Meredam Manuver OPM di Pasifik Selatan

Senin, 02 Oktober 2023 - 07:09 WIB
loading...
Meredam Manuver OPM di Pasifik Selatan
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
ISU Papua Merdeka di level internasional masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Walaupun ada kecenderungan perhatian terhadap isu tersebut meredup, bukan berarti sudah tidak ada lagi gerakan untuk terus mengeksploitasinya ke permukaan. Karena itulah, pemerintah tetap harus mengantipasi dan mencari solusi.

baca juga: Wapres Ma'ruf Amin: Tidak Ada Pilihan Papua Merdeka

Dinamika teranyar yang mencuat adalah saat Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury memutuskan walk out dari sidang KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu, beberapa waktu lalu. Delegasi Indonesia mengambil langkah itu saat pemimpin separatis Gerakan PembebasanPapua Barat (ULMWP), Benny Wenda, hendak menyampaikan pidato.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tegas menolak keanggotaan ULMWP dalam MSG karena forum negara-negara Melanesia itu hanya diperuntukkan bagi negara berdaulat. Pemerintah pun menuding forum MSG mencoba menjustifikasi tindak kekerasan yang dilakukan kelompok terafiliasi ULMWP -seperti penyanderaan, pembakaran sekolah, hingga pembunuhan terhadap orang asli Papua.

Sebagai informasi, keberadaan MSG digagas pemimpin tiga negara Melanesia di Pasifik Selatan -yaitu Papua Nugini, Vanuatu, dan Pulau Salomon, serta perwakilan Front de Liberational the Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) New Caledonia- dalam pertemuan informal pada 17 Juli 1986. Walaupun resmi berdiri pada 1988, MSG baru menjadi organisasi sub-regional pada 23 Maret 2007melalui Perjanjian Pembentukan MSG.

Dikutip dariportal Kemlu RI, keterlibatan Indonesia dalam forum tersebut dimulai sejak 2011 dengan posisi sebagai observer dan empat tahun kemudian diakui sebagai associated member. Pengakuan ini diberikan karena Indonesia memiliki lima provinsi yang beralatar suku bangsa Melanesian.

Pendirian MSG diarahkan untuk mempererat hubungan dagang, pertukaran budaya, tradisi dan nilai, persamaan kedaulatan, dan kerja sama teknik di antara negara-negara dengan penduduk orang Melanesia. Kerja sama ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, good governance, dan keamanan bersama.

baca juga: KKB: Separatis atau Teroris?

Walaupun sempat diwarnai dinamika yang mengusik Indonesia, pertemuan MSG berakhir dengan sejumlah keputusan positif, antara lain ULMWP dinyatakan tak memenuhi kriteria sebagai anggota, adanya mandat kepada sekretariat MSG membangun kolaborasi lebih erat dengan Indonesia, dan keanggotaan MSG harus dibatasi hanya untuk negara merdeka dengan pengaturan khusus bagi FLNKS.

Namun di sisi lain ada sejumlah rekomendasi pertemuan MSG yang bermata ganda, bahkan bisa merugikan Indonesia. Keputusan dimaksud yakni MSG mengamanatkan sekretariat mengembangkan konsep platform keterlibatan konstrukstif seperti dialog tahunan MSG atau dialog parlemen Indonesia untuk membicarakan perkembangan di provinsi-provinsi Papua, dan adanya permintaan ketua MSG menulis surat ke ketua Pacific Islands Forum (PIF) untuk memastikan bahwa kunjungan PBB ke Indonesia dilakukan.

Masih pada 2023, Indonesia juga menghadapi persoalan dengan Fiji. Gara-garanya, PM Menteri Sitiveni Rabuka bertemu dengan Benny Wenda dan memberikan dukungannya. Merespons tindakan tersebut, Indonesia telah mengirimkan nota diplomatik untuk menyampaikan kekecewaannya.

Sebenarnya, bukan kali ini saja negara-negara Pasifik Selatan bermanuver menginternasionalisasi isu Papua atau bahkan secara terbuka mendukung gerakan separatis Papua atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) -kemudian dikategorikan pemerintah Indonesia sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Malahan, Vanuatu dan Pulau Solomon beberapa kali menyerang Indonesia dengan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Papua di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Beberapa negara Pasifik Selatan lain juga terang-terangan mendukung gerakan Papua Merdeka. Mereka antara lain Tuvalu. Negeri ini pernah menuntut Dewan HAM PBB menyelidiki tuduhan pelanggaran HAM di Papua Barat. Dengan menuduh Indonesia sebagai negara kolonial, Tuvalu juga mengajak Australia dan Selandia Baru agar mendukung gerakan tersebut. Tak ketinggalan Nauru yang berusaha memasukkan konflik Papua ke dalam topik pembahasan forum internasional.

