Nasionalisme Diaspora Indonesia
loading...
A
A
A
Muh Jusrianto
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI
DALAM dunia yang semakin mengglobal, batas-batas antarbangsa semakin memudar dan tak lagi muncul sebagai hambatan bagi setiap individu untuk berjejaring dan berinteraksi secara luas. Cara pandang mengenai masa depan bangsa sudah semestinya diletakkan ke dalam cakrawala kebangsaan yang lebih konstruktif dan kontekstual.
Cara pandang tentang cinta Tanah Air (nasionalisme), yang kerap diartikan sebagai perasaan keterkaitan pada negara-bangsa dan karenanya memiliki kewajiban untuk ikut membela dan memajukan negara, kini tidak bisa direduksi. Kehadiran langsung seseorang dalam ruang teritorial negara asalnya yang kemudian dimaknai sangat cinta Tanah Air, cara pandang demikian kurang relevan dalam konteks kehidupan yang semakin mengglobal.
Prinsipnya kewajiban untuk membela dan memajukan negara bukan semata-mata tentang keberadaan langsung seseorang pada negara asalnya. Namun lebih dari itu adalah bagaimana seorang individu, walaupun melintasi trayek yang “berbeda”, dalam membangun bangsa ini (Indonesia) tetap berkomitmen pada tujuan bersama: cita-cita kemerdekaan!
Komitmen dalam membangun bangsa pada akhirnya bertumpu ke dalam pertanyaan mengenai masa depan Indonesia di abad ke-21. Telah banyak proyeksi disusun, namun terdapat satu faktor yang seringkali luput masuk dalam kalkulasi, yakni diaspora Indonesia. Mereka merupakan aset bangsa yang tercatat memiliki andil besar dalam sejarah.
Mereka yang dikategori sebagai diaspora Indonesia tidak hanya merujuk kepada WNI yang menetap di luar negeri. Melainkan juga para WNA yang merupakan anak WNI yang memilih pindah kewarganegaraan, mantan WNI, dan anak dari mantan WNI juga dikategori sebagai diaspora Indonesia. Dengan kata lain, diaspora Indonesia merupakan orang yang menetap di luar negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia.
Latar yang Kompleks
Tidak ada yang tahu berapa persisnya jumlah diaspora Indonesia. Tetapi, berdasarkan data yang ada, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 7-8 juta jiwa, yang keberadaannya tersebar di banyak negara di berbagai benua: Asia, Eropa, Australia, Afrika hingga Amerika, di mana profesi yang dijalankan sangat beragam.
Dari semua itu, sebaran terbesar diaspora Indonesia berada di 10 negara. Malaysia menjadi yang terbanyak yakni 3,5 juta orang. Kemudian disusul Belanda (1,7 juta), Arab Saudi (1 juta), Taiwan (300.000), Singapura (198.444), Hongkong (168.214), Amerika Serikat (142.000), Uni Emirat Arab (111.987), Brunei Darussalam (80.000), dan Suriname (80.000). Data sudah termasuk diaspora keturunan Indonesia, TKI legal dan ilegal (Goodstats.id, 30/1/2023).
Menjadi diaspora merupakan pilihan personal yang dilatari oleh faktor yang kompleks. Dalam sejarah, preferensi menjadi diaspora datang dari persoalan ekonomi, politik, hingga kolonialisme yang tercatat pernah bercokol di negeri ini. Pada tahun 1890, semisal, pemerintah kolonial mendatangkan buruh-buruh dari pulau Jawa ke Suriname. Tak hanya alasan ekonomi yang melatari, melainkan diantaranya ada yang menjadi korban penculikan (Susanti, 2016: 108).
Ketika prahara politik berkobar di medio 1960-an, akibat faktor antagonisme ideologis, banyak orang-orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke negara asalnya. Ini lantaran ada kecemasan akan kelangsungan hidup di tengah masifnya gerakan depolitisasi dan deideologisasi komunisme di bawah Orde Baru.
