RIP Kerugian Negara dalam UU Tipikor
loading...

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A
A
A
Romli Atmasasmita
BERITA baru di dalam UU BUMN tahun 2025 layaknya petir halilintar di siang bolong, karena tampak kontradiktif dengan semangat awal pemerintah mencegah terjadinya kerugian keuangan negara karena korupsi . Namun demikian, kita tidak boleh apriori mempunyai sikap sedemikian pemerintah kontraproduktif.
Secara objektif kita ketahui bahwa strategi kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di samping menangguk sukses dan kepuasan publik 75%, di sisi lain juga telah menimbulkan efek samping negatif yaitu lebih mengutamakan adanya kerugian negara daripada ada/tidak adanya perbuatan yang secara melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Lebih jauh, tidak lagi dipertimbangkan apakah perbuatan pidana yang terjadi telah disebut tegas sebagai tindak pidana korupsi ( tipikor ) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor yang menyatakan: Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Dalam arti lain, setiap pelanggaran pidana yang terjadi di UU lain selain UU Tipikor harus dinyatakan tegas sebagai tipikor, agar UU Tipikor dapat diberlakukan. Begitu pula hanya wewenang Pengadilan Tipikor berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009. Namun, dalam praktik peradilan tipikor, rambu-rambu ketentuan Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 c UU Pengadilan Tipikor tidak pernah diterapkan baik oleh kejaksaan dan majelis pengadilan tipikor, sehingga dapat disimpulkan bahwa praktik peradilan tipikor sejak tahun 1999 sampai saat ini, secara terang-terangan dan terbuka telah melanggar ketentuan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor sendiri.
Pelanggaran atas UU a quo tidak dikoreksi sampai pada putusan kasasi dan peninjauan kembali oleh Majelis Hakim Agung. Dalam keadaan dan masalah hukum sedemikian, maka tidaklah dapat dicegah dan dikoreksi praktik peradilan tipikor sedemikian dan jika dikoreksi seluruh proses peradilan tindak pidana korupsi, maka seluruh putusan pengadilan tipikor yang berkekuatan hukum tetap dapat dibatalkan karena tidak sah.
Dalam keadaan dan masalah seperti itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor hanya digunakan sebagai sarana untuk tujuan yang bertentangan dengan UU, sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang berujung pada ketidakadilan terhadap pencari keadilan dalam perkara tipikor.
BERITA baru di dalam UU BUMN tahun 2025 layaknya petir halilintar di siang bolong, karena tampak kontradiktif dengan semangat awal pemerintah mencegah terjadinya kerugian keuangan negara karena korupsi . Namun demikian, kita tidak boleh apriori mempunyai sikap sedemikian pemerintah kontraproduktif.
Secara objektif kita ketahui bahwa strategi kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di samping menangguk sukses dan kepuasan publik 75%, di sisi lain juga telah menimbulkan efek samping negatif yaitu lebih mengutamakan adanya kerugian negara daripada ada/tidak adanya perbuatan yang secara melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Lebih jauh, tidak lagi dipertimbangkan apakah perbuatan pidana yang terjadi telah disebut tegas sebagai tindak pidana korupsi ( tipikor ) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor yang menyatakan: Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Baca Juga :
Strategi Pemberantasan Korupsi
Dalam arti lain, setiap pelanggaran pidana yang terjadi di UU lain selain UU Tipikor harus dinyatakan tegas sebagai tipikor, agar UU Tipikor dapat diberlakukan. Begitu pula hanya wewenang Pengadilan Tipikor berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009. Namun, dalam praktik peradilan tipikor, rambu-rambu ketentuan Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 c UU Pengadilan Tipikor tidak pernah diterapkan baik oleh kejaksaan dan majelis pengadilan tipikor, sehingga dapat disimpulkan bahwa praktik peradilan tipikor sejak tahun 1999 sampai saat ini, secara terang-terangan dan terbuka telah melanggar ketentuan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor sendiri.
Pelanggaran atas UU a quo tidak dikoreksi sampai pada putusan kasasi dan peninjauan kembali oleh Majelis Hakim Agung. Dalam keadaan dan masalah hukum sedemikian, maka tidaklah dapat dicegah dan dikoreksi praktik peradilan tipikor sedemikian dan jika dikoreksi seluruh proses peradilan tindak pidana korupsi, maka seluruh putusan pengadilan tipikor yang berkekuatan hukum tetap dapat dibatalkan karena tidak sah.
Dalam keadaan dan masalah seperti itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor hanya digunakan sebagai sarana untuk tujuan yang bertentangan dengan UU, sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang berujung pada ketidakadilan terhadap pencari keadilan dalam perkara tipikor.
(zik)
Lihat Juga :