RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015)
JUDUL ini penulis angkat dari obrolan pagi bersama GoodRadioJakarta.com,Rabu, 10 Mei 2023 lalu, yang bertajuk “Polemik RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?” Topik ini tentu saja sangat menarik dan aktual, sebab dua hari sebelumnya, 8 Mei 2023 terjadi Aksi Damai di kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta, yang dikuti puluhan ribu tenaga kesehatan yang tergabung di dalam Lima Organisasi Profesi Kesehatan (IAI, IBI, IDI, PDGI, dan PPNI).
Sepuluh menit sebelum acara, penyiar yang juga bertindak selaku moderator telah menghubung penulis agar bersiap-siap. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada penulis, mengapa lima profesi kesehatan tersebut keberatan?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Untungnya penulis telah beberapa kali terlibat dalam perbincangan melalui webinar bersama organisasi profesi. Jadi bisalah menjawab sesuai yang penulis ketahui.
Mengapa Menolak?
Sebetulnya organisasi profesi kesehatan ini jarang sekali melakukan unjuk rasa, sebab sangat terikat dengan sumpat dan kode etiknya untuk selalu memperhatian keselamatan pasien. Andai pun terpaksa melakukan unjuk rasa mereka tetap harus mengikuti protokol yang telah ditentukan oleh profesinya.
Hemat penulis, setidaknya ada enam alasan mengapa lima organisasi profesi kesehatan itu unjuk rasa menolak RUU (OBL) Kesehatan. Pertama, karena sejak awal RUU ini tidak transparan. Kedua, dalam proses pembahasannya bertebaran fitnah kepada profesinya, politik memecah belah, intimidasi, pembungkaman kemerdekaan berbicara dan berpendapat dengan keluarnya Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan No.HK.0101/D/4902/2023, tertanggal 11 April 2023, sampai kepada “pemecatan” Prof. Zainal Muttaqin di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Ketiga, menggusur beberapa undang-undang produk reformasi, yang secara khusus mengatur profesi kesehatan, seperti: UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, dan UU No 14/2019 tentang Kebidanan.
Keempat, berpotensi menurunkan mutu lulusan pendidikan dokter spesialis. Seperti diketahui, selama ini pendidikan dokter spesialis di Indonesia berbasis universitas, yang melibatkan tiga komponen dalam prosesnya.
Ketiga komponen ini, pertama kolegium ilmu sesuai spesialisasinya berfungsi menyiapkan kurikulum. Kedua, univesitas dalam hal ini fakultas kedokteran berfungsi mendidiknya. Ketiga, rumah sakit pendidikan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan dokter spesialis itu diselenggarakan.
Atas komposisi tiga serangkai di atas, sehingga Prof Farid A Moeloek, mantan Menkes dan Ketua Umum PB IDI periode 2003-2006 menyebutnya dengan bahasa Minangkabau, “Tigo Tungku Sajarangan”.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015)
JUDUL ini penulis angkat dari obrolan pagi bersama GoodRadioJakarta.com,Rabu, 10 Mei 2023 lalu, yang bertajuk “Polemik RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?” Topik ini tentu saja sangat menarik dan aktual, sebab dua hari sebelumnya, 8 Mei 2023 terjadi Aksi Damai di kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta, yang dikuti puluhan ribu tenaga kesehatan yang tergabung di dalam Lima Organisasi Profesi Kesehatan (IAI, IBI, IDI, PDGI, dan PPNI).
Sepuluh menit sebelum acara, penyiar yang juga bertindak selaku moderator telah menghubung penulis agar bersiap-siap. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada penulis, mengapa lima profesi kesehatan tersebut keberatan?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Untungnya penulis telah beberapa kali terlibat dalam perbincangan melalui webinar bersama organisasi profesi. Jadi bisalah menjawab sesuai yang penulis ketahui.
Mengapa Menolak?
Sebetulnya organisasi profesi kesehatan ini jarang sekali melakukan unjuk rasa, sebab sangat terikat dengan sumpat dan kode etiknya untuk selalu memperhatian keselamatan pasien. Andai pun terpaksa melakukan unjuk rasa mereka tetap harus mengikuti protokol yang telah ditentukan oleh profesinya.
Hemat penulis, setidaknya ada enam alasan mengapa lima organisasi profesi kesehatan itu unjuk rasa menolak RUU (OBL) Kesehatan. Pertama, karena sejak awal RUU ini tidak transparan. Kedua, dalam proses pembahasannya bertebaran fitnah kepada profesinya, politik memecah belah, intimidasi, pembungkaman kemerdekaan berbicara dan berpendapat dengan keluarnya Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan No.HK.0101/D/4902/2023, tertanggal 11 April 2023, sampai kepada “pemecatan” Prof. Zainal Muttaqin di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Ketiga, menggusur beberapa undang-undang produk reformasi, yang secara khusus mengatur profesi kesehatan, seperti: UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, dan UU No 14/2019 tentang Kebidanan.
Keempat, berpotensi menurunkan mutu lulusan pendidikan dokter spesialis. Seperti diketahui, selama ini pendidikan dokter spesialis di Indonesia berbasis universitas, yang melibatkan tiga komponen dalam prosesnya.
Ketiga komponen ini, pertama kolegium ilmu sesuai spesialisasinya berfungsi menyiapkan kurikulum. Kedua, univesitas dalam hal ini fakultas kedokteran berfungsi mendidiknya. Ketiga, rumah sakit pendidikan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan dokter spesialis itu diselenggarakan.
Atas komposisi tiga serangkai di atas, sehingga Prof Farid A Moeloek, mantan Menkes dan Ketua Umum PB IDI periode 2003-2006 menyebutnya dengan bahasa Minangkabau, “Tigo Tungku Sajarangan”.