Kesinambungan Fiskal: Fondasi Pembangunan Berkelanjutan
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
KESINAMBUNGAN fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel serta dapat memberikan kewajiban berupa layanan publik yang baik kepada masyarakat dengan mengelola kebijakan belanja dan pendapatan, serta perhitungan pembiayaan yang prudent.
Secara teknis, asumsi makro-ekonomi yang prudent (hati-hati), memperhatikan sensitivitas dan analisis risiko serta aturan fiskal yang tepat akan membantu mengarahkan kebijakan pengeluaran dan pendapatan yang berkelanjutan dalam jangka pendek dan jangka menengah.
Menjaga kesinambungan fiskal adalah suatu prinsip penting dalam pengelolaan keuangan suatu negara. Salah satu komponen utama dalam menjaga kesinambungan fiskal adalah memastikan bahwa penerimaan mencapai target yang telah ditetapkan, pun pengeluaran serta pembiayaan juga sesuai dengan rencana.
Menjaga kesinambungan fiskal adalah prinsip yang sangat penting dalam menghindari ketidakstabilan ekonomi dan keuangan. Kebijakan fiskal yang tidak berkesinambungan akan memberikan dampak buruk bagi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, distribusi, pengentasan kemiskinan, hingga stabilitas ekonomi.
Berkaca dari krisis ekonomi di belahan benua Eropa beberapa tahun yang lalu yang dipicu oleh krisis fiskal utamanya disebabkan oleh pengelolaan kebijakan fiskal yang kurang memenuhi aspek kehati-hatian. Hal tersebut terefleksi dari besarnya defisit anggaran dan tingginya rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Dalam konteks krisis ekonomi Eropa tersebut memberi pelajaran berharga mengenai betapa pentingnya menjaga pengelolaan fiskal yang sehat, prudent dan berkesinambungan (sustainable).
Evaluasi Anggaran Belanja Pemerintah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tengah berada dalam situasi yang tak mudah dan penuh kewaspadaan. Harga komoditas yang melemah dan kinerja ekspor-impor yang menurun mengakibatkan penerimaan perpajakan dalam realisasi APBN periode Januari-Juli 2023 pun melambat.
Meski data mencatat bahwa penerimaan pajak tetap tumbuh positif karena kinerja kegiatan ekonomi yang baik pada semester I-2023, namun pertumbuhan penerimaan pajak periode Januari-Juli 2023 tidak setinggi periode sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan penerimaan pajak secara kumulatif juga terus melemah. Pada Januari 2023, pertumbuhan tercatat 48,6% dan terus menurun hingga menjadi 7,8% pada Juli 2023.
Kinerja APBN selama semester I-2023 mencatat surplus Rp 152,3 triliun. Surplus anggaran tersebut tak lantas menjadi kabar baik lantaran memiliki dua sisi pandangan. Pada satu sisi, surplus menunjukkan pendapatan masih terjaga, namun di sisi lain mencerminkan bahwa uang negara belum dibelanjakan secara optimal hingga pertengahan tahun.
Oleh karenanya, surplus bukan mutlak sebuah prestasi yang patut dibanggakan secara berlebih, karena dapat pula menggambarkan realisasi belanja pemerintah yang kurang optimal. Artinya, surplus APBN dapat menjadi alarm yang harus diwaspadai. Hal ini karena belanja pemerintah masih belum optimal di tengah kondisi perlambatan penerimaan perpajakan akibat turunnya kinerja ekspor impor.
Selama ini, kualitas pelaksanaan belanja pemerintah masih kurang efektif yang ditandai dengan lambannya realisasi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) di awal tahun anggaran dan terjadinya penumpukan belanja di akhir tahun anggaran. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa penyerapan belanja di tiap kementerian/lembaga yang masih banyak di bawah rata-rata nasional atau 41,7%.
Hingga semester I-2023, ada 11 kementerian/lembaga yang tingkat penyerapan anggarannya di bawah 30% dan 42 K/L yang tingkat penyerapannya 30% - 41,7%. Sementara hanya ada 31 K/L yang tingkat penyerapannya sudah di atas 41,7%.
