Narsisme Politik dan Citra Kota yang Pudar
loading...
A
A
A
Implikasi ini kemudian juga berdampak pada pemerintah daerah. Sebab salah satu pendapatan asli daerah (PAD) yakni melalui pajak iklan luar ruang. Bila bisnisnya saja terdisrupsi, bagaimana pengusaha yang legal mampu mengembangkan bisnisnya dan meningkatkan setoran pajak daerah?
Bukan hanya pebisnis iklan luar ruang legal saja yang terdampak. Pemerintah sendiri sejatinya juga terdampak. Sampah visual itu tentu akan merusak keindahan kota, menghadirkan kualitas visual publik yang buruk, dan merusak lingkungan. Apalagi jika sampah visual itu dibiarkan terlalu lama ada di ruang publik. Gambaran itu bisa menimbulkan citra negatif pemerintah.
Ketidaktegasan pemerintah itu kerap berbenturan dengan kepentingan politik kelompok. Apalagi kepala daerah yang masih terafiliasi dengan partai tertentu. Tentu ini menjadi dilema yang tak jarang membuat pemerintah lamban dalam bertindak. Implikasi berikutnya kemudian memunculkan persepsi ketidakpastian hukum dan standar ganda, karena pemerintah cenderung membiarkan sampah visual ilegal itu tetap eksis. Sementara, disrupsi kepada bisnis yang legal masih tetap terjadi.
Konsep green election, yang seharusnya bisa menghadirkan kampanye yang ramah lingkungan, seolah jauh panggang dari api. Alat-alat peraga kampanye, mayoritas masih menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan seperti MMT (metromedia technologies) ataupun bahan polimer sintetis. Ini tentu menjadi hal yang memprihatinkan bila tidak ditangani secara serius. Apalagi bila harus berakhir di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) yang ada di kota lain, seperti Bantar Gebang, Bekasi, yang sampahnya banyak bersumber dari Jakarta. Sampah visual yang tak ramah lingkungan itu dapat berakibat negatif pada kota tetangga.
Amrurobbi (2021) dalam Jurnal Adhyasta Pemilu yang diterbitkan Bawaslu menyebutkan sudah seharusnya ada regulasi yang lebih ketat untuk berpihak pada lingkungan hidup agar terhindar dari bencana ekologis. Selain itu, cara-cara kampanye konvensional pun mesti diganti dengan menggunakan new media atau kampanye yang menggunakan material ramah lingkungan, sehingga praktik berdemokrasi kita bisa mewujudkan konsep green election.
Dapat dibayangkan bila kampanye yang legal saja masih menyisakan pekerjaan rumah (PR), bagaimana halnya dengan kampanye ilegal yang menghasilkan sampah visual di mana-mana. Oleh karenanya, narsisme politik yang ada harus diimbangi oleh kesadaran dan etika berpolitik yang tepat. Sebab, egosime elite tertentu bisa berdampak buruk bagi citra kota dan kesehatan warganya.
Selain itu, citra dan kerja keras jajaran pemerintah daerah, jangan sampai menjadi tumbal perhelatan demokrasi yang tak sesuai tempatnya. Coreng-moreng dan umbul-umbul ilegal seolah mengangkangi keindahan kota yang telah dirancang sedemikian rupa sejak lama. Sangat disayangkan, perilaku elite politik yang demikian. Belum menjabat saja sudah bertindak ilegal di depan muka. Akankah kita yakin memilih wakil rakyat dan pemimpin yang demikian? Sebaiknya kita perlu renungkan ulang, agar tak menyesal.
Bukan hanya pebisnis iklan luar ruang legal saja yang terdampak. Pemerintah sendiri sejatinya juga terdampak. Sampah visual itu tentu akan merusak keindahan kota, menghadirkan kualitas visual publik yang buruk, dan merusak lingkungan. Apalagi jika sampah visual itu dibiarkan terlalu lama ada di ruang publik. Gambaran itu bisa menimbulkan citra negatif pemerintah.
Ketidaktegasan pemerintah itu kerap berbenturan dengan kepentingan politik kelompok. Apalagi kepala daerah yang masih terafiliasi dengan partai tertentu. Tentu ini menjadi dilema yang tak jarang membuat pemerintah lamban dalam bertindak. Implikasi berikutnya kemudian memunculkan persepsi ketidakpastian hukum dan standar ganda, karena pemerintah cenderung membiarkan sampah visual ilegal itu tetap eksis. Sementara, disrupsi kepada bisnis yang legal masih tetap terjadi.
Konsep green election, yang seharusnya bisa menghadirkan kampanye yang ramah lingkungan, seolah jauh panggang dari api. Alat-alat peraga kampanye, mayoritas masih menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan seperti MMT (metromedia technologies) ataupun bahan polimer sintetis. Ini tentu menjadi hal yang memprihatinkan bila tidak ditangani secara serius. Apalagi bila harus berakhir di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) yang ada di kota lain, seperti Bantar Gebang, Bekasi, yang sampahnya banyak bersumber dari Jakarta. Sampah visual yang tak ramah lingkungan itu dapat berakibat negatif pada kota tetangga.
Amrurobbi (2021) dalam Jurnal Adhyasta Pemilu yang diterbitkan Bawaslu menyebutkan sudah seharusnya ada regulasi yang lebih ketat untuk berpihak pada lingkungan hidup agar terhindar dari bencana ekologis. Selain itu, cara-cara kampanye konvensional pun mesti diganti dengan menggunakan new media atau kampanye yang menggunakan material ramah lingkungan, sehingga praktik berdemokrasi kita bisa mewujudkan konsep green election.
Dapat dibayangkan bila kampanye yang legal saja masih menyisakan pekerjaan rumah (PR), bagaimana halnya dengan kampanye ilegal yang menghasilkan sampah visual di mana-mana. Oleh karenanya, narsisme politik yang ada harus diimbangi oleh kesadaran dan etika berpolitik yang tepat. Sebab, egosime elite tertentu bisa berdampak buruk bagi citra kota dan kesehatan warganya.
Selain itu, citra dan kerja keras jajaran pemerintah daerah, jangan sampai menjadi tumbal perhelatan demokrasi yang tak sesuai tempatnya. Coreng-moreng dan umbul-umbul ilegal seolah mengangkangi keindahan kota yang telah dirancang sedemikian rupa sejak lama. Sangat disayangkan, perilaku elite politik yang demikian. Belum menjabat saja sudah bertindak ilegal di depan muka. Akankah kita yakin memilih wakil rakyat dan pemimpin yang demikian? Sebaiknya kita perlu renungkan ulang, agar tak menyesal.
(zik)