ASEAN Benteng Stabilitas Indo-Pasifik

Senin, 11 September 2023 - 07:38 WIB
loading...
ASEAN Benteng Stabilitas Indo-Pasifik
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
"MARI kita kukuhkan kawasan Indo-Pasifik sebagai teater perdamaian dan inklusifitas, ini adalah fondasi kunci yang akan mengantarkan ASEAN ke masa depan yang lebih baik untuk rakyat dan untuk dunia," ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menutup resmi perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di JCC Senayan Jakarta, Kamis (7/9).

baca juga: ASEAN-BAC Siap Realisasikan ASEAN Business Roadmap

Sepintas, apa yang disampaikan Jokowi merupakan pernyataan formal yang selalu mengemuka di setiap agenda pertemuan organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut. Namun di tengah dinamika dan benturan kepentingan negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik belakangan ini dengan episentrum di Laut China Selatan (LCS), pesan tersebut menjadi sangat relevan didengungkan dan ditegaskan.

Agresivitas China mengklaim 3,5 juta kilometer persegi atau 90 persen LCS belakangan ini bukan hanya memicu gesekan dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan juga Indonesia, tapi telah menyeret Amerika Serikat (AS) dan secara langsung atau tidak langsung telah mengonsolidasikan kekuatan yang didukung sekutunya di wilayah ini.

Pertarungan terjadi tidak lain karena posisi strategis LCS sebagai jalur kunci perdagangan dunia. Data CSIS dan World Maritim Council pernah menyebut sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Berdasar klaim sejarah, China merasa berhak menguasai perairan tersebut, sedangkan AS berkepentingan untuk menegakkan hak dan kebebasan navigasi.

Lebih menggiurkan, LCS menyimpan cadangan migas melebihi yang tersimpan di kawasan Teluk. Data Bank Dunia memperkirakan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam dan 7 miliar barel minyak tersimpan di dalamnya. Selain itu, seperti pernah dipaparkan jurnal The Diplomat, walaupun hanya mencakup 2,5 persen permukaan bumi, LCS merupakan habitat 3.000 spesies ikan asli dan yang bermigrasi, atau mencakup sekitar 12 persen dari total tangkapan ikan global.

baca juga: ASEAN People Centrum Gugat Masalah Sistemik dalam ASEAN

Demi ambisi menguasai LCS inilah, China dilaporkan telah membangun sejumlah pangkalan militer di wilayah sengketa seperti Pulau Woody di Kepulauan Paracel. Negeri Tirai Bambu itu juga membangun fasilitas sama di Mischief Reef dan Sumbi Reef. Sedangkan AS telah merangkul Papua Nugini dan Filipina untuk membangun pangkalan militernya. Pembentukan aliansi AS, Inggris dan Australia (AUKUS) menjadi indikator penting bahwa konflik LCS menjadi perhatian penting negara adi daya tersebut.

Tak kalah memprihatinkan, dua kekuatan raksasa itu juga berupaya menarik negara-negara ASEAN untuk menjadi tunggangan atau proxy. Penempatan pangkalan militer AS di Filipina diakui atau tidak menjadi bagian strategi AS dimaksud. Berdasar kesepakatan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) tahun 2014, negeri Paman SAM memperluas pangkalan militernya di Pinoy dari 5 menjadi 9 titik.

Paman Sam juga secara halus berusaha menarik Indonesia head to head dengan China. Langkah ini seperti dilakukan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin usai MoU komitmen pembelian pesawat F-15 beberapa waktu. Secara sepihak Austin mengaku bersama Menhan Prabowo mengeluarkan pandangan sama bahwa klaim maritim China yang ekspansif di Laut China Selatan tidak konsisten dengan hukum internasional. Untung saja China mengidentifikasi pernyataan itu tidak pernah ada.

baca juga: Para Kepala Negara Sepakat Ubah Nama ASEAN Secretariat Jadi Markas Besar ASEAN

Berangkat dari pertarungan yang kian mengeras antara dua kekuatan besar dunia tersebut, muncul pertanyaan apakah sikap ASEAN seperti disampaikan Jokowi relevan untuk menjadi peredam atau penangkal potensi meledaknya pertarungan di LCS menjadi medan laga? Langkah seperti apa yang urgen dilakukan,terutama di internal negara-negara ASEAN, agar perdamaian di kawasan Indo-Pasifik bisa terwujud?