Selain itu, selama ini belanja kementerian lembaga (K/L) juga belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Berdasarkan hasil studi Kementerian PPN/Bappenas, seharusnya setiap peningkatan anggaran belanja K/L sebesar 1% akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%.
Akan tetapi, berdasarkan sebuah studi kasus yang dianalisis dalam kajian PPN/Bappenas menunjukkan bahwa pada 2018 hingga 2019, di mana sempat terjadi peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 2,8%, ironisnya realisasi dampak pada pertumbuhan ekonomi justru negatif 0,20%, meleset dari target. Padahal, secara potensi pada 2018 sampai 2019 tersebut, dengan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat, dampak pada pertumbuhan ekonom nasional seharusnya 0,17%, namun faktanya justru negatif 0,20%.
Tak hanya itu, kondisi masih belum optimalnya belanja pemerintah juga terjadi pada tingkat pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa hampir sepertiga belanja APBN diperuntukkan transfer ke daerah (TKD) yang bertujuan memperkuat kualitas fiskal daerah dalam mengakselerasi dan memeratakan pembangunan, serta berkontribusi kepada pencapaian target pembangunan nasional.
Pada APBN 2023, alokasi TKD mencapai Rp814,72 triliun dari total belanja negara yang sebesar Rp3.061 triliun. Sayangnya, pertumbuhan TKD acapkali tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang optimal. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per 12 Mei 2023, realisasi belanja APBD hingga 30 April 2023 tercatat sebesar Rp215,80 triliun atau baru mencapai 16% dari target.
Padahal seharusnya anggaran belanja pada periode tersebut paling tidak telah terserap sebesar 25% - 27%. Realisasi yang masih terbilang rendah tersebut menunjukkan masih banyaknya anggaran yang belum dibelanjakan oleh pemda. Padahal anggaran tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian di seluruh Indonesia.
Belanja pemerintah mutlak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Belanja pemerintah merupakan salah satu booster untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, terutama saat ini ketika Indonesia masih berada dalam bayang-bayang pelemahan ekonomi dunia.
Oleh sebab itu, pada pengelolaannya, APBN sepatutnya tak disimpan dan mengendap menjadi surplus, namun perlu segera dibelanjakan, baik di pusat maupun daerah. Apabila kas negara disimpan menjadi surplus hingga berbulan-bulan, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil dari seharusnya, dan membuat perekonomian tumbuh lebih lambat dari perkiraan.
Menjaga Kesinambungan Fiskal
Saat ini, APBN Tahun Anggaran 2023 diharapkan mampu menjadi instrumen efektif dalam menjaga perekonomian, meski jelas akan terus diuji oleh gejolak ekonomi global yang tak mudah dan belum mereda. Artinya, tantangan yang dihadapi saat ini harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan prudent dan hati-hati.
Dalam perspektif jangka menengah-panjang, pemerintah perlu terus mendorong peran kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan produktivitas dan akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah perlu mendorong belanja pemerintah (pusat maupun daerah) yang efektif sehingga dapat memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Hal ini karena apabila roda ekonomi masyarakat berputar dengan baik, maka penerimaan negara melalui pajak pun dapat meningkat.
Langkah tersebut vital dalam mewujudkan kesinambungan fiskal dan meningkatkan potensi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi. Terlebih saat ini, dengan lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diharapkan dapat berperan signifikan dalam mendorong penerimaan perpajakan yang merupakan tulang punggung APBN.
Kesinambungan fiskal adalah landasan yang diperlukan untuk menciptakan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Menjaga kesinambungan fiskal adalah komitmen jangka panjang untuk mengelola keuangan negara dengan bijak, mempertahankan keseimbangan, dan menghindari kebijakan yang dapat membahayakan masa depan ekonomi.
