Terkait Mata Pencaharian Rakyat Kecil, DPR Diminta Hapus Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rakyat kecil khususnya yang mempunyai mata pencaharian atau pekerjaan di bidang tembakau tengah khawatir. Hal ini terkait dengan RUU Kesehatan yang mencantumkan soal tembakau.
Sehingga memunculkan polemik yang ditimbulkan dari aturan di RUU Kesehatan bukan hanya di Pasal 154 saja, tetapi juga di Pasal 156 yang mengatur tentang standarisasi produk tembakau.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS menegaskan, Pasal 154-158 tentang Pengamanan Zat Adiktif pada RUU Kesehatan diyakini dapat menghancurkan sektor tembakau.
"Tidak hanya para pekerja yang akan hilang mata pencahariannya, tetapi juga saudara-saudara kita petani tembakau, pekerja seni, dan pedagang yang hidupnya bergantung dari keberadaan industri tembakau,” ungkap Sudarto dalam keterangan resminya, Rabu (14/6/2023).
Sebab, polemik yang ditimbulkan dari aturan tersebut bukan hanya di Pasal 154 saja, tetapi juga di Pasal 156 yang mengatur tentang standarisasi produk kemasan tembakau.
Pasal 156 tersebut dikhawatirkan akan menjadi tumpang tindih dengan aturan lain yang telah berlaku. Selain itu, Pasal tersebut juga dinilai akan memberikan Kementerian Kesehatan kekuasaan pengaturan yang melampaui batasnya.
Ia menambahkan, penyetaraan tembakau dengan produk ilegal, yaitu narkotika dan psikotropika, serta produk yang diatur secara ketat, yaitu minuman beralkohol adalah ketidakadilan.
"Penyetaraan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam pasal-pasal bermasalah di RUU Kesehatan menyakiti perasaan kami sebagai tenaga kerja legal yang terus berjuang untuk mencari nafkah halal bagi keluarga kami," ujarnya.
Oleh karena itu, FSP RTMM-SPSI mendesak Komisi IX DPR RI untuk mengeluarkan pasal-pasal tembakau tersebut dari RUU Kesehatan. Aturan tersebut dinilai dapat mengancam lebih dari 143 ribu anggotanya yang dapat kehilangan pekerjaan jika pasal-pasal dimaksud diloloskan.
"RTMM-SPSI dengan tegas menolak pasal tembakau dalam RUU Omnibus Kesehatan" terang Sudato.
Atas dasar itu, FSP RTMM-SPSI juga berkomitmen untuk tidak akan memilih anggota DPR yang tidak berpihak dan tidak berani membela kepentingan tenaga kerja dengan cara menolak pasal-pasal tembakau pada RUU Kesehatan.
"Kami pastikan bahwa kami akan ke Jakarta bila tuntutan kami tidak didengar," tegasnya.
Sudarto melanjutkan, pasal tembakau di RUU Kesehatan mencerminkan bahwa para penyusun aturan ini perlu memahami fakta dan kondisi industri serta ekosistem pertembakauan.
"Untuk itu kami mendesak agar anggota Dewan yang terhormat, khususnya Panja Komisi IX, untuk mengeluarkan pengaturan tembakau dari RUU Kesehatan," pintanya.
Sebelumnya secara terpisah, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo, mempertanyakan masuknya pasal-pasal tembakau dalam RUU Kesehatan.
Sebab menurutnya, RUU Kesehatan sejatinya dirancang dengan tujuan memperbaiki tata kelola kesehatan masyarakat dan bukan mengatur terkait komoditas tertentu.
"Saya menyimpulkan bahwa pertanyaannya, ada apa Kementerian Kesehatan menyisipkan Pasal ini? Ini penggelapan Pasal namanya. Penggelapan Pasal yang tidak menjadi domain dari pada undang-undang, karena undang-undang ini mengatur tata kelola kesehatan," ujarnya usai diskusi Forum Legislasi dengan tema Mengkaji Lebih Dalam Zat Adiktif di RUU Kesehatan di Gedung DPR.
