Penanganan Pemerintah terhadap Karhutla Dinilai Belum Tegas

Selasa, 30 Juni 2020 - 15:51 WIB
loading...
Penanganan Pemerintah terhadap Karhutla Dinilai Belum Tegas
Karhutla di Indonesia menjadi persoalan langganan yang selalu muncul setiap tahun. Beragam cara dilakukan pemerintah.mulai dari perencanaan dan pencegahan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia menjadi persoalan langganan yang selalu muncul setiap tahun. Beragam cara dilakukan pemerintah, mulai dari perencanaan dan pencegahan untuk menghentikan bencana tersebut.

(Baca juga; Menteri LHK Bagikan Video Badak Jawa Berguling di Kubangan, Tersisa 72 Ekor)

Namun belakangan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) malah mempersoalkan perbedaan persepsi yang berkembang di publik dan meminta semua pihak mengambil peran edukasi informasi terkait karhutla. Hal itu ikut memantik kritik dari para pemerhati lingkungan, salah satunya Greenpeace Indonesia.

Ketua Tim Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menyatakan, upaya penanganan itu harusnya berbasis pada data dan fakta sumber masalah karhutla lima tahun terakhir, seperti di area terbakar konsesi korporasi dan kerusakan gambut yang belum direstorasi.

"Kementerian LHK sebagai wali data karhutla seharusnya terbuka soal data yang dapat dipantau oleh publik seperti data perusahaan yang tidak atau belum mematuhi sanksi dan membayar denda, peta batas/izin konsesi dan peta restorasi gambut di wilayah konsesi yang selalu bermasalah. Publik punya hak untuk mengetahui pihak-pihak mana saja yang harus bertanggung jawab terkait karhutla sebagai bagian dari pengawasan masyarakat," kata Rusmadya, Selasa (30/6/2020).

(Baca juga: Menteri LHK Minta Penilaian Soal Karhutla Harus Objektif dan Akurat)

Ia pun merujuk pada Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 terkait pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Menurutnya, pengendalian karhutla paling dini harus ditekankan pada para pihak swasta pemegang konsesi perkebunan dan kehutanan.

"Ini yang masih lemah. Sebab, perusahaan telah mendapat izin dari pemerintah, maka harus bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi di lahannya," tegas dia.

Rusmadya menilai, pemerintah justru tidak tegas, khususnya dalam penegakan sanksi terhadap korporasi yang melanggar atau lalai dalam melindungi konsesinya dari kebakaran. Hal itu masih tercermin dari banyaknya perusahaan yang belum diberi sanksi tegas maupun pencabutan izin sehingga membuat para perusak lingkungan tidak jera.

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan pada September 2019, hasil analisis Greenpeace menunjukkan ada 3.403.000 hektare (ha) lahan terbakar di Indonesia dalam periode 2015-2018. Temuan itu berdasarkan hasil analisis pemetaan Greenpeace Indonesia menggunakan data resmi pemerintah yang digabungkan dengan data tentang tindakan pemerintah terhadap perusahaan yang ditemukan kebakaran di atas lahannya.

Ironisnya, hampir tidak ada perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas yang konsesinya memiliki area kebakaran terbesar telah dihukum secara tegas dengan diberikan sanksi oleh pemerintah. Dalam kurun 2015-2018, hanya dua dari 12 grup perusahaan kelapa sawit dengan area kebakaran terbesar di lahan konsesinya yang dijatuhi sanksi tegas perdata dan administratif. Bahkan, tidak ada perusahaan yang dicabut izinnya oleh pemerintah karena kebakaran hutan.

Adapun tiga kasus perusahaan yang izinnya kemudian dicabut, seluruhnya adalah hutan tanaman industri (HTI) dengan lahan konsesinya untuk perusahaan bubur kertas. Misalnya, berkaitan dengan Sinar Mas/Asia Pulp & Paper (APP), grup yang konsesinya memiliki area kebakaran terbesar secara keseluruhan di Indonesia. Kendati grup ini dijatuhi 10 sanksi tegas oleh pemerintah antara 2015 hingga 2018, namun hanya menerima sanksi perdata dan sanksi administratif atas penanaman kembali di area yang sebelumnya terbakar.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1450 seconds (0.1#10.140)