Selain dari pemerintahan negara, dukungan terhadap OPM juga datang dari sejumlah organisasi atau LSM. Dukungan ini di antara terjadi di Australia. Beberapa kelompok aktivis di negara Kanguru tersebut kerap kali mengibarkan bendera Bintang Kejora untuk mendiskreditkan Indonesia. Pemandangan sama juga terlihat di Selandia Baru. Bahkan di negeri Kiwi itu sebelas anggota parlemen dan politisi pernah turun aksi mendukung OPM.

baca juga: Pilot Susi Air Disandera TPNPB-OPM, Dijadikan Jaminan Negosiasi Politik

Bila merunut dinamika internasionalisasi isu Papua, maka negara-negara di Pasifik Selatan paling rawan. Bisa jadi gerakan dilakukan sebagai bagian sentimen sesama ras Melanesia. Atau bisa pula mereka hanya sebagai pion untuk memainkan peran proxy negara-negara besar untuk agenda ekonomi politik mereka.

Identifikasi ini, pada 2019 lalu pernah secara terbuka disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono dan Menko Polhukam Wiranto. Mereka menengarai keterlibatan asing sudah mendalam karena mereka berada di balik kerusuhan yang pernah di Papua dan PapuaBarat, dan munculnya isu referendum di Bumi Cendrawasih tersebut. Besarnya sumber daya alam di wilayah tersebut tentu menjadi alasan rasional untuk menjelaskan motif keterlibatan negara besar dalam isu Papua.

Bila melihat fakta demikian, mau tidak mau Indonesia harus memberi perhatian ekstra kepada negara-negara Pasifik Selatan sebagai bentuk mitigasi agar mereka tidak terus-menerus bermanuver menginternasionalisasi isu Papua. Pertanyaannya, langkah seperti apa yang urgen atau strategis dilakukan agar tujuan merangkul mereka sebagai negara sahabat Indonesia bisa tercapai, hingga isu Papua benar-benar bisa dihentikan? Sejauh ini, langkah seperti apa yang telah dilakukan pemerintah untuk tujuan tersebut?

Kedepankan Kreativitas Diplomasi

Merespons tantangan dari sejumlah negara Pasifik Selatan yang mengusik kedaulatan NKRI di wilayah Papua, pemerintah mutlak mengambil langkah apapun agar manuver mereka tidak berdampak serius. Dalam konteks ini, mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara merupakan salah satu tujuan utama pelaksanaan politik luar negeri.

Meski demikian, pelaksanakan hubungan internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia dibatasi fondasi yang terkandung dalam preambule UUD 1945 - yakni mencapai ketertiban dunia yang berlandaskan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan prinsip bebas aktif yang dianut seperti tercantum dalam UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pemerintah dituntut mengedepankan pendekatan damai, dalam hal ini melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, berpegang teguh pada prinsip dan pendirian, serta rasional dan fleksibel dalam pendekatan.

Karena itulah, dalam menghadapi manuver negara-negara di kawasan Pasifik Selatan, Indonesia tidak bisa serta-merta membalasnya dengan kekerasan, dalam hal ini perang, namun dengan mengedepankan langkah diplomasi. Fokus perhatian kemudian mengarah pada pilihan praktik diplomasi yang memungkinkan negara-negara berseberangan sikap dengan Indonesia mengubah persepsinya terhadap persoalan Papua dan menjadi sahabat Indonesia.

Hubungan diplomatik Indonesia, terutama kerja pertahanan dan keamanan, dengan negara-negara di Pasifik Selatan memang masih butuh perhatian serius. Seperti tercatat dalam Buku Putih Pertahanan 2015, hubungan yang sudah terbangun kokoh baru dengan Australia dan Papua New Guinea (PNG).

baca juga: Tindak Tegas OPM, Pemerintah Disarankan Terjunkan Densus 88 dan TNI Antiteror

Dengan negeri Down Under, misalnya,Indonesia sudah menjalin hubungan sejak perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kerja sama semakin kokoh dengan penandatanganan Lombok Treaty pada 2006. Perjanjian ditindaklanjuti kementerian pertahanan kedua belah pihak dengan membuat kerangka kerja sama keamanan dan rencana aksi di bidang pertahanan yang ditandatangani pada tahun 2012. Ruang lingkup kerja sama meliputi bidang pertahanan, penegakan hukum, pemberantasan terorisme, intelijen, maritim, hingga people to people contact.

