DJKI Sejahterakan Penulis melalui Surat Pencatatan Ciptaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hak Cipta merupakan salah satu jenis Kekayaan Intelektual (KI) yang dilindungi oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI). Berbagai karya jenis ciptaan masuk ke dalam Hak Cipta, salah satunya adalah buku.
Penulis Dewi Lestari Simangunsong atau yang akrab dipanggil Dee dalam rangka memperingati Hari Buku Nasional sekaligus bertepatan dengan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia menyampaikan beberapa perhatiannya terkait royalti dan pembajakan di industri buku. Menurutnya kedua hal ini merupakan masalah yang cukup serius bagi para penulis.
“Ada dua masalah yang menjadi perhatian bagi para penulis, yang pertama terkait pendapatan penulis atau royalti dan yang kedua terkait pembajakan. Untuk urusan pendapatan yang pasti berhubungan dengan kantor pajak, tetapi untuk pembajakan sendiri ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi,” ucap Dee.
Pendapatan royalti telah lama menjadi isu di kalangan penulis Indonesia. Nilainya yang terlalu kecil dianggap tidak memberikan apresiasi yang cukup untuk penulis yang berperan penting tidak hanya dalam dunia literasi tetapi juga pendidikan bangsa.
Merespon hal tersebut, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Anggoro Dasananto menjelaskan tentang pentingnya perlindungan hak cipta, keuntungannya, terkait pengelolaan royalti, serta sanksi hukum pada para pembajak buku.
Secara hukum karya tulis termasuk buku dilindungi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada UU tersebut dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Hak Cipta dan Hak terkait, termasuk royalti.
“Secara negara, para penulis atau kreator yang telah mendaftarkan ciptaannya tercatat secara resmi sebagai penulis dari karya tersebut. Surat Pencatatan Ciptaan yang dimiliki nantinya bisa menjadi perisai bagi para penulis saat terjadinya sengketa,” ujar Anggoro, Rabu, 26 April 2023.
Di samping itu, Anggoro juga menyampaikan bahwa selain menjadi perisai bagi penulis, Surat Pencatatan Ciptaan juga bisa digunakan sebagai jaminan hak moral dan hak ekonomis penulis untuk karya-karyanya, baik bagi karya yang dilisensikan maupun tidak.
“Sampai saat ini DJKI telah memberikan edukasi serta sosialisasi terkait pentingnya Hak Cipta kepada masyarakat, dan saat ini kami sedang menyusun Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) yang mengatur tentang pengelolaan royalti buku dan karya lainnya,” kata Anggoro.
“Nanti dari peraturan ini akan ada turunan penetapan besaran tarif yang harus dikenakan kepada para pengguna karya untuk membayar royalti atas buku dan karya tulis lainnya yang digandakan atau diperbanyak dengan berbagai cara. Namun, hal ini masih dalam diskusi teknis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anggoro menyampaikan pada Permenkumham ini juga tidak hanya akan mengatur karya tulis fisik saja, tetapi akan mengatur ketentuan royalti karya tulis digital. Pemungutan royalti buku dari luar negeri juga akan diatur dalam Permenkumham ini.
Di dunia internasional sebenarnya terdapat suatu mekanisme berupa hak pinjaman publik (Public Lending Rights atau PLR) yang merupakan sistem dimana para penulis diberikan royalti oleh pemerintah untuk setiap buku ciptaan mereka yang dipinjamkan dari perpustakaan publik. Sistem ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada penulis untuk menghasilkan karya-karya berkualitas yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas.
Sebaliknya di Indonesia sendiri mekanisme PLR belum bisa diterapkan, sehingga belum dapat dipastikan apakah sistem ini dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan penulis dan akses masyarakat terhadap karya sastra.
Oleh karena itu, DJKI akan membuat kajian sebagai bagian dari rangkaian revisi terbatas Undang-Undang Hak Cipta yang tentunya melibatkan kerjasama antara pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan terutama di industri penerbitan dan perpustakaan untuk dapat mengimplementasikan mekanisme PLR yang efektif dan efisien di Indonesia.
Selain berkaitan dengan PLR, Anggoro juga menyampaikan bahwa DJKI juga akan terus berkoordinasi dengan pihak atau stakeholder terkait pajak maupun royalti, sehingga dapat para penulis dapat menikmati hasil kerja kerasnya sendiri, serta agar kesejahteraan penulis meningkat.
“Yang pastinya untuk para penulis, tetap berkreasi, memberi inspirasi, serta membuka wawasan melalui tulisannya. Sebaiknya seluruh karyanya dicatatkan, mungkin memang terlihat seperti hal yang sepele, tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya,” ucapnya.
Di sisi yang sama, Dee berharap masyarakat Indonesia juga semakin sadar akan pentingnya membaca buku orisinal.