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI
DALAM dunia yang semakin mengglobal, batas-batas antarbangsa semakin memudar dan tak lagi muncul sebagai hambatan bagi setiap individu untuk berjejaring dan berinteraksi secara luas. Cara pandang mengenai masa depan bangsa sudah semestinya diletakkan ke dalam cakrawala kebangsaan yang lebih konstruktif dan kontekstual.
Cara pandang tentang cinta Tanah Air (nasionalisme), yang kerap diartikan sebagai perasaan keterkaitan pada negara-bangsa dan karenanya memiliki kewajiban untuk ikut membela dan memajukan negara, kini tidak bisa direduksi. Kehadiran langsung seseorang dalam ruang teritorial negara asalnya yang kemudian dimaknai sangat cinta Tanah Air, cara pandang demikian kurang relevan dalam konteks kehidupan yang semakin mengglobal.
Prinsipnya kewajiban untuk membela dan memajukan negara bukan semata-mata tentang keberadaan langsung seseorang pada negara asalnya. Namun lebih dari itu adalah bagaimana seorang individu, walaupun melintasi trayek yang “berbeda”, dalam membangun bangsa ini (Indonesia) tetap berkomitmen pada tujuan bersama: cita-cita kemerdekaan!
Komitmen dalam membangun bangsa pada akhirnya bertumpu ke dalam pertanyaan mengenai masa depan Indonesia di abad ke-21. Telah banyak proyeksi disusun, namun terdapat satu faktor yang seringkali luput masuk dalam kalkulasi, yakni diaspora Indonesia. Mereka merupakan aset bangsa yang tercatat memiliki andil besar dalam sejarah.
Mereka yang dikategori sebagai diaspora Indonesia tidak hanya merujuk kepada WNI yang menetap di luar negeri. Melainkan juga para WNA yang merupakan anak WNI yang memilih pindah kewarganegaraan, mantan WNI, dan anak dari mantan WNI juga dikategori sebagai diaspora Indonesia. Dengan kata lain, diaspora Indonesia merupakan orang yang menetap di luar negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia.
Latar yang Kompleks
Tidak ada yang tahu berapa persisnya jumlah diaspora Indonesia. Tetapi, berdasarkan data yang ada, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 7-8 juta jiwa, yang keberadaannya tersebar di banyak negara di berbagai benua: Asia, Eropa, Australia, Afrika hingga Amerika, di mana profesi yang dijalankan sangat beragam.
Dari semua itu, sebaran terbesar diaspora Indonesia berada di 10 negara. Malaysia menjadi yang terbanyak yakni 3,5 juta orang. Kemudian disusul Belanda (1,7 juta), Arab Saudi (1 juta), Taiwan (300.000), Singapura (198.444), Hongkong (168.214), Amerika Serikat (142.000), Uni Emirat Arab (111.987), Brunei Darussalam (80.000), dan Suriname (80.000). Data sudah termasuk diaspora keturunan Indonesia, TKI legal dan ilegal (Goodstats.id, 30/1/2023).
Menjadi diaspora merupakan pilihan personal yang dilatari oleh faktor yang kompleks. Dalam sejarah, preferensi menjadi diaspora datang dari persoalan ekonomi, politik, hingga kolonialisme yang tercatat pernah bercokol di negeri ini. Pada tahun 1890, semisal, pemerintah kolonial mendatangkan buruh-buruh dari pulau Jawa ke Suriname. Tak hanya alasan ekonomi yang melatari, melainkan diantaranya ada yang menjadi korban penculikan (Susanti, 2016: 108).
Ketika prahara politik berkobar di medio 1960-an, akibat faktor antagonisme ideologis, banyak orang-orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke negara asalnya. Ini lantaran ada kecemasan akan kelangsungan hidup di tengah masifnya gerakan depolitisasi dan deideologisasi komunisme di bawah Orde Baru.