Hubungan kedua negara selanjutnya secara intensif dipupuk dan diperkuat lewat komunikasi intens dan konsultasi pertahanan dalam bentuk forum dialog seperti Indonesia-Australia Defence Strategic Dialogue (IADSD), Australia-Indonesia High Level Committee (Ausindo HLC), dan Two Plus Two antara menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara.

Dengan PNG, Indonesia juga telah lama memiliki hubungan historis dan kekerabatan, khususnya dengan masyarakat di Papua. Keduanya pun telah melakukan kerja sama bidang pertahanan sejak 2010, yang di antaranya mengatur dialog dan konsultasi bilateral secara berkala untuk membahas isu-isu strategis dan keamanan.

Indonesia-PNG juga melakukan pertukaran personel untuk tujuan seperti pendidikan, pelatihan, dan pertukaran intelijen. Selain itu kedua negara juga membangun hubungan logistik, kerja sama interoperabilitas antar-militer, dan bidang lain yang menjadi kepentingan bersama. Secara langsung kerjasama yang terbangun menghadirkan sikap saling menghormati kedaulatan negara masing-masing.

Prioritas Politik Luar Negeri

Kerja sama Indonesia dengan Australia dan PNG yang relatif sukses meredam gerakan OPM bisa menjadi blue print kerja sama dengan negara-negara Pasifik Selatan lainnya. Selain bilateral, Indonesia tentu harus memanfaatkan berbagai forum regional dan multilateral. Dengan semakin banyaknya saluran diplomatik yang dimainkan, maka peluang untuk meredam internasionalisasi isu Papua oleh negara-negara Pasifik Selatan semakin besar.

baca juga: KPK Akan Telusuri Dugaan Aliran Dana Lukas Enembe, Termasuk ke OPM

Pendekatan diplomasi kepada negara-negara Pasifik Selatan melalui penguatan kerja sama sudah teruji membawa hasil positif. Contohnya dengan Vanuatu. Negeri yang tak pernah absen menyerang Indonesia di depan Sidang Majelis Umum PBB sejak 2006, belakangan justru mendekat ke Indonesia dan berencana membuka kantor Kedutaan Besar Vanuatu di Jakarta, serta mengagendakan adanya konsultasi tahunan.

Rencana ini disampaikan langsung Wakil PM Vanuatu, Jotham Napat Nauka, ketika menemui Wapres Ma’ruf Amin dan Menlu Retno Marsudi di Jakarta pada Juni 2023 lalu. Selain itu, kedua negara juga bersepakat terus memperkuat kerja sama di forum-forum regional, termasuk melalui Forum Pembangunan Indonesia-Pasifik (IPFD)dan ASEAN-Pasific Island Forum (PIF).

Tanpa banyak diketahui publik, selama lima tahun belakangan Indonesia ternyata telah banyak membantu Vanuatu meningkatkan kapasitas bidang perikanan, kewirausahaan, dan aksi iklim. Indonesia juga telah menunjukkan solidaritas dengan memberikan bantuan kemanusiaan pasca-musibah Siklon Judy dan Kevin pada Maret lalu.

Walaupun belum seratus persen meredam sikap Fiji, Indonesia beberapa tahun belakangan membangun kerja sama dan membantu negeri tersebut. Misalnya pada 2016 lalu Indonesia menggelontarkan dana USD5 juta pasca- bencana Topan Winston melanda. Bantuan di antaranya dimanfaatkan membangun kembali Queen Victoria School (QVS).

Upaya Indonesia mendekati negara-negara di Pasifik Selatan belakangan kian intensif dilakukan. Pada September 2022, Menlu Retno Marsudi mengunjungi Fiji dan Solomon untuk memperkuat kerja sama bilateral. Hal ini sebagai manifestasi politik luar negeri Indonesia yang telah memprioritaskan penguatan kerja sama dengan negara-negara Pasifik Selatan.

Hasil yang diperoleh, dengan Fiji pemerintah Indonesia akan membantu pembangunan Regional Agriculture Training Center untuk memperkuat ketahanan pangan negeri tersebut. Kedua negara juga sepakat membentuk Indonesia-Fiji Preferential Trade Agreement dan meratifikasi Defence Cooperation Agreement untuk mendorong kerja sama sektor strategis, seperti peacekeeping operations.

