Menengok Sapardi: Sastra dan Pendidikan

Senin, 07 Agustus 2023 - 11:55 WIB
loading...
A A A
Dari Timur ada Sri Aurobindo, yang intinya mengatakan bahwa tujuan pendidikan harus menghasilkan manusia yang santun dan bermanfaat bagi orang lain, bertanggung jawab, dan memiliki-nilai-nilai etis. Dari Indonesia ada filosof Drijarkara yang menurutnya intisari tindakan mendidik adalah memanusiakan manusia muda ke taraf insani melalui hominisasi dan humanisasi.

Dalam hal karya-karya sastra dan penulisnya, Sapardi tampaknya senang dengan Malcom Bradbury; T.S. Eliot; Marcel Proust; Samuel Becket; James Joyce; Virginia Woolf; Goerge Lukacs, dan beberapa yang lain. Sapardi memang sastrawan yang berwawasan luas.

Adapun mengenai apa itu sastra dan pentingnya sastra, Sapardi memiliki pandangan tersendiri. Baginya, sastra adalah hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati dan terus-menerus dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali.

Dengan menggunakan bahasa sebagai alat, seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya. Artinya, karya sastra berusaha untuk menawarkan serangkaian pilihan pengalaman dan penghayatan kehidupan bagi kita sehingga kita tidak terkurung dalam dunia pengalaman dan penghayatan sehari-hari saja.

Sejak zaman Yunani kuno, sastra telah menjadi topik diskusi oleh para filosof. Sebut saja Aristoteles, yang sudah banyak bicara soal sastra dan drama (tragedi). Tetapi mencari definisi apa itu sastra yang definitif dan berlaku universal, rasanya bakal menemui banyak kesulitan. Hingga saat ini saya belum menemukan satu-satunya jawaban tentang “apa itu sastra” yang dianggap paling sahih dan tanpa gugatan.

Sebagai peminat seni amatiran, saya memahami sebuah karya dianggap sastra atau tidak pada masyarakat tertentu, biasanya disesuaikan dengan konvensi yang berlaku pada suatu waktu tertentu dalam masyarakat tertentu pula. Konvensi itu bisa dengan berbagai parameter seperti tekanan pada peran pembaca; peran penulis; atau hubungan karya tersebut dengan kenyataan, dan lain-lain. Maka, sangat mungkin bahwa kriteria dan konvensi sastra yang berlaku di dunia modern tidak tepat jika diterapkan pada sastra konvensional dalam masyarakat tradisional.

Sapardi optimis terhadap kemajuan sastra dan kesenian pada umumnya. Di zaman yang nafsu utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan duniawi, ada kecenderungan orang menganggap sepele kesenian. Tapi Sapardi justru berpikiran sebaliknya. “Manusia seperti kita sekarang ini sudah terlanjur tidak akan bisa tahan menghadapi hidup tanpa kesenian. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan kita tanpa seni rupa, seni suara, seni kata, dan seni-seni lain. Pakaian, perabotan, rumah, dan kendaraan kita ciptakan berdasarkan prinsip seni rupa; kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik jika tidak memilki kemampuan menciptakan dan mengapresiasi pepatah, metafora, atau idiom yang ada dalam bahasa kita,” tulisnya.

Bahkan Sapardi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika selama seminggu (saja) penduduk negeri ini dilarang berseni suara – artinya, tidak ada lagi musik, singsot, rengeng-rengeng, bedhuk, tambur, gitar, piani, dan lain-lain. Mungkin kita semua jadi gila.
(wur)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1961 seconds (0.1#10.140)