Kesinambungan fiskal adalah fondasi bagi ekonomi yang kuat dan stabil. Oleh sebab itu, dengan menjaga kesinambungan fiskal, maka sebuah negara dapat mengarahkan ekonominya menuju pertumbuhan yang berkelanjutan, menciptakan peluang ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
KESINAMBUNGAN fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel serta dapat memberikan kewajiban berupa layanan publik yang baik kepada masyarakat dengan mengelola kebijakan belanja dan pendapatan, serta perhitungan pembiayaan yang prudent.
Secara teknis, asumsi makro-ekonomi yang prudent (hati-hati), memperhatikan sensitivitas dan analisis risiko serta aturan fiskal yang tepat akan membantu mengarahkan kebijakan pengeluaran dan pendapatan yang berkelanjutan dalam jangka pendek dan jangka menengah.
Menjaga kesinambungan fiskal adalah suatu prinsip penting dalam pengelolaan keuangan suatu negara. Salah satu komponen utama dalam menjaga kesinambungan fiskal adalah memastikan bahwa penerimaan mencapai target yang telah ditetapkan, pun pengeluaran serta pembiayaan juga sesuai dengan rencana.
Menjaga kesinambungan fiskal adalah prinsip yang sangat penting dalam menghindari ketidakstabilan ekonomi dan keuangan. Kebijakan fiskal yang tidak berkesinambungan akan memberikan dampak buruk bagi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, distribusi, pengentasan kemiskinan, hingga stabilitas ekonomi.
Berkaca dari krisis ekonomi di belahan benua Eropa beberapa tahun yang lalu yang dipicu oleh krisis fiskal utamanya disebabkan oleh pengelolaan kebijakan fiskal yang kurang memenuhi aspek kehati-hatian. Hal tersebut terefleksi dari besarnya defisit anggaran dan tingginya rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Dalam konteks krisis ekonomi Eropa tersebut memberi pelajaran berharga mengenai betapa pentingnya menjaga pengelolaan fiskal yang sehat, prudent dan berkesinambungan (sustainable).
Evaluasi Anggaran Belanja Pemerintah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tengah berada dalam situasi yang tak mudah dan penuh kewaspadaan. Harga komoditas yang melemah dan kinerja ekspor-impor yang menurun mengakibatkan penerimaan perpajakan dalam realisasi APBN periode Januari-Juli 2023 pun melambat.
Meski data mencatat bahwa penerimaan pajak tetap tumbuh positif karena kinerja kegiatan ekonomi yang baik pada semester I-2023, namun pertumbuhan penerimaan pajak periode Januari-Juli 2023 tidak setinggi periode sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan penerimaan pajak secara kumulatif juga terus melemah. Pada Januari 2023, pertumbuhan tercatat 48,6% dan terus menurun hingga menjadi 7,8% pada Juli 2023.
Kinerja APBN selama semester I-2023 mencatat surplus Rp 152,3 triliun. Surplus anggaran tersebut tak lantas menjadi kabar baik lantaran memiliki dua sisi pandangan. Pada satu sisi, surplus menunjukkan pendapatan masih terjaga, namun di sisi lain mencerminkan bahwa uang negara belum dibelanjakan secara optimal hingga pertengahan tahun.
Oleh karenanya, surplus bukan mutlak sebuah prestasi yang patut dibanggakan secara berlebih, karena dapat pula menggambarkan realisasi belanja pemerintah yang kurang optimal. Artinya, surplus APBN dapat menjadi alarm yang harus diwaspadai. Hal ini karena belanja pemerintah masih belum optimal di tengah kondisi perlambatan penerimaan perpajakan akibat turunnya kinerja ekspor impor.
Selama ini, kualitas pelaksanaan belanja pemerintah masih kurang efektif yang ditandai dengan lambannya realisasi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) di awal tahun anggaran dan terjadinya penumpukan belanja di akhir tahun anggaran. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa penyerapan belanja di tiap kementerian/lembaga yang masih banyak di bawah rata-rata nasional atau 41,7%.
Hingga semester I-2023, ada 11 kementerian/lembaga yang tingkat penyerapan anggarannya di bawah 30% dan 42 K/L yang tingkat penyerapannya 30% - 41,7%. Sementara hanya ada 31 K/L yang tingkat penyerapannya sudah di atas 41,7%.
