Demensia Penegakan Hukum Dalam Kekinian

Jum'at, 06 Oktober 2023 - 08:00 WIB
loading...
Demensia Penegakan Hukum...
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

DEMENSIA adalah istilah dalam ilmu kedokteran yang menggambarkan suatu kondisi menurunnya cara berpikir dan daya ingat seseorang yang biasanya terjadi pada lansia (usia 65 tahun ke atas). Tidak berbeda dengan hukum, karena hukum juga berkenaan dengan manusia termasuk pelaksana penegak hukumnya.

Demensia ini bisa terjadi dalam penegakan hukum tidak hanya karena faktor fisiologis akan tetapi juga bisa disebabkan faktor lingkungan sosial, ekonomi, dan politik terhadap penegak hukumnya. Demensia yang teramati dalam praktik terkait dengan definisi hukum yang telah terlupakan; adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas uang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaidah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat (menurut alm Mochtar Kusumaatmadja).

Selain itu, sesungguhnya menurut Alm Roeslan Saleh, hukum pidana itu merupakan pergulatan kemanusiaan, dan ditegaskan lagi oleh Alm. Satjipto Rahardjo Ahli Hukum Undip yang mengemukakan bahwa hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Pandangan dan pernyataan ketiga ahli hukum dan guru besar ternama dari Indonesia tersebut mengandung makna yang mendalam karena Mochtar lebih mengedepankan fungsi dan peranan hukum itu sebagai pengatur dan menjaga agar proses pembangunan nasional berjalan secara tertib dan teratur; Roeslan Saleh, menegaskan bahwa karakter hukum pidana bukan hanya menyidik, menuntut, dan menghukum melainkan sejatinya berkelindan dengan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab; sedangkan Satjipto Rahardjo menggugah dan menyentuh perasaan hukum kita terutama aparatur hukum bahwa, ahli hukum dan praktisi hukum harus sungguh-sungguh mengingat betul bahwa, hukum tidak hanya dilembagakan dan dijalankan layak seperti robot melainkan ia harus dapat menempatkan manusia sebagai layak dan sepatutnya sebagai manusia yang masih memiliki hak-hak asasinya. Intinya, hukum harus dapat memperlakukan manusia sekalipun dalam status tersangka atau terdakwa tetap dalam fitrahnya sebagai mahluk Tuhan YME.

Sentuhan-sentuhan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam sila kedua Pancasila ini dalam praktik tidak tampak mewujud sama sekali sekalipun di dalam KUHAP masih dibolehkan dipertimbangkan terutama oleh hakim hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Namun, hal itu pun hanya terjadi di dalam sidang pengadilan ketika penuntut dan hakim memasuki tahap pembuktian dan penuntutan belaka.

Sentuhan nilai perikemanusiaan yang adil dan berada itu merupakan peringatan kepada generasi hukum masa kini dan masa yang akan datang, bahwa, hukum itu bukan sekedar robot keadilan, kepastian dan kemanfaatan saja dengan berdasarkan pada sistem norma, dan sistem perilaku saja melainkan ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang hidup dan diakui masyarakat berdasarkan marwah Pancasila sebagai pedoman dan sekaligus sumber hukum tertinggi di dalam sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bahwa di balik hukum tertulis dalam setiap peraturan perundang-undangan terdapat nilai moralitas/kesusilaan karena hukum akan digunakan untuk memanusiakan manusia pelaku kejahatan bukan sekadar menjatuhkan hukuman dengan harapan terjadi pertobatan pada pelaku kejahatan di satu sisi dan memberikan efek preventif bagi anggota masyarakat di sisi lain.

Pandangan-pandangan para ahli hukum -guru besar tersebut seakan mudah mengucapkannya akan tetapi sulit mewujudkannya dan salah satu penyebabnya adalah bahwa hukum selalu berkelindan dengan lingkungan sosial di mana hukum hidup terutama dengan kekuasaan (politik) sejak ia diproses dan dibentuk serta dilahirkan sampai ia dijalankan dalam praktik peradilan.

Namun demikian, sejak lama bangsa ini mengharapkan hadirnya lahir “Ratu Adil”. Melihat sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku sejak tahun 1946 sampai saat ini tampak jelas dan meneduhkan perasaan masyarakat luas bahwa, hakimlah ratu adil yang ditunggu-tunggu.

Di dalam sistem kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945 dinyatakan secara eksplisit bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 (1). Kekuasaan kehakiman yang diwujudkan oleh hakim di mana kewajiban hakim bersifat mutlak tanpa kecuali yang menyatakan bahwa, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 (1) .
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1153 seconds (0.1#10.140)