RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?

Jum'at, 19 Mei 2023 - 14:25 WIB
loading...
RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?
Zaenal Abidin Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015). Foto/Dok. Pribadi
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015)

JUDUL ini penulis angkat dari obrolan pagi bersama GoodRadioJakarta.com,Rabu, 10 Mei 2023 lalu, yang bertajuk “Polemik RUU (OBL) Kesehatan Berpihak kepada Siapa?” Topik ini tentu saja sangat menarik dan aktual, sebab dua hari sebelumnya, 8 Mei 2023 terjadi Aksi Damai di kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta, yang dikuti puluhan ribu tenaga kesehatan yang tergabung di dalam Lima Organisasi Profesi Kesehatan (IAI, IBI, IDI, PDGI, dan PPNI).

Sepuluh menit sebelum acara, penyiar yang juga bertindak selaku moderator telah menghubung penulis agar bersiap-siap. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada penulis, mengapa lima profesi kesehatan tersebut keberatan?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Untungnya penulis telah beberapa kali terlibat dalam perbincangan melalui webinar bersama organisasi profesi. Jadi bisalah menjawab sesuai yang penulis ketahui.

Mengapa Menolak?
Sebetulnya organisasi profesi kesehatan ini jarang sekali melakukan unjuk rasa, sebab sangat terikat dengan sumpat dan kode etiknya untuk selalu memperhatian keselamatan pasien. Andai pun terpaksa melakukan unjuk rasa mereka tetap harus mengikuti protokol yang telah ditentukan oleh profesinya.

Hemat penulis, setidaknya ada enam alasan mengapa lima organisasi profesi kesehatan itu unjuk rasa menolak RUU (OBL) Kesehatan. Pertama, karena sejak awal RUU ini tidak transparan. Kedua, dalam proses pembahasannya bertebaran fitnah kepada profesinya, politik memecah belah, intimidasi, pembungkaman kemerdekaan berbicara dan berpendapat dengan keluarnya Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan No.HK.0101/D/4902/2023, tertanggal 11 April 2023, sampai kepada “pemecatan” Prof. Zainal Muttaqin di RSUP Dr Kariadi Semarang.

Ketiga, menggusur beberapa undang-undang produk reformasi, yang secara khusus mengatur profesi kesehatan, seperti: UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, dan UU No 14/2019 tentang Kebidanan.

Keempat, berpotensi menurunkan mutu lulusan pendidikan dokter spesialis. Seperti diketahui, selama ini pendidikan dokter spesialis di Indonesia berbasis universitas, yang melibatkan tiga komponen dalam prosesnya.

Ketiga komponen ini, pertama kolegium ilmu sesuai spesialisasinya berfungsi menyiapkan kurikulum. Kedua, univesitas dalam hal ini fakultas kedokteran berfungsi mendidiknya. Ketiga, rumah sakit pendidikan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan dokter spesialis itu diselenggarakan.

Atas komposisi tiga serangkai di atas, sehingga Prof Farid A Moeloek, mantan Menkes dan Ketua Umum PB IDI periode 2003-2006 menyebutnya dengan bahasa Minangkabau, “Tigo Tungku Sajarangan”.

Prof Moeloek mengibaratkannya dengan sebuah restoran, di mana kolegium bertindak sebagai pembuat menu, universitas sebagai koki dan rumah sakit pendidikan sebagai dapurnya. Setelah masakan itu selesai maka pembuat menu akan memintanya untuk mencicipi guna memastikan apakah masakan tersebut telah sesuai dengan menu yang dipesannya.

Menggeser pendidikan dokter spesialis dari berbasis univesitas menjadi berbasis rumah sakit tanpa memedulikan akreditasi rumah sakitnya ditengarai dapat menurunkan mutu lulusan dokter spesialis. Dan lagi pula, dapat ditelusuri rumah sakit mana yang akreditas terbaik di Indonesia yang tidak menjadi jejaring rumah sakit pendidikan dokter yang berbasis univesitas.

