Nasionalisme Diaspora Indonesia

Jum'at, 28 Juli 2023 - 13:37 WIB
loading...
Nasionalisme Diaspora Indonesia
Muh Jusrianto, Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muh Jusrianto
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI

DALAM dunia yang semakin mengglobal, batas-batas antarbangsa semakin memudar dan tak lagi muncul sebagai hambatan bagi setiap individu untuk berjejaring dan berinteraksi secara luas. Cara pandang mengenai masa depan bangsa sudah semestinya diletakkan ke dalam cakrawala kebangsaan yang lebih konstruktif dan kontekstual.

Cara pandang tentang cinta Tanah Air (nasionalisme), yang kerap diartikan sebagai perasaan keterkaitan pada negara-bangsa dan karenanya memiliki kewajiban untuk ikut membela dan memajukan negara, kini tidak bisa direduksi. Kehadiran langsung seseorang dalam ruang teritorial negara asalnya yang kemudian dimaknai sangat cinta Tanah Air, cara pandang demikian kurang relevan dalam konteks kehidupan yang semakin mengglobal.

Prinsipnya kewajiban untuk membela dan memajukan negara bukan semata-mata tentang keberadaan langsung seseorang pada negara asalnya. Namun lebih dari itu adalah bagaimana seorang individu, walaupun melintasi trayek yang “berbeda”, dalam membangun bangsa ini (Indonesia) tetap berkomitmen pada tujuan bersama: cita-cita kemerdekaan!

Komitmen dalam membangun bangsa pada akhirnya bertumpu ke dalam pertanyaan mengenai masa depan Indonesia di abad ke-21. Telah banyak proyeksi disusun, namun terdapat satu faktor yang seringkali luput masuk dalam kalkulasi, yakni diaspora Indonesia. Mereka merupakan aset bangsa yang tercatat memiliki andil besar dalam sejarah.

Mereka yang dikategori sebagai diaspora Indonesia tidak hanya merujuk kepada WNI yang menetap di luar negeri. Melainkan juga para WNA yang merupakan anak WNI yang memilih pindah kewarganegaraan, mantan WNI, dan anak dari mantan WNI juga dikategori sebagai diaspora Indonesia. Dengan kata lain, diaspora Indonesia merupakan orang yang menetap di luar negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia.

Latar yang Kompleks
Tidak ada yang tahu berapa persisnya jumlah diaspora Indonesia. Tetapi, berdasarkan data yang ada, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 7-8 juta jiwa, yang keberadaannya tersebar di banyak negara di berbagai benua: Asia, Eropa, Australia, Afrika hingga Amerika, di mana profesi yang dijalankan sangat beragam.

Dari semua itu, sebaran terbesar diaspora Indonesia berada di 10 negara. Malaysia menjadi yang terbanyak yakni 3,5 juta orang. Kemudian disusul Belanda (1,7 juta), Arab Saudi (1 juta), Taiwan (300.000), Singapura (198.444), Hongkong (168.214), Amerika Serikat (142.000), Uni Emirat Arab (111.987), Brunei Darussalam (80.000), dan Suriname (80.000). Data sudah termasuk diaspora keturunan Indonesia, TKI legal dan ilegal (Goodstats.id, 30/1/2023).

Menjadi diaspora merupakan pilihan personal yang dilatari oleh faktor yang kompleks. Dalam sejarah, preferensi menjadi diaspora datang dari persoalan ekonomi, politik, hingga kolonialisme yang tercatat pernah bercokol di negeri ini. Pada tahun 1890, semisal, pemerintah kolonial mendatangkan buruh-buruh dari pulau Jawa ke Suriname. Tak hanya alasan ekonomi yang melatari, melainkan diantaranya ada yang menjadi korban penculikan (Susanti, 2016: 108).

Ketika prahara politik berkobar di medio 1960-an, akibat faktor antagonisme ideologis, banyak orang-orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke negara asalnya. Ini lantaran ada kecemasan akan kelangsungan hidup di tengah masifnya gerakan depolitisasi dan deideologisasi komunisme di bawah Orde Baru.

Meskipun dunia telah bertransformasi dengan berakhirnya perang dingin, yang kemudian diglorifikasi Francis Fukuyama sebagai kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme freemarket atas komunisme lewat tesis The End of History and the Last Man, tampaknya ada kecenderungan menguatnya motif ekonomi di balik preferensi menjadi diaspora, di samping motif pendidikan.

Berdasarkan data Dirjen Imigrasi Kemenkumham, tercatat bahwa di setiap tahunnya, tidak kurang 1.000 warga Indonesia memilih untuk pindah status kewarganegaraan. Fenomena ini tentu tidak bisa dilihat sebagai bentuk pudarnya nasionalisme, melainkan pilihan mereka dilatari berbagai rasionalisasi yang bukan berarti tidak cinta Bumi Pertiwi.

Di Singapura saja, beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara gradual. Tercatat sejak 2019 (940 orang), 2020 (811 orang), 2021 (1070 orang), 2022 (1091 orang), dan per Januari-Apri 2023 sudah terhitung 329 warga negara Indonesia pindah status kewarganegaraan Singapura. Secara umum mereka ini adalah warga negara yang berusia 25 sampai 35 tahun.

