Kesinambungan Fiskal: Fondasi Pembangunan Berkelanjutan

Senin, 18 September 2023 - 12:22 WIB
loading...
A A A
Oleh karenanya, surplus bukan mutlak sebuah prestasi yang patut dibanggakan secara berlebih, karena dapat pula menggambarkan realisasi belanja pemerintah yang kurang optimal. Artinya, surplus APBN dapat menjadi alarm yang harus diwaspadai. Hal ini karena belanja pemerintah masih belum optimal di tengah kondisi perlambatan penerimaan perpajakan akibat turunnya kinerja ekspor impor.

Selama ini, kualitas pelaksanaan belanja pemerintah masih kurang efektif yang ditandai dengan lambannya realisasi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) di awal tahun anggaran dan terjadinya penumpukan belanja di akhir tahun anggaran. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa penyerapan belanja di tiap kementerian/lembaga yang masih banyak di bawah rata-rata nasional atau 41,7%.

Hingga semester I-2023, ada 11 kementerian/lembaga yang tingkat penyerapan anggarannya di bawah 30% dan 42 K/L yang tingkat penyerapannya 30% - 41,7%. Sementara hanya ada 31 K/L yang tingkat penyerapannya sudah di atas 41,7%.

Selain itu, selama ini belanja kementerian lembaga (K/L) juga belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Berdasarkan hasil studi Kementerian PPN/Bappenas, seharusnya setiap peningkatan anggaran belanja K/L sebesar 1% akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%.

Akan tetapi, berdasarkan sebuah studi kasus yang dianalisis dalam kajian PPN/Bappenas menunjukkan bahwa pada 2018 hingga 2019, di mana sempat terjadi peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 2,8%, ironisnya realisasi dampak pada pertumbuhan ekonomi justru negatif 0,20%, meleset dari target. Padahal, secara potensi pada 2018 sampai 2019 tersebut, dengan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat, dampak pada pertumbuhan ekonom nasional seharusnya 0,17%, namun faktanya justru negatif 0,20%.

Tak hanya itu, kondisi masih belum optimalnya belanja pemerintah juga terjadi pada tingkat pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa hampir sepertiga belanja APBN diperuntukkan transfer ke daerah (TKD) yang bertujuan memperkuat kualitas fiskal daerah dalam mengakselerasi dan memeratakan pembangunan, serta berkontribusi kepada pencapaian target pembangunan nasional.

Pada APBN 2023, alokasi TKD mencapai Rp814,72 triliun dari total belanja negara yang sebesar Rp3.061 triliun. Sayangnya, pertumbuhan TKD acapkali tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang optimal. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per 12 Mei 2023, realisasi belanja APBD hingga 30 April 2023 tercatat sebesar Rp215,80 triliun atau baru mencapai 16% dari target.

Padahal seharusnya anggaran belanja pada periode tersebut paling tidak telah terserap sebesar 25% - 27%. Realisasi yang masih terbilang rendah tersebut menunjukkan masih banyaknya anggaran yang belum dibelanjakan oleh pemda. Padahal anggaran tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian di seluruh Indonesia.

Belanja pemerintah mutlak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Belanja pemerintah merupakan salah satu booster untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, terutama saat ini ketika Indonesia masih berada dalam bayang-bayang pelemahan ekonomi dunia.

Oleh sebab itu, pada pengelolaannya, APBN sepatutnya tak disimpan dan mengendap menjadi surplus, namun perlu segera dibelanjakan, baik di pusat maupun daerah. Apabila kas negara disimpan menjadi surplus hingga berbulan-bulan, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil dari seharusnya, dan membuat perekonomian tumbuh lebih lambat dari perkiraan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0923 seconds (0.1#10.140)