Putu Wijaya sebelum Jadi Teroris
loading...
A
A
A
“Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling menyintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tidak bisa dibeli lagi.”
Wayan kemudian meminta Ngurah mengejar Nyoman Niti. Mungkin wanita itu masih di jalan atau menginap di rumah temnannya. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti dirinya hanya karena perbedaan kasta.
“Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi jangan terlalu memikirkannya. Lupakan itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya,” kata Wayan.
Lalu, pada adagen berikutnya, Putu Wijaya menggambarkan sebuah akhir yang menarik: Gusti Biang berhenti menangis. Dia tampak malu menatap Wayan, tapi lak-laki itu mendekatinya.
“Bagaimana, Gusti Biang?” ujar Wayan.
“Kenapa kau ceritakan semua itu padanya,” kata Gusti Biang dengan malu-malu.
“Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya..”.
“Kau menyebabkan aku sangat malu..” Gusti Biang tertundak dan Wayan menghapus air matanya.
“Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana, Gusti Biang?”
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tidak bisa dibeli lagi.”
Wayan kemudian meminta Ngurah mengejar Nyoman Niti. Mungkin wanita itu masih di jalan atau menginap di rumah temnannya. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti dirinya hanya karena perbedaan kasta.
“Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi jangan terlalu memikirkannya. Lupakan itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya,” kata Wayan.
Lalu, pada adagen berikutnya, Putu Wijaya menggambarkan sebuah akhir yang menarik: Gusti Biang berhenti menangis. Dia tampak malu menatap Wayan, tapi lak-laki itu mendekatinya.
“Bagaimana, Gusti Biang?” ujar Wayan.
“Kenapa kau ceritakan semua itu padanya,” kata Gusti Biang dengan malu-malu.
“Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya..”.
“Kau menyebabkan aku sangat malu..” Gusti Biang tertundak dan Wayan menghapus air matanya.
“Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana, Gusti Biang?”