Kelima, karena tidak didesain untuk kepentingan rakyat. Tidak menjadikan masalah dan kebutuhan kesehatan rakyat Indonesia sebagai dasar utama dalam penyusunannya. Tidak terdengar wacana penyelesaiaan “beban tiga kali lipat penyakit” dan “beban tiga kali lipat masalah gizi”, serta masalah kesehatan lainya. Yang terdengar hanya kebijakan Menkes tentang “enam transformasi kesehatan” yang menjadi landasan utamanya, yang boleh jadi kebijakan tersebut terganti dengan bergantinya pemerintahan satu tahun mendatang.

Alasan keenam, karena terjadinya kemuduran. Setidaknya ada enam kemunduran bila RUU (OBL) Kesehatan ini disahkan menjadi UU, yakni: (1) Menggusur sembilan UU produk reformasi yang sudah memiliki peraturan pelaksanaan. (2) Tidak memberdayakan masyarakat dan organisasi profesi.

(3) Terjadi pemusatan kekuasaan kepada menteri kesehatan. (4) Tidak berani mencantumkan besaran anggaran kesehatan di APBN dan APBD, namun dipenuhi harapan dan janji manis. (5) Terjadi pemborosan anggaran negara. (6) Proses penyusunannya mencederai dan bahkan mengarah kepada penghancuran (desroying) demokrasi

Berpihak kepada Siapa?
Lalu, pertanyaanya, RUU (OBL) Kesehatan in berpihak kepada siapa? Sudah menjadi pengetahuan umum bagi lima organisasi profesi kesehatan yang menduga bahwa RUU (OBL) Kesehatan ini lebih berpihak kepada investor. Berpihak kepada tenaga kesehatan asing, perawat, bidan, apoteker, dokter dan dokter gigi asing sebagai imbalan dari investasi mereka di Indonesia.

Dugaan di atas didukung keluarnya Permenkes No.6 Tahun 2023 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Asing yang disinyalir memberi kemudahan bekerjanya tenaga kesehatan asing di Indonesia. Dugaan ini kembali dikuatkan oleh pernyataan Sarwi, FT ITB 80 dari Kadin Indonesia, dalam diskusi publik online IA-ITB, 16 Mei 2023.

Sarwi membenarkan bahwa RUU (OBL) Kesehatan mem-beri “karpet merah" bagi investasi dan tenaga kesehatan asing. Sebab secara umum kata beliau perekonomian kita amat tergantung dengan hadirnya investasi sesuai formu-la GDP.

Semula alasan investasi dan tenaga kesehatan asing ini disembunyikan, namun belakangan, sedikit demi sedikit terbuka. Mungkin itu pula sebabnya mengapa sejak awal pemerintah tidak mengajak organisasi profesi untuk membahasnya. Dan tampaknya ini pula alasan utamanya mengapa prosesnya terkesan sangat terburu-buru (dipaksakan).

Catatan Akhir
Organisasi profesi kesehatan yang menolak RUU (OBL) Kesehatan ini tentu sangat memahami perlunya investasi dalam memajukan pelayanan kesehatan di Tanah Air. Namun jangan pula karena alasan investasi apalagi investasi asing yang bermahzab libelalisme kemudian menjadikan sektor kesehatan negeri ini tergadai.

Apalagi kesehatan dan pelayanan kesehatan merupakan anak tangga pertama bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai tingkat keadilan dan kesejehteraan. Dan semestinyalah sehat dan kesehatan di negeri ini tetap bermahzab sosial, bukan liberalisme atau pasar bebas.

Bila kemudian RUU (OBL) Kesehatan ini memang diran-cang untuk meningkat kesehatan rakyat guna mencapai tingkat keadilan dan kesejahteraan, alangkah baiknya dibicarakan dalam suasana kekeluargaan. Tidak perlu sembunyi dan terburu-buru. Bukankah kita sangat menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.”

Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutip nasihat Bung Karno, berikut ini. “Usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan kolonialisme. Pasar bebas adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”

“Kemerdekaan Indonesia pada hakikatnya merupakan protes keras yang maha hebat kepada dasar individualisme dan kapitalisme”. Dan, masyarakat yang hendak kita akan tuju dengan kemerdekaan itu adalah masyarakat sosialis ala Indonesia atau masyarakat sosialisme Indonesia, yakni “Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila,” kata Bung Karno. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2098 seconds (0.1#10.140)