tenaga Sensor (TS).

Nah, berkaitan dengan konsultasi dengan DPR ini, ada soal kedua yang mau saya munculkan lagi. Menurut saya, Komisi yang tepat untuk dimintakan konsultasi adalah Komisi X yang membawahi atau mitra kerjanya, antara lain, kesenian, kebudayaan, pemuda, dan pendidikan. Hal itu sesuai dengan semangat penggantian Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman menjadi Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Esensi penggantian (pencabutan) undang-undang lama dengan undang-undang baru adalah menentukan paradigma baru, yakni menggeser film yang sebelumnya kental unsur politiknya, ke arah rumpun kebudayaan. Selain itu, film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi itu memang merupakan fenomena kebudayaan. Maka, mitra kerja yang tepat di DPR adalah Komisi X.

Tetapi, kenyataannya, sejak Orde Baru hingga kini, banyak sekali, termasuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan konsultasi soal anggota LSF ini, justru dilakukan oleh Komisi I. Dugaan saya, “kesalahan” ini terjadi ketika dilakukan pembagian Mitra Kerja di internal DPR. Atau, jangan-jangan DPR tidak mengetahui esensi perubahan undang-undang lama ke yang baru tersebut. Bahkan saat ini kementerian yang membawahi perfilman pun sudsh berbeda dengan era sebelumnya.

Sebelumnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, yang dikeluarkan zaman Orde Baru itu, menempatkan film berada di bawah Departemen Penerangan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 disahkan pada 30 Maret 1992 oleh Presiden Soehato; dan PP No. 7 Tahun 1994 ditetapkan pada 3 Maret 1994 juga oleh Presiden Soehato. Maka, masuk akal jika LSF menjadi mitra kerja Komisi Komunikasi yang antara lain membidangi masalah informasi, keamanan, dan luar negeri.

Tapi, setelah reformasi, UU lama itu diganti dengan UU No. 33 Tahun 2009 (disahkan pada 8 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), yang menempatkan perfilman -- termasuk LSF-- berada dalam lingkup kebudayaan. Adapun menteri yang dimaksud dalam UU baru tersebut adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan. UU Perfilman baru ini ingin menggeser posisi film dari rumpun politik menuju rumpun kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karena itu ia seharusnya menjadi mitra Komisi X, yang antara lain membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan olahraga.

Dalam peraturan pemerintah lama, anggota LSF diangkat Presiden atas usul Menteri. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 (ditetapkan pada 11 Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi, dikonsultasikan ke DPR, dan diangkat oleh presiden. Unsur pemerintah yang dalam peraturan pemerintah lama cukup dominan, kini diubah menjadi lebih banyak unsur masyarakat. Lalu, dalam melaksanakan tugasnya, LSF tidak bisa lagi seenaknya memenggal adegan tanpa dialog dengan pemilik film.

Apalagi, setidaknya sejak tiga tahun terakhir ini, gerakan Sensor Mandiri yang dimotori oleh Anggota LSF saat ini, mendapat sambutan baik dan merupakan gerakan yang bagus. Gerakan ini menyasar dua pihak sekaligus, yakni kepada pembuat film agar menyesuaikan dengan aturan yang ada; dan kepada masyarakat agar menonton sesuai dengan golongan atau kriteria usianya.

Kemungkinan lain dari “kekeliruan” mitra kerja ini adalah kekacauan DPR memahami perbedaan antara Dewan Pers; Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan LSF. Pengaturan Dewan Pers terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; KPI diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; sedangkan LSF ada di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

LSF dan KPI memupunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Singkatnya, LSF itu meneruskan kebijakan kolonial Belanda; KPI lahir dari sejarah politik yang relatif baru. Pada zaman Orde Baru, lembaga penyiaran di bawah kontrol penuh penguasa dan digunakan secara maksimal untuk kepentingan penguasa. Pada era reformasi, penyiaran didasarkan prinsip keberagaman isi dan kepemilikan yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali ranah penyiaran. Penyiaran, antara lain, radio dan televisi, menggunakan frekuensi milik publik.

Lalu, karena spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas, frekuensi tersebut harus digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, lembaga penyiaran diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat dalam arti seluas-luasnya. Untuk menjaga tujuan itulah dibentuk KPI.

Jadi, kata kunci tentang KPI adalah “penggunaan frekuensi milik publik yang terbatas”. Sementara bioskop adalah usaha swasta murni yang tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Orang menonton film di bioskop tidak gratis seperti menonton televisi publik. Bahwa ada film yang kemudian ditayangkan oleh televisi lalu diawasi oleh KPI, hal itu boleh-boleh saja.

Apa sebenarnya yang mengkhawatirkan jika LSF – dan perfilman – menjadi mitra tetap Komisi Komunikasi? Persoalannya tentu bukan sekadar masalah legalitasnya, tetapi juga menunjukkan paradigma yang tidak berubah sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi sekarang ini. Bisa jadi kemudian muncul bayangan menakutkan tentang segala hal yang bisa terjadi di kemudian hari. Pertama, misalnya, posisi film sebagai produk seni budaya akan tereduksi menjadi “sekadar” produk komunikasi massa. Kedua, secara politis situasi itu akan dirasa mundur ke era Orde Lama atau Orde Baru, ketika pemerintah memegang kontrol utama dalam hal seni dan informasi. Ketiga, khusus mengenai keanggotaan LSF, dikhawatirkan DPR akan terlalu jauh terlibat dalam seleksi keanggotaannya.

Film memang tidak semata-mata produk hiburan. Ia bisa memberi informasi atau bermuatan ideologi tertentu. Namun, film sebagai karya seni tetaplah harus dipandang sebagai produk seni budaya. Para seniman yang berkreasi itu dilindungi oleh undang-undang dasar, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga Undang-Undang Hak Cipta.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya, sensor tidak dilihat dengan pendekatan keamanan. Di sana dikenal apa yang disebut Rating System yang dibuat oleh Motion Picture Association of America (MPAA). Tujuannya adalah membantu orang tua dan calon penonton untuk menentukan film apa yang cocok bagi putra-putrinya atau mereka sendiri. Kategoriasi (G, PG, PG-13, R, dan NC-17) itu dibuat oleh asosiasi produser, dan pelaksanaan serta pengawasannya dilakukan oleh lembaga independen yang bernama The Classification & Ratings Administration (CARA). Jadi bukan oleh Negara.

Jadi bagaimana LSF harus berperan di masa akan datang, terutama di tengah serbuan layanan Over The Top (OTT) yang makin beragam seperti sekarang ini? Itulah tantangannya!

.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2048 seconds (0.1#10.140)