Trend perpindahan status kewarganegaraan mestinya dipandang sebagai bentuk otokritik terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin dan memenuhi hak-hak setiap warga negara. Utamanya hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (standart of living and quality of life). Tanpa adanya jaminan akan masa depan warganya, maka fenomena yang demikian akan terus berlanjut.

Artinya munculnya trend perpindahan status kewarganegaraan ini bukan masalah nasionalisme, melainkan persoalan struktural yang menyebabkan munculnya ketidakpastian akan masa depan warga negara. Sehingga pilihan mencari sandaran di tempat lain menjadi konsekuensi, sebagaimana diaspora Indonesia di masa lampau memilih – atau dipaksa – pindah ke Suriname.

Faktanya, warga Indonesia yang telah berpindah kewarganegaraan masih tetap menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Hari-hari bersejarah bangsa ini turut dirayakan dalam suasana yang penuh penghayatan. Kredo bahwa nasionalisme sejati harus diwujudkan lewat kehadiran fisik di Indonesia merupakan cara pandang yang sepenuhnya benar.

Kendati menetap di negeri orang, namun semangat nasionalisme dari para diaspora Indonesia tidak lekang dalam ruang dan waktu. Kesadaran akan nasionalisme selalu dirawat dan dimanifestasi ke dalam, salah satunya hadirnya paguyuban-paguyuban kedaerahan, organisasi pelajar hingga kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan nasionalisme mesti beranjak menuju alam yang lebih kosmopolit.

Kehadiran perhimpunan itu tidak hanya bermakna sebatas tempat berteduh semata, melainkan pada satu sisi sebagai petilasan untuk memupuk dan menebalkan rasa kebangsaan dan kebudayaan serta perisai bagi nilai-nilai keindonesiaan. Hal inilah yang membuat diaspora Indonesia menjadi komunitas yang sarat potensi sekalian kuat koneksi!

Perubahan Mindset
Dalam lintasan sejarah Indonesia, para diaspora terbukti memiliki andil besar bagi perjalanan bangsa. Diaspora Indonesia terang memainkan peran vital dalam mendorong tumbuh berkembangnya nasionalisme, yang dalam perkembangannya, terlibat membidani lahirnya Indonesia modern. Tidak hanya itu, di dalam perjalanan bangsa ini, para diaspora Indonesia juga berperan dalam rancang bangun perekonomian nasional.

Hal ini ditunjukkan para diaspora Indonesia saat memasuki medio 1970-an, saat pemerintahan orde baru waktu itu sedang berkuasa. Parah intelektual ternama yang dikenal istilah “Mafia Berkeley”, tampil menjadi arsitektur ekonomi Orde Baru. Bahkan teknokrat ternama BJ Habibie, diaspora dari Jerman, berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai Presiden.

Hari ini, kita bisa melihat Rosan Perkasa Roeslani, Wakil Menteri BUMN, dulunya diaspora Indonesia dan kembali ke Indonesia di awal abad ke-21 yang kemudian turut andil dalam proses pembangunan nasional. Dan sebelumnya Archandra Tahar, Wakil Menteri ESDM 2016-2019, juga bagian dari diaspora kembali untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa. Saat ini bukan hanya mereka, tetapi masih banyak yang lain di profesi beragam.

Dengan potret tersebut, maka mindset yang memahami diaspora hanya dalam pengertian sempit sebagai perantau di negeri orang, perlu diubah. Diaspora harus diletakkan melampaui urusan tempat tinggal. Sebagai satu komunitas yang sarat akan potensi ilmu, ide, modal, jaringan dan pengalaman, sudah seharusnya diaspora perlu dilihat sebagai aset potensial bagi kemajuan bangsa.

Diaspora menjadi non-stateactor, yang dengan kemampuan dan potensi mereka dapat menggunakan instrumen, salah satunya soft diplomacy untuk mempromosikan kepentingan nasional (national interest) di aras global. Apalagi mengingat mereka memiliki latar belakang berbeda-beda yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk bergerak atas nama kepentingan bangsa.

Diaspora Indonesia dapat diarahkan untuk mengisi ruang-ruang diplomasi yang belum mampu atau sulit digarap oleh aktor negara. Dalam pengertian ini, potensi diaspora untuk jangka panjang, bisa menghasilkan umpan balik yang positif bagi negara asal. Oleh karena itu, keberadaan diaspora Indonesia tak perlu dilihat dengan kacamata yang penuh curiga atau khawatir nasionalisme mereka akan pudar.

Hal yang terpenting juga adalah besarnya potensi diaspora harus dimanfaatkan secara maksimal, dengan menempatkan mereka sebagai bagian dari komponen pembangunan bangsa. Selain bagian dari komponen diplomasi, juga mereka bisa kembali untuk terlibat membangun negara secara langsung dengan mengisi ruang-ruang seperti eksekutif, legislatif, yudikatif atau bergerak di luar lingkaran trias politika terlebih seperti pengusaha.

Disamping itu, pemerintah juga perlu mempersiapkan segenap infrastruktur ekonomi yang mampu menjamin masa depan warga bangsa, sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional. Hal ini diletakkan sebagai upaya antisipatif di tengah bonus demografis, sehingga dengan itu, opsi untuk mencari sandaran hidup di negara lain dapat diminimalkan. Cita-cita tersebut bisa terealisasi dengan baik dan lancar ketika dukungan dari segenap elemen bangsa berdatangan.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1985 seconds (0.1#10.140)