Deklarasi Bangkok

ASEAN yang didirikan Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand pada 8 Agustus 1967 dibentuk berdasar keinginan kuat anggota pendiri untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara damai, aman, stabil, dan sejahtera. Namun upaya mewujudkan harapan tersebut tidaklah mudah. Dengan latar waktu perang dingin, tarik-menarik kepentingan blok barat yang dipimpin AS dan blok timur yang kala itu dikomandoi Uni Sovyet sangat kuat.

Dinamika yang mewarnai perang dingin kala itu antara lain ekspansi AS ke Vietnam untuk membendung perluasan pengaruh komunisme di kawasan, invansi Indonesia ke Timor Leste yang mendapat restu dari AS untuk mencegah lahirnya rezim pro-komunis di negeri yang berbatasan darat dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, juga berdirinya pangkalan AS di Cubic Filipina.

Indikator masuknya intervensi asing ke Asia Tenggara juga ditandai dengan berdirinya Five Power Defense Arrangement (FPDA) pada 1971 yang di dalamnya melibatkan Malaysia, Singapura, Selandia Baru, dan Inggris. Selain AS, Sovyet, Inggris, China juga tak luput menancapkan pengaruhnya di kawasan ini, terutama di beberapa negara Indo-China.

Walapun kehadiran kekuatan global sudah sangat kuat di kawasan Asia Tenggara, sejak berdirinya ASEAN hampir tidak ada catatan konflik yang melibatkan internal anggota dan intervensi negara eksternal ke dalamnya. ASEAN pun mencatatkan diri sebagai kawasaan paling stabil, bahkan menjadi katalis bagi perdamaian.

baca juga: Tumbuh Bersama Negara ASEAN

Pengakuan peran ASEAN yang demikian disampaikan langsung Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antoni Guterres saat menyampaikan konferensi pers tentang ASEAN-UN Summit, di sela-sela KTT ASEAN pekan kemarin. “ASEAN telah menjadi faktor penting bagi persatuan dunia yang terbagi, karena kita memerlukan hal-hal tersebut lebih dari sebelumnya di dunia yang semakin multipolar,” demikian disampaikan Guterres.

Stabilitas terjaga di ASEAN tentu berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota. Sejumlah kalangan pun memprediksi ASEAN akan menjadi pusat pertumbuhan dunia. Modal kekuatan ini sudah dimiliki ASEAN dengan PDB-nya yang mencapai USD3,34 triliun pada 2021 lalu, dan menjadi kawasan ekonomi terbesar ke-5 dunia. Belum lagi dukungan populasi di kawasan yang mencapai 650 juta jiwa.

Bagaimana stabilitas itu terwujud dan pelan tapi pasti ASEAN meraih kesejahteraan seperti dicitakan? Kondisi tersebut tidak terlepas dari Deklarasi Perbara atau Deklarasi Bangkok yang menjadi landasan kesepakatan berdirinya ASEAN.

Deklarasi yang ditandatangani ketua delegasi lima negara pendiri -Menlu Indonesia Adam Malik, Wakil PM Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Singapura S Rajaratnam, dan Menlu Thailand Thanat Khoman- memberi kerangka bahwa ASEAN mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial, menjamin adanya perdamaian dan laju pembangunan nasional serta memastikan adanya stabilitas keamanan dari campur tangan luar dengan segala bentuk manifestasinya.