Sehingga memunculkan polemik yang ditimbulkan dari aturan di RUU Kesehatan bukan hanya di Pasal 154 saja, tetapi juga di Pasal 156 yang mengatur tentang standarisasi produk tembakau.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS menegaskan, Pasal 154-158 tentang Pengamanan Zat Adiktif pada RUU Kesehatan diyakini dapat menghancurkan sektor tembakau.
"Tidak hanya para pekerja yang akan hilang mata pencahariannya, tetapi juga saudara-saudara kita petani tembakau, pekerja seni, dan pedagang yang hidupnya bergantung dari keberadaan industri tembakau,” ungkap Sudarto dalam keterangan resminya, Rabu (14/6/2023).
Sebab, polemik yang ditimbulkan dari aturan tersebut bukan hanya di Pasal 154 saja, tetapi juga di Pasal 156 yang mengatur tentang standarisasi produk kemasan tembakau.
Pasal 156 tersebut dikhawatirkan akan menjadi tumpang tindih dengan aturan lain yang telah berlaku. Selain itu, Pasal tersebut juga dinilai akan memberikan Kementerian Kesehatan kekuasaan pengaturan yang melampaui batasnya.
Ia menambahkan, penyetaraan tembakau dengan produk ilegal, yaitu narkotika dan psikotropika, serta produk yang diatur secara ketat, yaitu minuman beralkohol adalah ketidakadilan.
"Penyetaraan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam pasal-pasal bermasalah di RUU Kesehatan menyakiti perasaan kami sebagai tenaga kerja legal yang terus berjuang untuk mencari nafkah halal bagi keluarga kami," ujarnya.
Oleh karena itu, FSP RTMM-SPSI mendesak Komisi IX DPR RI untuk mengeluarkan pasal-pasal tembakau tersebut dari RUU Kesehatan. Aturan tersebut dinilai dapat mengancam lebih dari 143 ribu anggotanya yang dapat kehilangan pekerjaan jika pasal-pasal dimaksud diloloskan.
"RTMM-SPSI dengan tegas menolak pasal tembakau dalam RUU Omnibus Kesehatan" terang Sudato.
Atas dasar itu, FSP RTMM-SPSI juga berkomitmen untuk tidak akan memilih anggota DPR yang tidak berpihak dan tidak berani membela kepentingan tenaga kerja dengan cara menolak pasal-pasal tembakau pada RUU Kesehatan.
"Kami pastikan bahwa kami akan ke Jakarta bila tuntutan kami tidak didengar," tegasnya.
Sudarto melanjutkan, pasal tembakau di RUU Kesehatan mencerminkan bahwa para penyusun aturan ini perlu memahami fakta dan kondisi industri serta ekosistem pertembakauan.
"Untuk itu kami mendesak agar anggota Dewan yang terhormat, khususnya Panja Komisi IX, untuk mengeluarkan pengaturan tembakau dari RUU Kesehatan," pintanya.
Sebelumnya secara terpisah, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo, mempertanyakan masuknya pasal-pasal tembakau dalam RUU Kesehatan.
Sebab menurutnya, RUU Kesehatan sejatinya dirancang dengan tujuan memperbaiki tata kelola kesehatan masyarakat dan bukan mengatur terkait komoditas tertentu.
"Saya menyimpulkan bahwa pertanyaannya, ada apa Kementerian Kesehatan menyisipkan Pasal ini? Ini penggelapan Pasal namanya. Penggelapan Pasal yang tidak menjadi domain dari pada undang-undang, karena undang-undang ini mengatur tata kelola kesehatan," ujarnya usai diskusi Forum Legislasi dengan tema Mengkaji Lebih Dalam Zat Adiktif di RUU Kesehatan di Gedung DPR.
(maf)