Selain itu, selama ini belanja kementerian lembaga (K/L) juga belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Berdasarkan hasil studi Kementerian PPN/Bappenas, seharusnya setiap peningkatan anggaran belanja K/L sebesar 1% akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%.
Akan tetapi, berdasarkan sebuah studi kasus yang dianalisis dalam kajian PPN/Bappenas menunjukkan bahwa pada 2018 hingga 2019, di mana sempat terjadi peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 2,8%, ironisnya realisasi dampak pada pertumbuhan ekonomi justru negatif 0,20%, meleset dari target. Padahal, secara potensi pada 2018 sampai 2019 tersebut, dengan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat, dampak pada pertumbuhan ekonom nasional seharusnya 0,17%, namun faktanya justru negatif 0,20%.
Tak hanya itu, kondisi masih belum optimalnya belanja pemerintah juga terjadi pada tingkat pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa hampir sepertiga belanja APBN diperuntukkan transfer ke daerah (TKD) yang bertujuan memperkuat kualitas fiskal daerah dalam mengakselerasi dan memeratakan pembangunan, serta berkontribusi kepada pencapaian target pembangunan nasional.
Pada APBN 2023, alokasi TKD mencapai Rp814,72 triliun dari total belanja negara yang sebesar Rp3.061 triliun. Sayangnya, pertumbuhan TKD acapkali tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang optimal. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per 12 Mei 2023, realisasi belanja APBD hingga 30 April 2023 tercatat sebesar Rp215,80 triliun atau baru mencapai 16% dari target.
Padahal seharusnya anggaran belanja pada periode tersebut paling tidak telah terserap sebesar 25% - 27%. Realisasi yang masih terbilang rendah tersebut menunjukkan masih banyaknya anggaran yang belum dibelanjakan oleh pemda. Padahal anggaran tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian di seluruh Indonesia.
Belanja pemerintah mutlak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Belanja pemerintah merupakan salah satu booster untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, terutama saat ini ketika Indonesia masih berada dalam bayang-bayang pelemahan ekonomi dunia.
Oleh sebab itu, pada pengelolaannya, APBN sepatutnya tak disimpan dan mengendap menjadi surplus, namun perlu segera dibelanjakan, baik di pusat maupun daerah. Apabila kas negara disimpan menjadi surplus hingga berbulan-bulan, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil dari seharusnya, dan membuat perekonomian tumbuh lebih lambat dari perkiraan.
Menjaga Kesinambungan Fiskal
Saat ini, APBN Tahun Anggaran 2023 diharapkan mampu menjadi instrumen efektif dalam menjaga perekonomian, meski jelas akan terus diuji oleh gejolak ekonomi global yang tak mudah dan belum mereda. Artinya, tantangan yang dihadapi saat ini harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan prudent dan hati-hati.
Dalam perspektif jangka menengah-panjang, pemerintah perlu terus mendorong peran kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan produktivitas dan akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah perlu mendorong belanja pemerintah (pusat maupun daerah) yang efektif sehingga dapat memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Hal ini karena apabila roda ekonomi masyarakat berputar dengan baik, maka penerimaan negara melalui pajak pun dapat meningkat.
Langkah tersebut vital dalam mewujudkan kesinambungan fiskal dan meningkatkan potensi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi. Terlebih saat ini, dengan lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diharapkan dapat berperan signifikan dalam mendorong penerimaan perpajakan yang merupakan tulang punggung APBN.
Kesinambungan fiskal adalah landasan yang diperlukan untuk menciptakan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Menjaga kesinambungan fiskal adalah komitmen jangka panjang untuk mengelola keuangan negara dengan bijak, mempertahankan keseimbangan, dan menghindari kebijakan yang dapat membahayakan masa depan ekonomi.
Kesinambungan fiskal adalah fondasi bagi ekonomi yang kuat dan stabil. Oleh sebab itu, dengan menjaga kesinambungan fiskal, maka sebuah negara dapat mengarahkan ekonominya menuju pertumbuhan yang berkelanjutan, menciptakan peluang ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga.
(poe)