ASEAN juga mengadopsi sejumlah prinsip yang menjadi fondasi hubungan antar-negara ASEAN seperti tertuang dalamTreaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Prinsip dimaksud secara garis besar meliputi saling menghormati kedaulatan, menjauhkan dari campur eksternal, tidak saling mencampuri urusan internal negara anggota, menyelesaikan perselihan secara damai, serta menolak penggunaan ancaman dan kekerasan.

Dalam perkembangannya, ASEAN tidak sebatas inward looking, tapi juga outward looking dengan memperluas peran mentransmisikan stabilitas yang dicapai pada skala lebih luas, termasuk di Indo-Pasifik. Peran ini ditegaskan dalam ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP)yang diarahkan untuk menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik.

Untuk diketahui, Indo-Pasifik merupakan salah satu wilayah bio-geografis maritim dunia. Kawasannya meliputi perairan tropika di Samudera Hindia, Samudera Pasifik bagian barat dan tengah, serta laut-laut pedalaman di wilayah Indonesia dan Filipina.

baca juga: Penanggulangan Kejahatan Siber di ASEAN

Seperti dipaparkan dalam laman Kemlu.go.id, outlook yang diperkenalkan pada KTT ASEAN di Bangkok pada 2019 ini mengedepankan pendekatan dialog dan kerja sama yang terbuka dan inklusif di bidang yang menjadi prioritas ASEAN. Prioritas dimaksud meliputi maritim, ekonomi, konektivitas, dan pencapaian target sustainable development goals (SDGs). Melalui AOIP ini, ASEAN ingin menempatkan dirinya sebagai centrum dari arsitektur kawasan Indo-Pasifik.

Pada KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Presiden Jokowi menegaskan posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023akanmemperkuat ASEAN agar mampu menghadapi tantangan, tanggap terhadap dinamika, dan tetap memegang peran sentral di kawasan Indo-Pasifik. Dengan semakin besarnya rivalitas di Indo-Pasifik, para pemimpin ASEAN bersepakat implementasi AOIP semakin penting dengan menggunakan paradigma kerja sama, inklusif, dan konkret.

Disebutkan pula, tiga prinsip utama AOIP -centrality, inclusivity, dan complementarity- akan terus disuarakan. Sentralitas ASEAN sangat dibutuhkan di tengah dinamika pergeseran geopolitik dan geostrategis di kawasan Indo-Pasifik. AOIP membuka dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali. Outlook ini juga mengedepankan sinergi di tengah berbagai perbedaan konsep Indo-Pasifik dan ditujukan untuk memperkuat mekanisme yang sudah ada dalam menghadapi tantangan regional dan global.

Pegang Teguh Cita-cita ASEAN

Saat menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan ASEAN kepad Laos, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa pekerjaan besar ASEAN tidak mungkin selesai karena akan terus menghadapi beragam dinamika dan kompleksitas global. Karena itulah, mantan Wali Kota Solo itu mengajak negara-negara anggota untuk bahu membahu menavigasi tantangan menjadi peluang, rivalitas menjadi kolaborasi, eksklusifitas menjadi inklusifitas, dan perbedaan menjadi persatuan.

Pada momen KTT ASEAN, Jokowi juga menyampaikan pesan langsung kepada para pemimpin perwakilan negara ASEAN untuk tidak menciptakan konflik dan ketegangan baru, guna menjaga perdamaian. Jokowi juga mengingatkan bahwa negara-negara ASEAN memiliki tanggung jawab menurunkan tensi yang panas untuk mencairkan suasana yang beku, untuk menciptakan ruang dialog.

"Dan saya bisa pastikan bahwa sampai saat ini ASEAN telah berada pada track yang benar untuk bisa menjalankan peran tersebut, menjadi kontributor stabilitas dan perdamaian, serta menjadi epicentrum of growth," ucapnya.

