Determinan Sosio-Ekonomi dalam Bingkai PTM
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
BERDASARKAN klasifikasi Kementerian Kesehatan, terdapat 12 penyakit dalam golongan Penyakit Tidak Menular (PTM) di antaranya adalah asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi, jantung coroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan penyakit sendi atau rematik. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia pada 2020, sebesar 66% angka kematian di Indonesia justru disebabkan oleh penyakit tidak menular. Data Riskesdas (2018) yang menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi PTM berada pada kelompok penyakit stroke (10,9%), hipertensi (8,36%), dan rematik (7,3%).
Ironisnya, angka prevalensi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2013. Di sisi lain, penyakit lainnya, seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis prevalensi penderitanya di bawah 5%. Selain itu kelompok penyakit batu ginjal, jantung koroner, hipertiroid, gagal ginjal kronis, dan gagal jantung bahkan kurang dari 1%.
Sejak kemunculan pandemi Covid-19, banyak negara menjadi sadar bahwa penanganan sektor kesehatan tidak bisa hanya ditangani oleh satu sektor saja, memerlukan manajemen yang lebih terintegrasi baik dari sisi kesehatannya maupun pembiayaan. G-20 maupun ASEAN telah memutuskan bagaimana penanganan kesehatan harus menjadi agenda bersama.
Terdapat 12 kelompok penyakit yang berbeda pada tubuh manusia yang didorong oleh faktor yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian dini yang disebabkan oleh PTM termasuk dalam kalangan sosioekonomi rendah. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling determinan dalam penyakit tidak menular adalah tingkat pendidikan, pendapatan, dan jenis pekerjaan.
Disinyalir tingkat pendapatan dan status pekerjaan ternyata memiliki hubungan dengan pasien penderita penyakit diabetes melitus (Mongisidi, 2014). Bahkan pada kasus penyakit kanker atau tumor, selain usia, jenis kelamin perempuan, hidup di wilayah pedesaan, tingkat pendidikan rendah, serta jenis pekerjaan disektor pertanian dan perikanan memiliki peluang yang lebih besar menderita tumor dibanding kondisi sebaliknya (Oemiati, 2007).
Peran Pendidikan dan Kemiskinan dalam PTM
Pendidikan dan kemiskinan adalah dua faktor kunci yang secara signifikan memengaruhi risiko terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM). Keduanya saling terkait dan berpotensi menjadi lingkaran setan yang sulit untuk dipecahkan. Pendidikan yang rendah sering kali merupakan akibat dari kemiskinan, dan sebaliknya, ketika seseorang mengalami pendidikan rendah, ia cenderung lebih mungkin menghadapi kemiskinan dalam hidupnya.
Hubungan kompleks ini dapat berdampak serius pada kesehatan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil kajian PPKE FEB UB (2023) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan (BPJS ataupun asuransi swasta) memiliki pengaruh langsung signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia. Di sisi lain, pendapatan juga memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM melalui aktivitas fisik, sedangkan pendidikan memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM melalui pola makan dan minum.
Pendidikan yang rendah dapat menghambat akses individu terhadap informasi kesehatan yang penting. Individu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung kurang memahami bahaya PTM, kurang memiliki pengetahuan tentang pola makan sehat, aktivitas fisik yang diperlukan, serta risiko perilaku berbahaya seperti minum alkohol secara berlebihan. Begitu pula dengan kemiskinan, sering dapat membatasi pilihan gaya hidup sehat, seperti memilih makanan yang lebih murah dan kurang bergizi karena keterbatasan finansial.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
BERDASARKAN klasifikasi Kementerian Kesehatan, terdapat 12 penyakit dalam golongan Penyakit Tidak Menular (PTM) di antaranya adalah asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi, jantung coroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan penyakit sendi atau rematik. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia pada 2020, sebesar 66% angka kematian di Indonesia justru disebabkan oleh penyakit tidak menular. Data Riskesdas (2018) yang menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi PTM berada pada kelompok penyakit stroke (10,9%), hipertensi (8,36%), dan rematik (7,3%).
Ironisnya, angka prevalensi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2013. Di sisi lain, penyakit lainnya, seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis prevalensi penderitanya di bawah 5%. Selain itu kelompok penyakit batu ginjal, jantung koroner, hipertiroid, gagal ginjal kronis, dan gagal jantung bahkan kurang dari 1%.
Sejak kemunculan pandemi Covid-19, banyak negara menjadi sadar bahwa penanganan sektor kesehatan tidak bisa hanya ditangani oleh satu sektor saja, memerlukan manajemen yang lebih terintegrasi baik dari sisi kesehatannya maupun pembiayaan. G-20 maupun ASEAN telah memutuskan bagaimana penanganan kesehatan harus menjadi agenda bersama.
Terdapat 12 kelompok penyakit yang berbeda pada tubuh manusia yang didorong oleh faktor yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian dini yang disebabkan oleh PTM termasuk dalam kalangan sosioekonomi rendah. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling determinan dalam penyakit tidak menular adalah tingkat pendidikan, pendapatan, dan jenis pekerjaan.
Disinyalir tingkat pendapatan dan status pekerjaan ternyata memiliki hubungan dengan pasien penderita penyakit diabetes melitus (Mongisidi, 2014). Bahkan pada kasus penyakit kanker atau tumor, selain usia, jenis kelamin perempuan, hidup di wilayah pedesaan, tingkat pendidikan rendah, serta jenis pekerjaan disektor pertanian dan perikanan memiliki peluang yang lebih besar menderita tumor dibanding kondisi sebaliknya (Oemiati, 2007).
Peran Pendidikan dan Kemiskinan dalam PTM
Pendidikan dan kemiskinan adalah dua faktor kunci yang secara signifikan memengaruhi risiko terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM). Keduanya saling terkait dan berpotensi menjadi lingkaran setan yang sulit untuk dipecahkan. Pendidikan yang rendah sering kali merupakan akibat dari kemiskinan, dan sebaliknya, ketika seseorang mengalami pendidikan rendah, ia cenderung lebih mungkin menghadapi kemiskinan dalam hidupnya.
Hubungan kompleks ini dapat berdampak serius pada kesehatan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil kajian PPKE FEB UB (2023) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan (BPJS ataupun asuransi swasta) memiliki pengaruh langsung signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM di Indonesia. Di sisi lain, pendapatan juga memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM melalui aktivitas fisik, sedangkan pendidikan memiliki pengaruh tidak langsung yang signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM melalui pola makan dan minum.
Pendidikan yang rendah dapat menghambat akses individu terhadap informasi kesehatan yang penting. Individu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung kurang memahami bahaya PTM, kurang memiliki pengetahuan tentang pola makan sehat, aktivitas fisik yang diperlukan, serta risiko perilaku berbahaya seperti minum alkohol secara berlebihan. Begitu pula dengan kemiskinan, sering dapat membatasi pilihan gaya hidup sehat, seperti memilih makanan yang lebih murah dan kurang bergizi karena keterbatasan finansial.