Dorong Pemerintah Sosialisasikan UU Kesehatan, Pengamat: Enggak Boleh Tertutup
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Kesehatan Pandu Riono mendorong pemerintah menyosialisasikan Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan secara masif kepada masyarakat luas. Menurut dia, pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat, termasuk aturan turunannya.
Sebab, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan ( RUU Kesehatan ) menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 11 Juli 2023 siang menimbulkan pro dan kontra. Pandu menilai, seluruh transformasi di bidang kesehatan melalui UU Kesehatan ini tidak ada akan berjalan sebagaimana mestinya jika pemerintah tidak melakukan sosialiasi secara masif.
“Pemerintah punya tugas, adalah menyosialisasikan undang-undang ini. Enggak boleh tertutup,” ujar Pandu dalam diskusi polemik Trijaya FM bertajuk 'Menanti Arah Baru Layanan Kesehatan Masyarakat', Sabtu (15/7/2023).
“Undang-undang itu harus diklarifikasikan, dijelaskan, kalau perlu dengan peraturan pemerintahnya, peraturan permenkesnya. Itu bagian dari sosialisasi. Kalau enggak gitu, undang-undangnya enggak akan jalan,” sambungnya.
Pandu juga menuturkan bahwa sosialisasi UU Kesehatan ini juga diperlukan agar masalah tenaga kerja kesehatan (nakes) di Indonesia mulai mendapatkan titik terang. Menurut dia, seharusnya pemerintah melalui UU Kesehatan ini tidak hanya diharapkan terfokus untuk mendatangkan tenaga kerja asing, namun justru harus bisa merangkul para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
“Orang Indonesia aja jadi dokter di luar. Jauh lebih banyak. Enggak mau pulang. Nah, ini yang menjadi catatan. Kalau mereka diajak pulang untuk mengisi kekosongan, apa insentif yang bisa kita berikan?” ungkapnya.
“Nah sekarang yang diprioritaskan bukan tenaga asing. Tapi orang Indonesia yang bekerja di luar itu. Jadi ada hal-hal lain yang perlu kita pikirkan. Jadi kita membuka ruang. Jadi jangan lagi dokter Indonesia yang belajar di luar, kemudian kembali dipersulit,” lanjutnya.
Karena itu, ia berharap agar UU Kesehatan yang baru disahkan ini justru bisa mempermudah para nakes, termasuk para nakes yang banyak mengenyam pendidik di luar negeri agar mau bekerja di Indonesia.
Seperti diketahui, selama ini dokter dan nakes di Indonesia wajib mengurus perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) setiap 5 tahun sekali melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi, sehingga banyak dokter dan tenaga kesehatan merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul.
Lantas, pemerintah melalui UU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah. “Nah ini yang selama ini terjadi. Siapa yang persulit? Ya kita semua. Apakah sistemnya, apakah organisasi profesinya, apakah Kemenkesnya, nah ini yang menurut saya menjadi penting,” tegasnya.
“Dan yang paling penting adalah akses terhadap kesehatan, hak untuk sehat yang berkeadilan. Itu yang paling penting. Ruang itu dibuka, dimudahkan, tapi bukan berarti kelihatannya mudah,” pungkasnya.
Sebab, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan ( RUU Kesehatan ) menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 11 Juli 2023 siang menimbulkan pro dan kontra. Pandu menilai, seluruh transformasi di bidang kesehatan melalui UU Kesehatan ini tidak ada akan berjalan sebagaimana mestinya jika pemerintah tidak melakukan sosialiasi secara masif.
“Pemerintah punya tugas, adalah menyosialisasikan undang-undang ini. Enggak boleh tertutup,” ujar Pandu dalam diskusi polemik Trijaya FM bertajuk 'Menanti Arah Baru Layanan Kesehatan Masyarakat', Sabtu (15/7/2023).
“Undang-undang itu harus diklarifikasikan, dijelaskan, kalau perlu dengan peraturan pemerintahnya, peraturan permenkesnya. Itu bagian dari sosialisasi. Kalau enggak gitu, undang-undangnya enggak akan jalan,” sambungnya.
Pandu juga menuturkan bahwa sosialisasi UU Kesehatan ini juga diperlukan agar masalah tenaga kerja kesehatan (nakes) di Indonesia mulai mendapatkan titik terang. Menurut dia, seharusnya pemerintah melalui UU Kesehatan ini tidak hanya diharapkan terfokus untuk mendatangkan tenaga kerja asing, namun justru harus bisa merangkul para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
“Orang Indonesia aja jadi dokter di luar. Jauh lebih banyak. Enggak mau pulang. Nah, ini yang menjadi catatan. Kalau mereka diajak pulang untuk mengisi kekosongan, apa insentif yang bisa kita berikan?” ungkapnya.
“Nah sekarang yang diprioritaskan bukan tenaga asing. Tapi orang Indonesia yang bekerja di luar itu. Jadi ada hal-hal lain yang perlu kita pikirkan. Jadi kita membuka ruang. Jadi jangan lagi dokter Indonesia yang belajar di luar, kemudian kembali dipersulit,” lanjutnya.
Karena itu, ia berharap agar UU Kesehatan yang baru disahkan ini justru bisa mempermudah para nakes, termasuk para nakes yang banyak mengenyam pendidik di luar negeri agar mau bekerja di Indonesia.
Seperti diketahui, selama ini dokter dan nakes di Indonesia wajib mengurus perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) setiap 5 tahun sekali melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi, sehingga banyak dokter dan tenaga kesehatan merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul.
Lantas, pemerintah melalui UU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah. “Nah ini yang selama ini terjadi. Siapa yang persulit? Ya kita semua. Apakah sistemnya, apakah organisasi profesinya, apakah Kemenkesnya, nah ini yang menurut saya menjadi penting,” tegasnya.
“Dan yang paling penting adalah akses terhadap kesehatan, hak untuk sehat yang berkeadilan. Itu yang paling penting. Ruang itu dibuka, dimudahkan, tapi bukan berarti kelihatannya mudah,” pungkasnya.
(rca)