ASEAN Benteng Stabilitas Indo-Pasifik
loading...
A
A
A
Saat menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan ASEAN kepad Laos, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa pekerjaan besar ASEAN tidak mungkin selesai karena akan terus menghadapi beragam dinamika dan kompleksitas global. Karena itulah, mantan Wali Kota Solo itu mengajak negara-negara anggota untuk bahu membahu menavigasi tantangan menjadi peluang, rivalitas menjadi kolaborasi, eksklusifitas menjadi inklusifitas, dan perbedaan menjadi persatuan.
Pada momen KTT ASEAN, Jokowi juga menyampaikan pesan langsung kepada para pemimpin perwakilan negara ASEAN untuk tidak menciptakan konflik dan ketegangan baru, guna menjaga perdamaian. Jokowi juga mengingatkan bahwa negara-negara ASEAN memiliki tanggung jawab menurunkan tensi yang panas untuk mencairkan suasana yang beku, untuk menciptakan ruang dialog.
"Dan saya bisa pastikan bahwa sampai saat ini ASEAN telah berada pada track yang benar untuk bisa menjalankan peran tersebut, menjadi kontributor stabilitas dan perdamaian, serta menjadi epicentrum of growth," ucapnya.
Ajakan yang disampaikan Jokowi sangat tepat bila melihat turbulensi dinamika yang berkembangan belakangan. Pertarungan kepentingan negara-negara besar, dalam hal ini AS dengan sekutunya -terutama AUKUS- versus China, untuk memperebutkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik sangat berpotensi menyeret negara-negara ASEAN ke dalam medan konflik, bahkan perang terbuka. Perbedaan kepentingan dan orientasi politik antar-negara ASEAN plus konflik LCS rawan menjadi pintu masuk.
Bisa dibayangkan, jika perang terjadi di Selat Taiwan antara Taiwan dengan sekutu barat-nya versus China atau Korea Selatan berhadap dengan Korea Utara, area pertempuran relatif bisa dibatasi di wilayah perbatasan sengketa. Namun bila pecah perang di LCS, maka perang akan melebar ke kawasan lebih luas di Indo-Pasifik.
Potensi ini terjadi karena posisi strategis LCS dan sumberdaya di dalamnya, serta terkoneksi langsung dengan Indo-Pasifik. Sangat mungkin, perang yang melibatkan beberapa negara yang bersengketa plus intervensi kekuatan adi daya di LCS dan ambisi memperebutkan kekuasaan di kawasan Indo-Pasifik akan melebar dan memicu perang dunia ketiga.
Karena itulah, sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk tetap berpegang teguh pada tujuan berdirinya ASEAN seperti termaktub dalam Deklarasi Bangkok maupun prinsip hubungan antar-anggota seperti tercantum dalam TAC. Setiap konflik di internal negara atau antar-negara ASEAN diselesaikan dengan cara dialog, tanpa kekerasan, dan menghindari campur tangan asing walaupun dari sesama negara ASEAN.
Pun bila masing-masing negara ASEAN sudah memiliki aliansi seperti dilakukan Malaysia dan Singapura dalam FPDA atau memiliki kerjasama militer dengan negara-negara besar seperti ditunjukkan Filipina yang membuka negara untuk dijadikan pangkalan militer AS dan beberapa negara di Indo China dengan China, jangan sampai menabrak rambu-rambu dasar berdirinya ASEAN.
baca juga: Wapres Ajak ASEAN Perkuat Ketahanan Pangan
Dalam perjalanan sejarahnya, ASEAN memiliki track record positif menyelesaikan konflik di masing-masing negara atau antar-negara anggota. Bahkan ASEAN menjadi bagian dari resolusi konflik. Fakta ini bisa diverifikasi pada perang saudara di Kamboja yang didalamnya melibatkan kekuatan Vietnam Utara dan China, serta AS. Selain PBB, ASEAN -terutama yang diwakili Menlu Ali Alatas- terlibat aktif perjanjian damai yang berlangsung pada sekitar tahun 1980.
Pada momen KTT ASEAN, Jokowi juga menyampaikan pesan langsung kepada para pemimpin perwakilan negara ASEAN untuk tidak menciptakan konflik dan ketegangan baru, guna menjaga perdamaian. Jokowi juga mengingatkan bahwa negara-negara ASEAN memiliki tanggung jawab menurunkan tensi yang panas untuk mencairkan suasana yang beku, untuk menciptakan ruang dialog.
"Dan saya bisa pastikan bahwa sampai saat ini ASEAN telah berada pada track yang benar untuk bisa menjalankan peran tersebut, menjadi kontributor stabilitas dan perdamaian, serta menjadi epicentrum of growth," ucapnya.
Ajakan yang disampaikan Jokowi sangat tepat bila melihat turbulensi dinamika yang berkembangan belakangan. Pertarungan kepentingan negara-negara besar, dalam hal ini AS dengan sekutunya -terutama AUKUS- versus China, untuk memperebutkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik sangat berpotensi menyeret negara-negara ASEAN ke dalam medan konflik, bahkan perang terbuka. Perbedaan kepentingan dan orientasi politik antar-negara ASEAN plus konflik LCS rawan menjadi pintu masuk.
Bisa dibayangkan, jika perang terjadi di Selat Taiwan antara Taiwan dengan sekutu barat-nya versus China atau Korea Selatan berhadap dengan Korea Utara, area pertempuran relatif bisa dibatasi di wilayah perbatasan sengketa. Namun bila pecah perang di LCS, maka perang akan melebar ke kawasan lebih luas di Indo-Pasifik.
Potensi ini terjadi karena posisi strategis LCS dan sumberdaya di dalamnya, serta terkoneksi langsung dengan Indo-Pasifik. Sangat mungkin, perang yang melibatkan beberapa negara yang bersengketa plus intervensi kekuatan adi daya di LCS dan ambisi memperebutkan kekuasaan di kawasan Indo-Pasifik akan melebar dan memicu perang dunia ketiga.
Karena itulah, sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk tetap berpegang teguh pada tujuan berdirinya ASEAN seperti termaktub dalam Deklarasi Bangkok maupun prinsip hubungan antar-anggota seperti tercantum dalam TAC. Setiap konflik di internal negara atau antar-negara ASEAN diselesaikan dengan cara dialog, tanpa kekerasan, dan menghindari campur tangan asing walaupun dari sesama negara ASEAN.
Pun bila masing-masing negara ASEAN sudah memiliki aliansi seperti dilakukan Malaysia dan Singapura dalam FPDA atau memiliki kerjasama militer dengan negara-negara besar seperti ditunjukkan Filipina yang membuka negara untuk dijadikan pangkalan militer AS dan beberapa negara di Indo China dengan China, jangan sampai menabrak rambu-rambu dasar berdirinya ASEAN.
baca juga: Wapres Ajak ASEAN Perkuat Ketahanan Pangan
Dalam perjalanan sejarahnya, ASEAN memiliki track record positif menyelesaikan konflik di masing-masing negara atau antar-negara anggota. Bahkan ASEAN menjadi bagian dari resolusi konflik. Fakta ini bisa diverifikasi pada perang saudara di Kamboja yang didalamnya melibatkan kekuatan Vietnam Utara dan China, serta AS. Selain PBB, ASEAN -terutama yang diwakili Menlu Ali Alatas- terlibat aktif perjanjian damai yang berlangsung pada sekitar tahun 1980.