Nasionalisme Diaspora Indonesia

Jum'at, 28 Juli 2023 - 13:37 WIB
loading...
A A A
Meskipun dunia telah bertransformasi dengan berakhirnya perang dingin, yang kemudian diglorifikasi Francis Fukuyama sebagai kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme freemarket atas komunisme lewat tesis The End of History and the Last Man, tampaknya ada kecenderungan menguatnya motif ekonomi di balik preferensi menjadi diaspora, di samping motif pendidikan.

Berdasarkan data Dirjen Imigrasi Kemenkumham, tercatat bahwa di setiap tahunnya, tidak kurang 1.000 warga Indonesia memilih untuk pindah status kewarganegaraan. Fenomena ini tentu tidak bisa dilihat sebagai bentuk pudarnya nasionalisme, melainkan pilihan mereka dilatari berbagai rasionalisasi yang bukan berarti tidak cinta Bumi Pertiwi.

Di Singapura saja, beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara gradual. Tercatat sejak 2019 (940 orang), 2020 (811 orang), 2021 (1070 orang), 2022 (1091 orang), dan per Januari-Apri 2023 sudah terhitung 329 warga negara Indonesia pindah status kewarganegaraan Singapura. Secara umum mereka ini adalah warga negara yang berusia 25 sampai 35 tahun.

Trend perpindahan status kewarganegaraan mestinya dipandang sebagai bentuk otokritik terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin dan memenuhi hak-hak setiap warga negara. Utamanya hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (standart of living and quality of life). Tanpa adanya jaminan akan masa depan warganya, maka fenomena yang demikian akan terus berlanjut.

Artinya munculnya trend perpindahan status kewarganegaraan ini bukan masalah nasionalisme, melainkan persoalan struktural yang menyebabkan munculnya ketidakpastian akan masa depan warga negara. Sehingga pilihan mencari sandaran di tempat lain menjadi konsekuensi, sebagaimana diaspora Indonesia di masa lampau memilih – atau dipaksa – pindah ke Suriname.

Faktanya, warga Indonesia yang telah berpindah kewarganegaraan masih tetap menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Hari-hari bersejarah bangsa ini turut dirayakan dalam suasana yang penuh penghayatan. Kredo bahwa nasionalisme sejati harus diwujudkan lewat kehadiran fisik di Indonesia merupakan cara pandang yang sepenuhnya benar.

Kendati menetap di negeri orang, namun semangat nasionalisme dari para diaspora Indonesia tidak lekang dalam ruang dan waktu. Kesadaran akan nasionalisme selalu dirawat dan dimanifestasi ke dalam, salah satunya hadirnya paguyuban-paguyuban kedaerahan, organisasi pelajar hingga kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan nasionalisme mesti beranjak menuju alam yang lebih kosmopolit.

Kehadiran perhimpunan itu tidak hanya bermakna sebatas tempat berteduh semata, melainkan pada satu sisi sebagai petilasan untuk memupuk dan menebalkan rasa kebangsaan dan kebudayaan serta perisai bagi nilai-nilai keindonesiaan. Hal inilah yang membuat diaspora Indonesia menjadi komunitas yang sarat potensi sekalian kuat koneksi!

Perubahan Mindset
Dalam lintasan sejarah Indonesia, para diaspora terbukti memiliki andil besar bagi perjalanan bangsa. Diaspora Indonesia terang memainkan peran vital dalam mendorong tumbuh berkembangnya nasionalisme, yang dalam perkembangannya, terlibat membidani lahirnya Indonesia modern. Tidak hanya itu, di dalam perjalanan bangsa ini, para diaspora Indonesia juga berperan dalam rancang bangun perekonomian nasional.

Hal ini ditunjukkan para diaspora Indonesia saat memasuki medio 1970-an, saat pemerintahan orde baru waktu itu sedang berkuasa. Parah intelektual ternama yang dikenal istilah “Mafia Berkeley”, tampil menjadi arsitektur ekonomi Orde Baru. Bahkan teknokrat ternama BJ Habibie, diaspora dari Jerman, berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai Presiden.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1169 seconds (0.1#10.140)