“Saya Dee Lestari berharap para pembaca saya dapat menghargai karya cipta saya dengan tidak membeli buku bajakan dan membeli buku yang asli,” ujar Dee.
Penulis Dewi Lestari Simangunsong atau yang akrab dipanggil Dee dalam rangka memperingati Hari Buku Nasional sekaligus bertepatan dengan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia menyampaikan beberapa perhatiannya terkait royalti dan pembajakan di industri buku. Menurutnya kedua hal ini merupakan masalah yang cukup serius bagi para penulis.
“Ada dua masalah yang menjadi perhatian bagi para penulis, yang pertama terkait pendapatan penulis atau royalti dan yang kedua terkait pembajakan. Untuk urusan pendapatan yang pasti berhubungan dengan kantor pajak, tetapi untuk pembajakan sendiri ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi,” ucap Dee.
Pendapatan royalti telah lama menjadi isu di kalangan penulis Indonesia. Nilainya yang terlalu kecil dianggap tidak memberikan apresiasi yang cukup untuk penulis yang berperan penting tidak hanya dalam dunia literasi tetapi juga pendidikan bangsa.
Merespon hal tersebut, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Anggoro Dasananto menjelaskan tentang pentingnya perlindungan hak cipta, keuntungannya, terkait pengelolaan royalti, serta sanksi hukum pada para pembajak buku.
Secara hukum karya tulis termasuk buku dilindungi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada UU tersebut dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Hak Cipta dan Hak terkait, termasuk royalti.
“Secara negara, para penulis atau kreator yang telah mendaftarkan ciptaannya tercatat secara resmi sebagai penulis dari karya tersebut. Surat Pencatatan Ciptaan yang dimiliki nantinya bisa menjadi perisai bagi para penulis saat terjadinya sengketa,” ujar Anggoro, Rabu, 26 April 2023.
Di samping itu, Anggoro juga menyampaikan bahwa selain menjadi perisai bagi penulis, Surat Pencatatan Ciptaan juga bisa digunakan sebagai jaminan hak moral dan hak ekonomis penulis untuk karya-karyanya, baik bagi karya yang dilisensikan maupun tidak.
“Sampai saat ini DJKI telah memberikan edukasi serta sosialisasi terkait pentingnya Hak Cipta kepada masyarakat, dan saat ini kami sedang menyusun Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) yang mengatur tentang pengelolaan royalti buku dan karya lainnya,” kata Anggoro.
“Nanti dari peraturan ini akan ada turunan penetapan besaran tarif yang harus dikenakan kepada para pengguna karya untuk membayar royalti atas buku dan karya tulis lainnya yang digandakan atau diperbanyak dengan berbagai cara. Namun, hal ini masih dalam diskusi teknis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anggoro menyampaikan pada Permenkumham ini juga tidak hanya akan mengatur karya tulis fisik saja, tetapi akan mengatur ketentuan royalti karya tulis digital. Pemungutan royalti buku dari luar negeri juga akan diatur dalam Permenkumham ini.
Di dunia internasional sebenarnya terdapat suatu mekanisme berupa hak pinjaman publik (Public Lending Rights atau PLR) yang merupakan sistem dimana para penulis diberikan royalti oleh pemerintah untuk setiap buku ciptaan mereka yang dipinjamkan dari perpustakaan publik. Sistem ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada penulis untuk menghasilkan karya-karya berkualitas yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas.
Sebaliknya di Indonesia sendiri mekanisme PLR belum bisa diterapkan, sehingga belum dapat dipastikan apakah sistem ini dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan penulis dan akses masyarakat terhadap karya sastra.
Oleh karena itu, DJKI akan membuat kajian sebagai bagian dari rangkaian revisi terbatas Undang-Undang Hak Cipta yang tentunya melibatkan kerjasama antara pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan terutama di industri penerbitan dan perpustakaan untuk dapat mengimplementasikan mekanisme PLR yang efektif dan efisien di Indonesia.
Selain berkaitan dengan PLR, Anggoro juga menyampaikan bahwa DJKI juga akan terus berkoordinasi dengan pihak atau stakeholder terkait pajak maupun royalti, sehingga dapat para penulis dapat menikmati hasil kerja kerasnya sendiri, serta agar kesejahteraan penulis meningkat.
“Yang pastinya untuk para penulis, tetap berkreasi, memberi inspirasi, serta membuka wawasan melalui tulisannya. Sebaiknya seluruh karyanya dicatatkan, mungkin memang terlihat seperti hal yang sepele, tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya,” ucapnya.
Di sisi yang sama, Dee berharap masyarakat Indonesia juga semakin sadar akan pentingnya membaca buku orisinal.
“Saya Dee Lestari berharap para pembaca saya dapat menghargai karya cipta saya dengan tidak membeli buku bajakan dan membeli buku yang asli,” ujar Dee.
(bga)