Menghadirkan Gagasan Keadilan Kesehatan dalam Perdebatan Pilpres 2024
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015 )
KETIKA Barack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), terdapat suatu yang cukup mengagetkan, sekaligus menjadi daya tariknya. Sebab, semua orang mengenal AS sebagai salah satu negara kapitalis. Ketika itu tahun 2010 Obama meluncurkan program jaminan sosial kesehatan yang terkenal dengan Obamacare.
Kebijakan ini untuk membantu mengurangi biaya kesehatan bagi keluarga dan memastikan lebih banyak orang dapat mengakses asuransi kesehatan. Ketika itu, di AS terdapat sekitar 47 juta orang tidak memiliki/dilindungi jaminan kesehatan (asuransi kesehatan).
Gagasan politik kesejahteran Obama tersebut, setidaknya menyimpan dua pesan yang amat berharga bagi setiap negara, yang ingin melindungi rakyatnya. Pertama, kesehatan masyarakat menjadi isu terdepan dalam agenda pemilu dan relasi antara politisi dan pemilih. Kedua, sejauh mana kompetisi pemilu juga melibatkan kompetisi gagasan dan konsep untuk pemecahan masalah dan dijustifikasi secara eksplisit, bukan sekedar retorika umum atas sebuah isu pemilu, pilpres, atau pilkada semata.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia? Apakah politik kesehatan dan kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas utama pada setiap event pemilihan pejabat negara?
Sebagian kalangan berpendapat Indonesia belumlah mencapai tingkatan kesadaran semacam itu. Penyebabnya karena realitas dan kinerja kesehatan kita kini masih memiliki dua wajah.
Dua Wajah Pelayanan Kesehatan
Wajah pertama, seiring pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun dan sebelum krisis dan 10 tahun pascakrisis 1998. Di mana lapisan kelas menengah yang mampu membayar jasa pelayanan kesehatan makin besar. Demikian pula konsumen untuk pelayanan kesehatan dan pasar kesehatan juga makin besar.
Tidak heran bila makin banyak warga Indonesia yang dengan enteng melenggang ke luar negeri untuk berobat, memperoleh jasa pelayanan yang dianggapnya lebih baik dan berkelas dunia. Fakta lain, makin tumbuhnya rumah sakit swasta yang berlabel kelas internasional didirikan di kota-kota besar untuk sekedar memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok masyarakat tertentu.
Wajah kedua adalah kelompok masyarakat warga negara kebanyakan yang gagal memperoleh pelayanan kesehatan yang layak akibat tidak tersebar meratanya fasiltas pelayanan kesehatan di wilayah NKRI. Sekalipun mereka telah melunasi iuran JKN di BPJS Kesehatan, belum ada jaminan bahwa seluruh rakyat Indonesia pasti memperoleh layanan kesehatan. Atau kalau pun mereka memperoleh layanan, mungkin mutunya belum memadai.
Pendapat senada pernah disitir oleh Prof Djalaludin Rahmat (almarhum) ketika berbicara di dalam salah satu forum diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat beberapa tahun lalu. Cendekiawan muslim yang akrab disapa dengan Kang Djalal ini menyampaikan presentasi berjudul Attacking Inequality in Health Sector.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015 )
KETIKA Barack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), terdapat suatu yang cukup mengagetkan, sekaligus menjadi daya tariknya. Sebab, semua orang mengenal AS sebagai salah satu negara kapitalis. Ketika itu tahun 2010 Obama meluncurkan program jaminan sosial kesehatan yang terkenal dengan Obamacare.
Kebijakan ini untuk membantu mengurangi biaya kesehatan bagi keluarga dan memastikan lebih banyak orang dapat mengakses asuransi kesehatan. Ketika itu, di AS terdapat sekitar 47 juta orang tidak memiliki/dilindungi jaminan kesehatan (asuransi kesehatan).
Gagasan politik kesejahteran Obama tersebut, setidaknya menyimpan dua pesan yang amat berharga bagi setiap negara, yang ingin melindungi rakyatnya. Pertama, kesehatan masyarakat menjadi isu terdepan dalam agenda pemilu dan relasi antara politisi dan pemilih. Kedua, sejauh mana kompetisi pemilu juga melibatkan kompetisi gagasan dan konsep untuk pemecahan masalah dan dijustifikasi secara eksplisit, bukan sekedar retorika umum atas sebuah isu pemilu, pilpres, atau pilkada semata.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia? Apakah politik kesehatan dan kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas utama pada setiap event pemilihan pejabat negara?
Sebagian kalangan berpendapat Indonesia belumlah mencapai tingkatan kesadaran semacam itu. Penyebabnya karena realitas dan kinerja kesehatan kita kini masih memiliki dua wajah.
Dua Wajah Pelayanan Kesehatan
Wajah pertama, seiring pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun dan sebelum krisis dan 10 tahun pascakrisis 1998. Di mana lapisan kelas menengah yang mampu membayar jasa pelayanan kesehatan makin besar. Demikian pula konsumen untuk pelayanan kesehatan dan pasar kesehatan juga makin besar.
Tidak heran bila makin banyak warga Indonesia yang dengan enteng melenggang ke luar negeri untuk berobat, memperoleh jasa pelayanan yang dianggapnya lebih baik dan berkelas dunia. Fakta lain, makin tumbuhnya rumah sakit swasta yang berlabel kelas internasional didirikan di kota-kota besar untuk sekedar memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok masyarakat tertentu.
Wajah kedua adalah kelompok masyarakat warga negara kebanyakan yang gagal memperoleh pelayanan kesehatan yang layak akibat tidak tersebar meratanya fasiltas pelayanan kesehatan di wilayah NKRI. Sekalipun mereka telah melunasi iuran JKN di BPJS Kesehatan, belum ada jaminan bahwa seluruh rakyat Indonesia pasti memperoleh layanan kesehatan. Atau kalau pun mereka memperoleh layanan, mungkin mutunya belum memadai.
Pendapat senada pernah disitir oleh Prof Djalaludin Rahmat (almarhum) ketika berbicara di dalam salah satu forum diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat beberapa tahun lalu. Cendekiawan muslim yang akrab disapa dengan Kang Djalal ini menyampaikan presentasi berjudul Attacking Inequality in Health Sector.