Rempangku Malang, Melayuku Sayang

Jum'at, 22 September 2023 - 17:10 WIB
loading...
A A A
Kutipan diatas disalin dari pokok-pokok pikiran awal Harimurti Kridalaksana, tokoh linguis dengan bukunya “Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai”, 1991 yang juga mengetengahkan pemikiran cerlang kritikus sastra dan budaya A Teeuw pada masanya.

Kridalaksana juga menelaah bahwa bahasa Indonesia dianggap “jabang-bayinya muncul” sebagai sebuah ekspresi politik pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Penerimaan itu menyebabkan orang Indonesia menyaksikan dirinya dalam cermin sebagai “satu tumpah darah--tanah air, bangsa dan bahasa” yang mengikat-satu dan lainnya dan menjadi imajinasi komunitas terbayang—imagined communities ala sarjana Barat, Ben Anderson tentang paradigma nasionalisme.

Serta pada 18 Agustus 1945, bahasa kita itu secara resmi diakui dengan UUD 1945 pasal 36 menyebutkan: Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Dengan demikian, sejarah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, dalam perspektif linguistis, sosiologis, dan yuridis saling terkait secara intim yang tentunya mengalami pembedaan, persamaan maupun perubahan dan kesinambungan.

Raja Ali Haji dan Warisan Melayu
Warisan Raja Ali Haji, seturut para cendikia terentang dari kajian tentang kitab-kitab yang membincangkan spiritualitas Islam, syair nasihat tata-kelola kerajaan termasuk kitab-kitab tentang adab dan etika, serta penciptaan puisi klasik legendaris dengan sebutan Gurindam Duabelas.

Bidang-bidang tata-bahasa Melayu karyanya terdiri dari tata ejaan, pembagian kelas kata, analisis kalimat, leksikografi, kaidah ejaan perbandingan Melayu, Jawi dan Arab. Yang dari sudut internal linguistik, bahasa Indonesia merupakan salahsatu varian historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa Melayu.

Salah satu kitab yang menjadi fenomenal dan dikenal publik adalah bagaimana Raja Ali Haji dengan kitab Samrah al-Muhimmah di tahun 1275 H atau 1858 membawa pesan-pesan tentang keadilan dan keadaban bagi masyarakat.

Sebuah kitab yang mengemukakan etika kepemimpinan, yang dengan elok menguraikan tentang aturan kerajaan, pembagian tugas pembesar istana sebagai pembantu raja, dan pesan moral pada raja.

Dengan narasi yang padat serta mudah dimengerti, ia juga menyampirkan syair yang sarat kiasan dengan metafora-metafora, yang ditujukan pada para pembesar istana di Kesultanan Riau-Lingga. Yang para pejabatnya, misalnya mereka menginginkan berkembangnya aset-aset kerajaan untuk mendapatkan hasil-untung secepatnya, maka layak merenungkan penggalan syair ini:

siasat ini bisa dicoba
kepada segala rakyat dan hamba
jangan segera tamak dan loba
mengeluarkan hasil bagai ditimba

kitab al-fikih Hadis dan tafsir
hendaklah taat serta berfikir
jauhkan tamak loba dan kikir
keraskan makruf jauhkan mungkir
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2478 seconds (0.1#10.140)