Kelaparan Berulang di Papua, Faktor Budaya Penghambat Penanganan

Rabu, 30 Agustus 2023 - 10:16 WIB
loading...
A A A
Mereka enggan berpindah ke wilayah kota karena ada kepercayaan soal keketerikatan dengan roh para leluhur atau keluarga yang telah meninggal di tempat tersebut. Bagi mereka, berpindah dari tempat tersebut sama artinya meninggalkan dan menelantarkan leluhur mereka. Bahkan mereka punya prinsip, bagaimanapun sulitnya dan menderitanya di daerah leluhur, lebih baik tetap bertahan dan rela mati daripada harus meninggalkan leluhur mereka.

Kebiasaan mereka tinggal di punggung bukit tinggi juga untuk menghindari penyakit malaria. Penyakit malaria merupakan penyakit yang diwaspadai karena banyak warga yang bertempat tinggal pada ketinggian di atas 2000 meter. Mereka memperoleh pengetahuan secara turun-temurun, bahwa malaria hanya bisa berkembang di daerah panas atau di lembah bukit.

Kekeringan dan cuaca dingin ekstrem di Kabupaten Puncak, Papua Tengah merupakan fenomena tahunan yang biasa terjadi mulai bulan Mei, Juni, hingga Juli. Kebiasaan mereka tinggal di punggung bukit inilah yang sebenarnya yang semakin memperparah musibah kelaparan. Kalau saja mereka mau turun dari punggung bukit dan bercocok tanam di lembah, sebenarnya kekeringan yang mengakibatkan musibah kelaparan tidak perlu terjadi, dan separah saat ini.

Mereka yang sudah tinggal di lembah tak ada yang dilaporkan menderita kelaparan secara massal. Pengairan dan cuaca di lembah bukit sangat baik, dan tidak ada yang dilaporkan kekeringan lahan pertanian hingga saat ini. Sungai-sungai di lembah bukit hingga saat ini masih mengalir dengan baik dan tidak ada yang dilaporkan kekeringan. Air sungai tentu bisa dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian.

Menarik mereka turun ke lembah memang bukan persoalan yang mudah mengingat tradisi lama mereka yang masih mengakar tinggal di punggung bukit. Pemerintah pun sudah lama mengupayakan dengan membuat tempat tinggal mereka yang layak sebagai percontohan untuk memikat warga pedalaman berpindah ke lembah. Tempat dan lahan pertanian yang diberikan secara gratis pun, akhirnya mereka tinggalkan. Mereka kembali ke punggung-punggung bukit, hingga proyek perumahan yang disediakan pemerintah pun sia-sia.

Proyek modernisasi dengan segera meninggalkan kebudayaan mereka memang tak mungkin dipaksakan. Sama halnya seperti yang diusahakan sejak lama untuk mengganti koteka bagi pria dan sali bagi wanita sulit dilakukan hingga saat ini sekalipun mereka mampu membeli pakaian. Ada nilai-nilai dari leluhur nenek moyang yang mengakar kuat untuk mempertahankan tradisi warisan budaya. Bagi mereka, pakaian adat tidak hanya sebagai penutup tubuh, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi mereka.

Pada awal tahun 1970-an sudah muncul gagasan untuk membuat masyarakat segera meninggalkan pakaian adat seperti koteka melalui program “Operasi Koteka”. Sebagai gantinya, celana pendek untuk laki-laki dan sarung bagi perempuan. Hasilnya, lebih dari 50 tahun berlalu hingga saat ini warga masih menggunankan koteka. Jadi, memberi pemecahan modernisasi pertanian sangat sulit dilakukan bila tak memecahkannnya melalui akar budaya setempat

Untuk memecahkan persoalan dan menanggulangi musibah kelaparan bila musim kekeringan berkepanjangan terjadi di pedalaman Papua, secara bertahap hanya efektif bila meningkatkan pengetahun, dan pendidikan bagi generasi mudanya. Berikan beasiswa pendidikan secara kontinu dan konsisten bagi generasi muda untuk menempuh pendidikan di rantau. Program ini jangan hanya bersifat sporadis.

Mereka yang sudah terdidik, wajib kembali ke daerah asal untuk menularkan nilai-nilai baru bagi warga lain di pedalaman dengan jangka waktu tertentu. Proses dan hasilnya senantiasa dikaji untuk program berikutnya agar lebih baik. Ini memang memakan waktu yang lama, tapi bukan tidak mungkin berjalan dengan cepat asal serius dan berkesinambungan.

Sampai kapan pun kalau faktor budaya ini tak ditangani dengan baik agaknya musibah kelaparan di Papua tetap akan berulang. Harus menjadi catatan, kebudayaan masyarakat Papua bersifat “ämbivalen”, bermuka dua. Dalam kebudayaan masyarakat Papua, ada unsur-unsur menghambat, tapi ada yang dapat menjadi faktor pendorong ke arah kemajuan masyarakatnya. Inilah yang harus dicermati dengan baik untuk mengubah kebiasaan dan mengembangkan mereka.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1960 seconds (0.1#10.140)