Ajakan yang disampaikan Jokowi sangat tepat bila melihat turbulensi dinamika yang berkembangan belakangan. Pertarungan kepentingan negara-negara besar, dalam hal ini AS dengan sekutunya -terutama AUKUS- versus China, untuk memperebutkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik sangat berpotensi menyeret negara-negara ASEAN ke dalam medan konflik, bahkan perang terbuka. Perbedaan kepentingan dan orientasi politik antar-negara ASEAN plus konflik LCS rawan menjadi pintu masuk.

Bisa dibayangkan, jika perang terjadi di Selat Taiwan antara Taiwan dengan sekutu barat-nya versus China atau Korea Selatan berhadap dengan Korea Utara, area pertempuran relatif bisa dibatasi di wilayah perbatasan sengketa. Namun bila pecah perang di LCS, maka perang akan melebar ke kawasan lebih luas di Indo-Pasifik.

Potensi ini terjadi karena posisi strategis LCS dan sumberdaya di dalamnya, serta terkoneksi langsung dengan Indo-Pasifik. Sangat mungkin, perang yang melibatkan beberapa negara yang bersengketa plus intervensi kekuatan adi daya di LCS dan ambisi memperebutkan kekuasaan di kawasan Indo-Pasifik akan melebar dan memicu perang dunia ketiga.

Karena itulah, sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk tetap berpegang teguh pada tujuan berdirinya ASEAN seperti termaktub dalam Deklarasi Bangkok maupun prinsip hubungan antar-anggota seperti tercantum dalam TAC. Setiap konflik di internal negara atau antar-negara ASEAN diselesaikan dengan cara dialog, tanpa kekerasan, dan menghindari campur tangan asing walaupun dari sesama negara ASEAN.

Pun bila masing-masing negara ASEAN sudah memiliki aliansi seperti dilakukan Malaysia dan Singapura dalam FPDA atau memiliki kerjasama militer dengan negara-negara besar seperti ditunjukkan Filipina yang membuka negara untuk dijadikan pangkalan militer AS dan beberapa negara di Indo China dengan China, jangan sampai menabrak rambu-rambu dasar berdirinya ASEAN.

baca juga: Wapres Ajak ASEAN Perkuat Ketahanan Pangan

Dalam perjalanan sejarahnya, ASEAN memiliki track record positif menyelesaikan konflik di masing-masing negara atau antar-negara anggota. Bahkan ASEAN menjadi bagian dari resolusi konflik. Fakta ini bisa diverifikasi pada perang saudara di Kamboja yang didalamnya melibatkan kekuatan Vietnam Utara dan China, serta AS. Selain PBB, ASEAN -terutama yang diwakili Menlu Ali Alatas- terlibat aktif perjanjian damai yang berlangsung pada sekitar tahun 1980.

Begitu juga pada konflik Filipina dengan Moro Nationalism Liberation Front (MNLF) Moro, ASEAN dengan dimotori Indonesia menjadi bagian penting resolusi konflik, hingga perdamaian Filipina terwujud dan berlangsung hingga saat ini.

Kohesivitas yang terbangun kuat di antara anggota ASEAN dan komitmen untuk menjaga cita-cita berdirinya ASEAN modal kuat untuk menghadapi dinamika internal ASEAN, konflik LCS dan pertarungan geopolitik dan geostrategi di Indo-Pasifik. Jangan sampai di antara anggota ASEAN terperangkap menjadi pion dan proxy negara-negara besar untuk memainkan kepentingan dan membenturkannya dengan kekuatan lain, terutama dalam konteks rivalitas AS versus China dalam konflik LCS,

Bila kondisi tersebut terpenuhi, maka ASEAN benar-benar menjadi centrum membentengi stabilitas di kawasan Indo-Pasifik, dan kawasan tersebut bisa menjadi teater perdamaian dan inklusivitas. Dalam konteks kepentingan ASEAN, hadirnya stabitas di Indo-Pasifik menjadi prasarat mutlak membangun kontinuitas ASEAN sebagai center of growth hingga harapan kesejahteraan bangsa-bangsa ASEAN dan masyarakatnya bisa terwujud. (*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1960 seconds (0.1#10.140)