Akar Masalah Hukum di Indonesia

Jum'at, 21 Juli 2023 - 13:59 WIB
loading...
Akar Masalah Hukum di Indonesia
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

INDONESIA termasuk salah satu negara besar, baik aspek luas wilayah yakni 1.905 juta km persegi maupun dari jumlah penduduk 270 juta jiwa. Keragaman etnis dan budaya terbanyak di Asia Tenggara membuat Indonesia menghadapi ragam masalah yang bersifat kompleks.

Salah satu masalah yang mencolok dan sangat mempengaruhi kehidupan rakyat adalah persoalan hukum. Di samping juga masalah ekonomi dan sosial. Akar masalah hukum di negeri ini dapat dibedakan, akar masalah bersifat teoritik dan bersifat praktik atau praktik hukum dalam kehidupan masyarakat.

Selain dua akar masalah tersebut, kurangnya atau tidak adanya penelitian budaya hukum yang hidup dalam masyarakat lokal; meliputi kurang lebih 34 provinsi dengan luas wilayah meliputi sembilan adat di seluruh Indonesia (Van Vollenhoeven).

Sejak kemerdekaan pendidikan hukum “dicekoki” sistem hukum barat (Belanda) yang berjiwa individualistik. Sedangkan temuan budaya hukum adat yang mengedepankan musyawarah mufakat untuk menciptakan perdamaian dikesampingkan pemerintah Kolonial selepas kemerdekaan secara sengaja di mana peradilan bumiputera/adat dihapuskan dan peradilan agama dipersempit hanya berlaku untuk peristiwa Nikah, Talak dan Rujuk saja (NTR).

Secara teoritik pola pemikiran ahli hukum selepas kemerdekaan bahkan sampai saat ini berada di persimpangan jalan menuju ketidakpastian dan ketidakmanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan. Para ahli hukum begitu pula praktisi hukum selama ini tengah mengalami keadaan yang disebut trial and error. Akibatnya kita saksikan perlakuan hukum yang tidak sama bagi setiap orang bahkan dalam objek perkara sama, terjadi putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain.

Pemikiran yang mewarnai hukum yang dibawa Pemerintah Kolonial Belanda bersumber pada paham individualistik yang masih menganut Machiavelisme. Pemikiran tersebut diwujudkan secara konkret dengan menempatkan hukum dalam pengertian hukum tertulis (UU).

Di Indonesia UU dimaksud KUHP yang mulai diberlakukan pada tahun 1946 dan diberlakukan untuk Jawa dan di luar Jawa dengan UU No 73/1958. Di dalam UU Drt No 1/1951 dinyatakan bahwa selain undang-undang (hukum tertulis) juga berlaku ketentuan hukum adat (tidak tertulis) tetapi perlu diperiksa ada tidak padanannya di dalam UU tertulis KUHP.

Sejak 1951 telah berlaku dua sistem hukum di Indonesia yaitu hukum tertulis dari Hindia Belanda dan hukum tidak tertulis/hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat. Namun demikian sejak pemberlakuan KUHP, tidak ada lagi penelitian mengenai hukum adat kecuali yang telah dilakukan Van Vollenhouven dengan karyanya, 19 wilayah hukum adat.

Ketidakseimbangan antara perkembangan hukum tertulis-legislasi dan hukum tidak tertulis selama hampir 75 tahun dan pengaruh kuat transplantasi hukim asing menyebabkan para ahli hukum tidak lagi tertarik untuk mengembangkan hukum adat. Bahkan hukum adat dalam kurikulum pendidikan hukum saat ini, mata kuliah hukum adat hanya diberikan dalam satu semester dengan 2 SKS saja.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1200 seconds (0.1#10.140)