Penguatan Antibodi Perbankan terhadap Serangan Covid-19
loading...
A
A
A
Dengan PSBB, mayoritas kegiatan kantor dan bisnis akan tutup, pergerakan masyarakat sangat dibatasi. Proses pemberian kredit mulai terhambat. Risk acceptance criteria perbankan akan semakin ketat. Bank akan membatasi diri dalam ekspansi kredit. Hal ini akan menekan pendapatan bank yang mayoritas bank di Indonesia didominasi pendapatan bunga kredit dibandingkan pendapatan transaksional (fee based income).
Likuiditas bank sesuai Basel III diukur dengan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%. LCR untuk menilai kemampuan bank memenuhi kebutuhan jangka pendek 30 (tiga puluh hari) ke depan. Salah satu komponen cash in adalah cicilan debitur lancar.Kebijakan penundaan angsuran berpotensi menekan ratio LCR di bawah ketentuan minimal. NSFR adalah likuiditas stabil yang dimiliki bank untuk meng-cover aset stabil jangka panjang (tahunan). Salah satu komponennya adalah modal, menurunnya laba bank berpotensi menekan permodalan bank dan menurunkan ratio NSFR.
Penguatan Antibodi Perbankan
Ibarat menyerang daya tahan tubuh manusia, Covid-19 juga akan menyerang daya tahan tubuh perbankan yaitu likuiditas, permodalan, kualitas kredit, dan profitabilitas, sehingga perlu obat untuk penguatan antibodi perbankan, agar krisis perbankan 1998 tidak terulang.
Resep obat telah diterbitkan pemerintah melalui Perppu No 1 Tahun 2020 yang diikuti oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 38/PMK.02/2020 dan PMK 33/PMK.010/2020. Menteri Keuangan mengatur pelaksanaan kebijakan keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk menghadapi ancaman yang membahayakan stabilitas keuangan dan perekonomian nasional, serta tata cara pemberian pinjaman kepada LPS.
Melalui Perppu Nomor 1, pemerintah memberikan wewenang BI dalam memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik, bahkan memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek yang dijamin oleh pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Beberapa antibodi yang disiapkan oleh pemerintah adalah melalui pemberian kewenangan kepada LPS bersama OJK untuk penanganan permasalahan likuiditas bank berupa penjualan/repo surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia (BI), penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal.
Kita berharap, dengan adanya OJK, LPS, BI, KSSK dengan payung hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2020, serangan Covid-19 tidak akan merontokkan perbankan seperti tahun 1998, meskipun ada yang melontarkan kritik bahwa kebijakan ini mengembalikan kebijakan bail-out yang telah dihapus. Namun berbeda dengan 1998, OJK sudah memiliki penyangga berupa recovery plan bank sistemik yang merupakan kebijakan bail-in mencakup permodalan, likuiditas, kualitas aset, dan profitabilitas.
Likuiditas bank sesuai Basel III diukur dengan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%. LCR untuk menilai kemampuan bank memenuhi kebutuhan jangka pendek 30 (tiga puluh hari) ke depan. Salah satu komponen cash in adalah cicilan debitur lancar.Kebijakan penundaan angsuran berpotensi menekan ratio LCR di bawah ketentuan minimal. NSFR adalah likuiditas stabil yang dimiliki bank untuk meng-cover aset stabil jangka panjang (tahunan). Salah satu komponennya adalah modal, menurunnya laba bank berpotensi menekan permodalan bank dan menurunkan ratio NSFR.
Penguatan Antibodi Perbankan
Ibarat menyerang daya tahan tubuh manusia, Covid-19 juga akan menyerang daya tahan tubuh perbankan yaitu likuiditas, permodalan, kualitas kredit, dan profitabilitas, sehingga perlu obat untuk penguatan antibodi perbankan, agar krisis perbankan 1998 tidak terulang.
Resep obat telah diterbitkan pemerintah melalui Perppu No 1 Tahun 2020 yang diikuti oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 38/PMK.02/2020 dan PMK 33/PMK.010/2020. Menteri Keuangan mengatur pelaksanaan kebijakan keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk menghadapi ancaman yang membahayakan stabilitas keuangan dan perekonomian nasional, serta tata cara pemberian pinjaman kepada LPS.
Melalui Perppu Nomor 1, pemerintah memberikan wewenang BI dalam memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik, bahkan memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek yang dijamin oleh pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Beberapa antibodi yang disiapkan oleh pemerintah adalah melalui pemberian kewenangan kepada LPS bersama OJK untuk penanganan permasalahan likuiditas bank berupa penjualan/repo surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia (BI), penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal.
Kita berharap, dengan adanya OJK, LPS, BI, KSSK dengan payung hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2020, serangan Covid-19 tidak akan merontokkan perbankan seperti tahun 1998, meskipun ada yang melontarkan kritik bahwa kebijakan ini mengembalikan kebijakan bail-out yang telah dihapus. Namun berbeda dengan 1998, OJK sudah memiliki penyangga berupa recovery plan bank sistemik yang merupakan kebijakan bail-in mencakup permodalan, likuiditas, kualitas aset, dan profitabilitas.
(cip)