Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi

Senin, 18 September 2023 - 13:12 WIB
loading...
Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni.

Disadari atau tidak oleh penulisnya, novel Langit Terbuka karya Rayni N. Massardi memancing ingatan kita pada beberapa pemikiran filsofis yang pernah dilakukan oleh para filosof besar di dunia. Misalnya, dalam novel yang ditulis di Bali dan Bintaro pada 2014 ini, kita seperti diingatkan pada Arthur Shopenhauer, Friedrich Wilhelm Nietzche, dan Thomas Hobbes.

Novel ini berkisah tentang perjuangan hati seorang perempuan bernama Sila. Dia terhempas oleh beragam masalah, sarat dengan acaknya cinta, hati, dan pikiran. Dia ingin bangkit kembali dari titik nol pada sisa waktu dan umurnya. Dalam kesendiriannya di tempat baru, Sila mengharapkan keajaiban dalam perjalanan hidupnya untuk dapat bertemu dengan seseorang yang berbeda. Dia ingin berjumpa lagi dengan hati yang baik, dan rindu akan ketulusan. Tapi ternyata itu tidak mudah.

Sila yang langsing, tidak terlalu tua, tidak muda, tidak remaja, berkulit gelap, duduk sendiri di tepi pantai. Sudah enam bulan dia tinggal sendirian dalam sepi di sebuah kota kecil. Dia memutuskan begitu karena baginya semua manusia tidak ada lagi yang bisa menerima keinginan, rasa, kehendak, dan filosofi hidupnya. Tidak ada satu pun orang yang mengerti. Atau sebaliknya. Dia merasa sudah tidak punya kemampuan untuk memahami atau bertoleransi dengan orang lain. Maka dia memutuskan untuk mejauh dari permasalahan yang akan menyakiti dirinya, sekaligus membuat orang lain jadi benci, berburuk sangka melulu, dan marah pada dirinya Melelahkan memang! Tapi ini harus dihadapi! Diputuskan! Dan, dia berani memilih tempat yang tidak umum.

Di kota kecil itu Sila juga melihat beberapa pasangan lanjut usia yang membuka berbagai usaha. Kata Sila, mereka yakin bahwa kota kecil ini memang layak untuk mereka. Mereka sudah letih berada di lingkungan manusia yang sibuk berpolitik morat-marit, penuh kebohongan. Banyak orang yang sibuk ribut mencaci agama dan kepercayaan orang lain, seakan agama mereka yang paling betul. Berbangga dengan agamanya, seakan orang lain yang berbeda adalah ‘setan’.

Sila termasuk wanita yang agak sulit didekati oleh pria. Meskipun akhirnya dia sempat bertemu dengan Bima dan berpacaran. Awalnya banyak keraguan pada diri Sila. Apakah dia harus membuang waktu dan energinya untuk orang lain? Apakah dia harus menyita waktu untuk berpacaran? Tapi mereka akhirnya saling menyintai dan berjanji untuk selalu bersama. Bahkan mereka berniat untuk menikah.

Namun, suatu hari, terjadi kecelakaan. Mobil Bima ditrabrak sebuah truk di jalanan yang sepi. Nyawanya tak tertolong. Pendarahan di kepala meluas ke mana-mana. Dukacita melanda kedua keluarga.

Sebelum Bima meninggal, Sila merasakan sikap Bima mulai berubah. Bima selalu sibuk dan kerap menolak ajakan untuk makan bersama Sila dengan teman-temannya. Buat Bima itu buang-buang waktu, sementara pekerjaannya di kantor semakin banyak. Sila merasa sudah tidak bisa lagi membuat Bima peduli kepadanya. Intinya, sebelum Bima meningggal, hubungan mereka tidak semulus seperti di awal ketika mereka berpacaran.

Singkatnya, Sila akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan, kebiasaan, dan rutinitasnya. Sila meninggalkan kota besar. Semua itu adalah pemberontakan tanpa piala, hanya penyesuaian hati, waktu, dan tarikan napas. Nyaris semua diulang kembali dari zero, di suatu tempat yang baru dan sepi. Semua itu dilakukannya karena dia merasa telah dikhianati.
Sila sebenarnya tidak putus asa. Hanya amarah dan rasa sedih tak terkira, yang menjadi sebuah titik jenuh. Disertai sedikit rasa ketidakberdayaaan yang menghampirnya. Itu juga yang membuatnya mengambil keputusan untuk kabur dari kerumunan manusia yang sudah tidak ingin dipahaminya lagi.

Di tempat baru, setelah selesai dengan pekerjaaannya yang diurus dari jauh, dia lebih sering duduk di pantai. Di sana dia berdiam diri sambil mendengarkan musik dan memandang laut. Berdialog dengan angin, bercumbu dengan pasir, tersenyum-senyum pada matahari. Semua sangat menyenangkan untuknya. Dia tidak suka ada orang lain di sekitarnya. Manusia lain terlalu berisik, menyita waktu, membuatnya harus bicara mencari tema untuk ngobrol, harus basa-basi, mendengarkan kisah orang lain yang bukan urusannya, manggut-manggut, mendengarkan kesuksesan teman ngobrolnya, menyimak kisah sedih dan berita gembira dari teman. Semua itu membuatnya merasa tidak bebas. Hidupnya sekarang adalah hidupnya saja. Menyimak laut yang airnya bergelombang semaunya serta berbuih-buih, dan menyusuri tepian pantai, adalah hal yang indah. Pelbagai imajinasi, mulai dari kepedihan, sampai ketakutan dan kebahagiaan, semua ada di sana.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1700 seconds (0.1#10.140)