Adapun dengan Solomon, Indonesia membantu pembangunan lapangan futsal multiguna sebagai persiapan menyambut penyelenggaraan Pacific Games dan mendirikan rumah sakit untuk negara tersebut. Kedua negara juga setuju meningkatkan kerjasama dengan prinsip saling menguntungkan dan saling menghormati prinsip-prinsip kedaulatan.

Selanjutnya Indonesia-Solomon berencana mengkongkretkan kemitraan dalam bentuk kerja sama pembangunan seperti pada bidang perubahan iklim dan perikanan, dan beberapa kesepakatan lain, termasuk perdagangan. Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-78 di New York, Solomon menyampaikan ucapan terima kasih ke pemerintah Indonesia atas kerja sama yang dilakukan selama ini.

baca juga: Mahfud MD: TNI-Polri Selalu Berhati-hati tetapi OPM Selalu Menyerang

Penguatan hubungan diplomasi dengan negara-negara Pasifik Selatan ini dipertegas dengan visi Indonesia yang digaungkan lewat ASEAN untuk menjadikan Indo-Pasifik sebagai kawasan damai, stabil dan makmur, sebagaimana tercermin dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. Indonesia juga telah meluncurkan kebijakan Visi Pacific Elevation pada 2019 dengan arah memperkuat kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan negara-negara Pasifik.

Pada tahun yang sama Kementerian Luar Negeri juga telah menggelar Indonesia-South Pacific Forum (ISPF) resmi yang dihadiri lima belas negara, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, forum ini menjadi platform dialog untuk memperkuat kerja sama konkret perdagangan, mengurangi hambatan perdagangan dan investasi, mengingkatkan kapasitas dan kerja sama teknis, dan lainnya.

Perlu Konsistensi dan Kesinambungan

Walaupun belum sepenuhnya ‘mengamankan’ negara-negara Pasifik Selatan dari gerakan ULMWP atau OPM, beberapa pendekatan diplomatik telah mampu merangkul beberapa negara Pasifik Selatan mendekat ke Indonesia, seperti ditunjukkan Vanuatu dan Solomon. Pendekatan pragmatis dalam bentuk pemberian bantuan kemanusiaan ternyata diterima karena realitasnya negara-negara di kawasan Pasifik Selatan masih membutuhkan uluran tangan.

Pilihan kebijakan diplomasi melalui membangun kerjasama dengan negara-negara Pasifik Selatan, baik melalui hubungan bilateral maupun regional lewat kerangka ASEAN, sudah tepat dan perlu diteruskan. Pun langkah mendorong berlanjutnya ISPF, ASEAN-PIF, menjadi tuan rumah Archipegic and Island States Ministerial Forum AIS, menggelar Indonesia-Pasific Forum for Development (IPFD) pada akhir 2022 patut diapresiasi dan diteruskan di tahun-tahun mendatang.

Tak kalah pentingnya adalah upaya mendekati negara-negara Pasifik Selatan melalui forum multilateral G-20. Di bawah Presidensi Indonesia, untuk kali pertama kelompok negara yang memiliki produksi domestik bruto (PDB) di dunia tersebut mengundang wakil Pasific Islands Forum. Langkah tersebut tidak sia-sia karena G-20 mendedikasikan 10 proyek kerja sama untuk mereka, dan dua di antaranya diinisiasi Indonesia.

Bentuk diplomasi kreatif melalui berbagai kerja sama juga perlu dikembangkan. Beberapa pilihan kerja sama yang bisa digarap antara lain pemberian beasiswa kepada pelajar asal Pasifik Selatan, terutama anggota MSG, agar bisa belajar di perguruan tinggi di Indonesia. Juga program pertukaran budaya, sehingga masyarakat di negara tersebut mengenal keragaman budaya Indonsia, termasuk Papua yang masih terpelihara.

Bila ditelusuri, kerja sama yang dibangun Indonesia dengan negara-negara Pasifik Selatan ternyata tidak hanya berhenti pada meredanya isu Papua, tapi secara luas akan menciptakan kesejahteraan bersama dan membangun stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. Tentu, upaya tersebut membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, dalam hal ini mengintensifkan diplomasi di berbagai level forum dan kerja sama kreatif melalui melalui berbagai bentuk program.(*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1062 seconds (0.1#10.140)